Langkah Popo dan Godi terhenti. Mereka mulai ragu. Empat kurcaci sebelumnya pernah diutus untuk mencari kaktus merah dan bunga lidah sepuluh. Keempatnya tidak ada yang berhasil menemukan bunga-bunga itu.
“Aku tidak yakin bisa menemukan kedua bunga itu di negeri kurcaci,” Popo yang berbadan tegap membuka percakapan.
“Sama. Aku juga tidak yakin. Akan tetapi demi kesembuhan baginda raja kita harus harus mencarinya,” timpal Godi, kurcaci yang lebih muda.
“Aku ada petunjuk. Dalam mimpiku, kita harus ke utara. Obat itu ada di negeri manusia,” tambah Godi mulai gelisah.
“Aduh! Banyak manusia yang jahat! Tidak ada yang bisa pulang jika sudah pergi di sana,” Popo mulai ketakutan. Soalnya cerita yang berkembang di negeri mereka, manusia itu adalah makhluk yang menyeramkan.
“Tidak ada jalan lain,” kata Godi.
Dengan perasaan yang takut, mereka pun melanjutkan perjalananan. Semak belukar, duri, binatang buas tidak jadi penghalang. Akhirnya, Tanaman kaktus merah dan bunga lidah sepuluh itu ditemukan.
“Waw, indahnya!” Popo berdecak kagum.
“Ayo cepat, jangan terpesona dengan negeri ini!” ucap Godi.
Keduanya berlari mendekati bunga-bunga itu. Mereka memetiknya dengan cepat lalu memasukkannya ke dalam tas yang terbuat dari kulit kayu.
“Heyyyyyyy… jangan ambil bungaku!” tiba-tiba suara lantang terdengar.
Keduanya panik bukan kepalang. Kaki mereka gemetar hingga tidak bisa dibawa lari. “Maafkan kami, Nenek!” Godi menjurah hormat.
“Sebelum aku berteriak dan orang-orang di sekitar sini menangkap kalian, kalian harus menuruti perintahku! Cepat sembunyi di rumahku.”
Godi mencoba mantra Dumplek Tungtung yang terkenal di negeri mereka. Namun, mulutnya terasa kaku. Ia juga tak bisa menggerakkan tangannya.
“Ilmu kalian tidak mempan di sini!”
Popo dan Godi saling pandang. Mereka makin takut. Sekarang, tidak ada yang bisa dilakukan selain menuruti perintah nenek itu supaya selamat.
“Aku tidak bisa melihat negeri kita,” bisik Popo kepada sahabatnya.
“Kenapa kalian lancang mengambil tanamanku?” nenek itu menatap tajam.
“Hampir sebulan raja kami, Baginda Rendarf Alasarf sakit. Obatnya hanya kaktus merah dan bunga lidah sepuluh. Kami hanya mengikuti petunjuk mimpiku bahwa tanaman ini ada di sini,”papar Godi sedih.
“Apapun alasannya kalian harus dihukum karena sudah mencuri.”
***
Akhirnya, kedua kurcaci itu menjalani hukuman. Mereka harus membantu merawat bunga-bunga tersebut. Menyiram serta membuang daun-daun yang layu. Memetiknya untuk kemudian dikeringkan.
Lama kelamaan, mereka merasa kasihan kepada Nek Selme yang tinggal sendirian. Dengan senang hati mereka membantu Nek Selme mengerjakan pekerjaan yang lain. Seperti menyapu, menimba air dan membelah kayu bakar.
“Aku ingin pulang! Aku rindu rumahku,” keluh Popo suatu malam.
“Ya, aku juga memikirkan kesehatan baginda,” timpal Godi.
“Tapi, bagaimana lagi? Kita tidak berhasil menemukan jalan pulang. Mungkin setelah hukuman selesai, kita bisa pulang. Makanya itu, kita harus semangat dan tulus menjalaninya” sambung Godi lagi.
“Oleo…wakaka…tur…tur…wket…wket…lala…lala…wket…wket…” Agar rindunya terobati, Popo menyanyikan lagu bangsa kurcaci.
Saking asiknya, keduanya tidak menyadari Nek Selme telah berdiri dekat mereka. Bibir Nek Selme bergerak-gerak mengikuti nyanyian itu.Walaupun sedikit sumbang tapi Nek Selme masih hapal dengan liriknya.
“Apakah Welang Biru raja kalian?” tanya Nek Selme. Popo dan Godi kaget. Mereka langsung berhenti bernyanyi.
“Iya, Nek. Welang Biru adalah raja kami. Beliau sangat bijaksana dan baik hati. Kami rakyatnya memberi gelar Rendarf Alasarf atau berhati mulia,” Godi menjelaskan.
“Pulanglah. Nenek rela kalian membawa tanaman-tanaman itu. Selamatkan sahabatku,” ujar Nek Selme sedih. Godi dan Popo melongo tidak percaya.
Nek Selme menceritakan awal kisah persahabatan mereka. Dulu, Welang biru berburu sampai ke negeri manusia. Ia kemudian menjadi incaran orang-orang untuk dijadikan pemain sirkus. Nek Selme kemudian menyelamatkannya. Selama pencarian jalan keluar menuju Negeri Kurcaci, Welang Biru mengajari Nek Selme bernyanyi Oleo Wakaka.
Welang Biru juga memberinya sebuah gelang simbol Negeri Kurcaci yaitu akar pohon berulir sisik naga.
Usai bercerita Nek Selme buru-buru ke halaman depan. Ia sendiri yang memetik bunga-bunga tersebut. Mereka harus kembali secepatnya supaya raja bisa selamat.
Nek Selme merapal mantera kemudian menyuruh keduanya menggeser sebuah batu hitam berbentuk kepala singa. Perlahan-lahan kabut tebal itu menghilang. Terlihatlah perbatasan negeri kurcaci.
“Hanya yang berhati tulus bisa menggeser batu itu. Pulanglah! Sampaikan salamku pada Welang Biru,” Nek Selme memberikan dua kantung yang berisi bunga.
Popo dan Godi saling pandang. Tidak lupa mereka mengucapkan terima kasih atas kebaikan Nek Selme. Kapan pun mereka hendak berkunjung, pintu rumah Nek Selme selalu terbuka. Sebab keduanya adalah kurcaci yang baik.
“Selamat tinggal Nek Selme!” ucap mereka. Tubuh keduanya pun menghilang seiring bergesernya batu hitam tersebut.
“Selamat jalan. Semoga raja kalian lekas sembuh,” Ucap Nek Selme.
Terbit di Majalah Bobo
13 Agustus 2015