Di sebuah desa kecil di Bali, suasana begitu ramai dan penuh semangat. Bulan purnama menyinari langit, menandakan bahwa festival ogoh-ogoh akan segera dimulai. Anak-anak desa, seperti Nila, tidak sabar menunggu momen spesial ini.
Nila adalah seorang anak perempuan yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Dia tinggal bersama neneknya yang selalu menceritakan kisah-kisah legenda dan kearifan lokal kepada Nila. Salah satu kisah yang paling Nila suka adalah tentang Dewi Sri, dewi padi yang melindungi hasil pertanian Bali.
“Hari ini adalah hari yang istimewa, Nila,” kata nenek sambil tersenyum lembut. “Kau akan melihat ogoh-ogoh yang indah dan menakjubkan.”
Nila berbinar-binar. Dia sudah sering mendengar tentang ogoh-ogoh dari cerita neneknya, tapi dia belum pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ogoh-ogoh adalah patung raksasa yang dibuat dari bahan-bahan seperti bambu dan kertas. Patung-patung ini mewakili roh jahat dan akan diarak oleh para pemuda desa dalam sebuah prosesi.
Sebagai persiapan, Nila dan neneknya bersama-sama membuat canang sari, sesajen khas Bali, untuk diletakkan di depan ogoh-ogoh. Mereka menggunakan daun-daun segar, bunga-bunga warna-warni, dan dupa yang harum.
“Saatnya kita berangkat, Nila,” kata nenek sambil mengambil tangan Nila. Mereka berjalan menuju lapangan desa di mana ogoh-ogoh akan diperlihatkan kepada seluruh masyarakat.
Sampai di lapangan, Nila terpesona melihat ogoh-ogoh yang berdiri tegak dan megah. Ada ogoh-ogoh dengan wajah seram, ada pula yang lucu dan menggemaskan. Nila merasa seperti berada di dunia dongeng.
Tiba-tiba, suara gamelan memecah keheningan malam. Prosesi ogoh-ogoh dimulai. Para pemuda desa memegang tiang bambu yang mendukung ogoh-ogoh dan mulai mengaraknya keliling desa. Mereka bergerak seiring irama gamelan, membuat suasana semakin meriah.
Nila dan neneknya menikmati setiap detik dari festival ini. Mereka berjoget, bernyanyi, dan tertawa bersama. Nila bahagia bisa merasakan kegembiraan masyarakat desa.
Ketika prosesi selesai, ogoh-ogoh diletakkan di persimpangan jalan. Masyarakat berkumpul di sekitarnya untuk berdoa dan menyanyikan lagu syukur. Nila dan neneknya juga bergabung, berdoa kepada Dewi Sri untuk memberkati panen tahun ini.
Saat itulah Nila menyadari betapa pentingnya festival ogoh-ogoh dan kearifan lokal bagi masyarakat Bali. Festival ini bukan hanya sekedar pesta, tapi juga ritual yang mengingatkan mereka akan hubungan erat antara manusia dan alam.
Nenek menatap Nila dengan penuh kasih sayang. “Kau telah belajar banyak hari ini, Nak,” kata nenek. “Kearifan lokal dan tradisi kita adalah warisan yang harus kita jaga dan lestarikan.”
Nila mengangguk. Dia merasa beruntung bisa tumbuh besar di Bali, tempat di mana tradisi dan kearifan lokal masih sangat dihargai. Dengan penuh semangat, Nila berjanji akan terus mempelajari dan memahami kebudayaan Bali.
Setelah festival ogoh-ogoh berakhir, Nila masih merasa penasaran. Dia ingin tahu lebih banyak tentang makna di balik ogoh-ogoh dan apa yang membuatnya begitu istimewa bagi masyarakat Bali.
Hari berikutnya, Nila bertemu dengan Wayan, seorang pemuda desa yang terkenal pandai membuat ogoh-ogoh. Wayan dengan senang hati mengajak Nila ke rumahnya untuk memperlihatkan proses pembuatan ogoh-ogoh.
Di rumah Wayan, Nila melihat bambu-bambu besar dan kertas-kertas warna yang siap digunakan. Wayan menjelaskan setiap langkah dalam pembuatan ogoh-ogoh dengan penuh detail. Mulai dari memilih bahan, merakit tiang bambu, hingga menghias patung dengan kertas dan cat.
“Ogoh-ogoh ini bukan hanya patung biasa, Nila,” kata Wayan serius. “Mereka mewakili kekuatan baik dan buruk dalam diri manusia. Melalui proses pembuatan ogoh-ogoh, kita belajar untuk mengenali dan mengendalikan emosi kita.”
Nila terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Wayan. Dia baru menyadari betapa dalam makna ogoh-ogoh dan bagaimana tradisi ini mengajarkan kebijaksanaan kepada generasi muda.
Wayan kemudian mengajak Nila ke sebuah tempat rahasia di desa, sebuah gua tua yang konon memiliki hubungan dengan roh-roh leluhur. Di dalam gua, Nila dan Wayan menemukan patung-patung kecil yang mirip ogoh-ogoh, namun lebih sederhana.
“Ini adalah ogoh-ogoh leluhur kita,” kata Wayan sambil menunjuk patung-patung tersebut. “Mereka dihormati dan diberi sesajen oleh nenek moyang kita sebagai tanda rasa syukur dan penghormatan.”
Nila merasa terharu. Dia merasa lebih dekat dengan tradisi dan kearifan lokal Bali setelah mengetahui rahasia ogoh-ogoh leluhur ini. Dia bersyukur telah diberi kesempatan untuk belajar dan mengalami kekayaan budaya Bali secara langsung.
Ketika hari mulai senja, Nila dan Wayan kembali ke desa dengan hati yang penuh kebahagiaan. Mereka berjanji akan terus menjaga dan melestarikan tradisi ogoh-ogoh serta kearifan lokal Bali.
Malam itu, Nila bercerita kepada neneknya tentang petualangannya dengan Wayan. Nenek tersenyum lembut mendengarkan cerita cucunya. Dia merasa bangga melihat bagaimana Nila tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mencintai tradisi dan budayanya.
“Hari ini, kamu telah membuktikan betapa pentingnya menjaga dan melestarikan kearifan lokal kita, Nak,” kata nenek sambil mengelus kepala Nila.
Nila tersenyum dan merasa puas. Dia merasa lebih menghargai dan mencintai Bali, tanah kelahirannya, setelah petualangan yang mengesankan itu.
Dengan penuh rasa syukur, Nila memeluk neneknya erat-erat. Mereka berdua menghabiskan malam dengan damai, di bawah sinar bulan purnama yang bersinar terang, mengingatkan mereka akan keindahan dan kearifan lokal Bali yang selalu hidup dalam hati mereka.
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”