Siang itu, matahari memancarkan sinar lembutnya. Cahaya keemasan membelai hangat kulit sawo matang Alana. Anak perempuan berambut ikal itu berjalan di pinggiran hutan tanpa tujuan. Suasana hatinya sedang kelabu, tak secerah langit hari itu.
Beberapa hari ini pikirannya disibukkan oleh sesuatu. Hatinya gundah setiap kali melihat penampilan teman-teman perempuannya. Alana merasa berbeda dan tak seberuntung mereka.
Tanpa disadari, ia telah memasuki sisi hutan yang tak jauh dari rumahnya. Bola matanya yang hitam memandang bunga berwarna-warni yang sedang bermekaran. Ia berjalan mengikuti jalan setapak yang berujung pada sebuah air terjun. Jalanan itu sungguh indah, pinggirannya dihiasi bunga-bunga dahlia.
Cantik sekali tempat ini, gumamnya dalam hati.
Sejenak ia beristirahat, duduk di atas batu besar yang mencuat di antara semak belukar. Dihirupnya udara segar, hingga memenuhi paru-paru. Kepalanya tertunduk lesu memandang ke tanah. Rambut panjangnya yang lebat, terurai sampai ke pinggang.
“Kau tampak sedang bersedih, Gadis Cantik,” terdengar bisikan lembut menyapanya.
“Oh … siapa itu?” Alana memalingkan kepalanya ke arah suara itu berasal. Selama ini belum ada yang pernah memanggilnya dengan panggilan ‘Cantik’. Hatinya terasa hangat, bahagia.
Alana mencari ke segala arah, namun tak seorang pun terlihat di sana.
“Hei … aku di sini,” suara itu kembali memanggil dari sisi kirinya. Meskipun samar-samar, tapi telinganya masih bisa menangkap suara itu dengan baik. Dia menoleh lagi mencari si pemilik suara.
Tiba-tiba Alana tertegun melihat sekuntum dahlia berwarna jingga, sedang tersenyum padanya. Bunga itu bergoyang ke kiri dan kanan, seperti sedang melambaikan tangan pada gadis kecil itu.
Ia mengucek kedua matanya untuk memastikan penglihatannya tidak menipu.
“Wow, apakah kau yang tadi menyapaku?” Alana bertanya, matanya membesar. Kejadian itu terasa seperti dalam mimpi.
“Ya, betul sekali. Kami semua di sini bisa berbicara bahasa manusia,” jawab Bunga Dahlia sambil tersenyum.
“Wah, hebat sekali!” Alana takjub. “Aku bisa berbicara dengan bunga,” senyumnya melebar.
“Ya, kau boleh bercerita pada kami,” celetuk bunga Lily yang berada di sebelah dahlia. Bunga itu berwarna putih bersih. Beberapa tetes air melekat di kelopaknya.
“Hmmm … tapi … bagaimana kau tahu kalau aku sedang bersedih?” tanya Alana penasaran. Ia tidak menangis dan tidak pernah menceritakan perasaannya kepada siapa pun. Ya, Alana tidak punya teman dekat, jadi apapun masalah yang dihadapinya, berusaha dihadapinya sendiri.
“Raut wajahmu yang bercerita,” ungkap Dahlia. “Oh ya, siapakah namamu?”
“Namaku Alana,” jawabnya singkat.
“ Nama yang indah,” puji Bunga Dahlia. “ Jadi, apa gerangan yang membuatmu risau, Alana?”
Sejenak, Alana terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam. Pikirannya menerawang jauh, teringat pada teman-teman di sekolahnya. Kepala anak itu kembali tertunduk, hingga rambut ikalnya menutupi wajah yang kemerahan terbakar matahari.
“Aku merasa kurang beruntung, aku terlahir tak secantik teman-temanku,” ucapnya dengan murung.
“Cantik?” Dahlia heran. “Apa yang kamu maksud dengan cantik itu?” Dahlia bertanya ingin tahu.
“Ya … lihatlah kulitku, warnanya coklat, gelap, tak seperti teman-temanku yang berkulit putih cemerlang.”
“Apa yang salah dengan warna kulit coklat? Apakah seseorang menghinamu karena hal itu?”
“Tidak, tidak ada yang menghinaku. Ini … hanya perasaanku sendiri,” ungkap Alana. Anak itu tertunduk menatap jari kakinya.
Dahlia pun tersenyum lembut, kemudian melanjutkan pertanyaannya.
“Coba perhatikan bunga-bunga di seluruh Hutan Verdola ini, Alana. Bagaimana menurutmu, apakah mereka semua cantik?”
“Ya, tentu saja.”
“Warna apa yang menurutmu cantik?”
“Hmmm … aku tidak bisa memilih, semuanya terlihat cantik,” ujar Alana sambil menebar pandangan ke sekelilingnya.
“Tapi, bukankah kami juga diciptakan dengan warna yang berbeda-beda? Apakah warna tertentu mengurangi kecantikan kami?”
Alana pun menggeleng dan perlahan menjawab. “Tidak, sama sekali tidak”, ia berkata dengan yakin.
“Sama juga halnya dengan manusia. Apapun warna kulitnya, bagaimanapun bentuk wajahnya, semuanya tetap terlihat cantik dengan pesonanya masing-masing,” Dahlia memberi penjelasan.
“Benarkah yang kau katakan itu?” Alana bertanya ragu-ragu.
“Tentu saja, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan bentuk terbaiknya, dan kita tak bisa memilih akan diciptakan seperti apa, bukan?” lanjut Dahlia.
“Ya, mungkin kau benar, Dahlia. Tuhan telah memilihkan warna kulit terbaik untukku, jadi aku tak perlu bersedih karenanya.” Sebuah senyuman mengembang dari bibir Alana. Mata lebarnya yang berbulu lentik, kembali berbinar-binar.
“Satu hal lagi,” Dahlia menambahkan. “Kau akan terlihat semakin cantik karena keindahan tingkah lakumu.”
Alana pun tersenyum sambil membelai kelopak jingga Dahlia. Setelah berpamitan, ia berlari pulang dan segera masuk ke kamar.
Alana memandangi bayangannya di depan cermin. Anak itu berputar-putar mematut diri, kiri, kanan, depan, belakang. Kemudian ia mengambil sisir lalu menata rambutnya yang ikal dan panjang. Sebuah jepit berbentuk kupu-kupu disematkannya di kepala.
Alana tersenyum.
Rupanya Dahlia benar. Alana kagum melihat bayangan seorang gadis kecil yang cantik dan sedang tersenyum di dalam cermin. Ya, itu adalah bayangan dirinya sendiri.
Sejak saat itu, Alana tak pernah lagi bersedih karena warna kulit maupun penampilan fisiknya. Ia merasa lebih percaya diri berada di antara teman-temannya. Apalagi pakaian dan tatanan rambutnya selalu manis dan rapi.
Tentu ia tak pernah lupa dengan sahabat pertamanya. Sesekali, ia datang ke Hutan Verdola untuk berbagi cerita dengan Dahlia, bahkan ia kini juga berteman dengan si putih Lily yang selalu rapi, si Melati yang selalu wangi, dan si Kamboja yang selalu ceria.
Suka banget sama ceritanya. Alana yang manis dan lembut seperti dahlia dan lily.
Terima kasih untuk cerita yang manis ini, Kak.
Pas banget mengusulkan waktu dalam KA.