Pencarian Vesivatoa [Part 11 : PENJAGA KEHIDUPAN]

Asher berjalan mendahului anak-anak. Bangunan merah itu dilindungi oleh pagar besi yang tinggi. Sebuah pintu baja besar menyambut kedatangan mereka. Berbeda dengan bangunan lainnya yang pernah mereka masuki, laboratorium ini lebih ketat pengamanannya. 

Pertama, Asher harus memindai kornea matanya di depan kamera. Kemudian laki-laki tegap itu memindai seluruh tubuhnya ke sebuah mesin yang ada di dekat pintu. Setelah itu, ia masih harus memasukkan beberapa kombinasi angka, hingga lampu hijau menyala.

“Sebutkan identitas Anda!” Terdengar suara wanita dari mesin tersebut.

“Asher Wiranesha Maldini CN132. Aku datang bersama lima orang anak, atas perintah Nona Areth dan Perdana Menteri Li.”

Perlahan pintu baja di hadapan mereka terbuka. Asher segera masuk diikuti oleh anak-anak. Mereka berdiri di sebuah ruangan kecil. Pintu kaca yang masih tertutup terlihat di hadapan mereka. Entah mengapa, pintu itu tidak langsung terbuka.

“Ngomong-ngomong, apa namamu memang ada kombinasi angkanya begitu?” Ghazi bertanya heran.

“Ha ha ha, tentu saja tidak. Itu adalah kode identitas yang dimiliki oleh setiap tentara di sini.”

“Tampaknya penjagaan di gedung ini sangat ketat, ya?” 

“Ini memang tempat paling penting di Chinaza. Yang ada di dalamnya adalah aset nomer dua yang paling dilindungi setelah air. Semua bahan makanan dan obat-obatan dikembangkan di sini. Tanpa makanan dan obat, manusia bisa punah!”

Tiba-tiba ruangan itu dipenuhi oleh embun yang disemprotkan dari atas dan sekeliling ruangan. 

“Semprotan apa ini? Uh, jangan-jangan bikin badanku bau,” Adora merasa risih. Padahal bulir halus itu hanya mengenai outdoor suit-nya saja. “Ini antiseptik. Kita hanya boleh masuk ke laboratorium ini dalam keadaan bersih,” Jawab Asher. “Tenang saja, tidak berbau sama sekali.”

Setelah semprotan itu berhenti, Asher memerintahkan anak-anak memencet tombol untuk melepaskan pakaian outdoor mereka. 

“Ayo cepat. Sebentar lagi aku harus mengantar kalian kembali ke tempat Nona Areth.” Mereka berjalan melalui lorong yang cukup panjang. Suasananya begitu hening, tak terdengar apa-apa kecuali suara langkah kaki mereka. Tiba-tiba perut Kalma bersuara nyaring. Anak itu memegangi perutnya sambil menahan malu. Asher hanya tersenyum.

“Kau lapar, Nona kecil?”

“Ti-tidak, kok. Mungkin perutku belum terbiasa saja dengan makanan di sini,” tukas Kalma.

Sebuah meja resepsionis terlihat di ujung lorong. Seorang wanita berpakaian serba hijau duduk di balik meja itu menghadap ke layar virtual di hadapannya. Rambutnya hitam, terlihat bercak-bercak kemerahan di kulit kuning langsatnya. Asher sempat berbisik bahwa itu efek dari penyakit kulit yang mewabah di negeri ini.

“Selamat siang, Nona Wang. Kami ingin melihat koleksi tanaman di sini.” Asher melapor ke meja resepsionis itu.

“Baik. Silakan rekam sidik jari kalian semua.”

“Sidik jari? Ada prosedur baru?” Asher merasa aneh dengan hal itu.

“Ya, baru saja ada instruksi untuk meningkatkan keamanan. Ada kebocoran di pintu teleportasi waktu!”

Anak-anak saling berpandangan. Mereka teringat penjelasan Nona Areth di Samaila tadi. Tampaknya masalah kebocoran itu cukup serius. 

Asher meminta anak-anak untuk meletakkan kedua jempol mereka ke mesin di meja resepsionis itu.

“Clear,” ujar Nona Wang.

Mereka masuk ke dalam sebuah rumah kaca. Hawa lembab dan hangat menyapa wajah mereka, terasa seperti berada di daerah tropis. Paralon-paralon panjang berjajar rapi tergantung. Bermacam-macam tumbuhan hijau menyembul dari lubang-lubang di paralon itu.

“Ini adalah koleksi tanaman herbal yang digunakan sebagai obat-obatan di negeri kami. Semuanya ditanam dengan sistem aeroponic dengan tekanan tinggi. Sistem ini sangat menghemat pemakaian air,” Asher mencoba menjelaskan.

Berbeda dengan Samaila, Chinaza bukanlah negara yang kaya. Mereka tidak bisa mengusahakan obat-obatan dengan teknologi tinggi yang harganya sangat mahal. Untungnya warga Chinaza masih melanjutkan tradisi pengobatan alami yang diwarisi dari nenek moyang mereka.

Sekitar delapan orang berpakaian serba putih tampak sibuk bekerja dengan aneka tanaman. “Mereka ini pemuda-pemudi tercerdas di Chinaza. Jarang sekali yang mampu menjadi peneliti seperti mereka,” cerita Asher sambil berjalan agak pelan supaya tamunya bisa melihat-lihat.

“Kenapa jarang? bukankah tadi kaubilang warga Chinaza banyak?” Ghazi menatap Asher sangsi.

“Ceritanya agak panjang, tapi kurasa ini penting buat kalian. Dulu saat Chinaza makmur, anak-anak mudanya tidak lagi tertarik mendalami ilmu-ilmu sains, teknik, maupun kedokteran. Mereka juga tidak mau belajar bahasa. Semua sudah dijalankan dengan robot dan kecerdasan buatan. Anak-anak muda lebih suka menekuni dunia hiburan seperti seni dan tari. Akibatnya, pengetahuan di Chinaza tidak berkembang, kampus-kampus mulai tutup, teknologi pun tidak maju-maju. Makanya kalian bisa melihat betapa kesehatan dan kesejahteraan warga Chinaza sangat berbeda dengan Samaila, ” Asher menghela napas sambil menggelengkan kepala.

“Kakak sendiri bagaimana? apa kakak juga dulunya penari?” tanya Kalma polos. Teman-temannya menahan tawa, tapi penasaran juga. Jangan-jangan memang betul Asher itu artis.

“Kok tahu?” heran Asher.

Lima sekawan itu melongo.

“Tapi dulu,  sebelum aku mendalami teknik mesin dan jadi peneliti di Laboratoria. Tapi ternyata aku lebih suka dunia militer, jadilah aku seperti sekarang,” Asher melipat tangan dan sedikit mengangkat dagunya dengan bangga.

“Wooow!” Adora, Alana, Nabiella, dan Kalma bertepuk tangan, membuat hidung Asher kembang kempis. Sebagian peneliti tersenyum menyimak percakapan mereka. Keramaian kecil mereka betul-betul pelipur penat di laboratorium.

Sesosok laki-laki berambut legam datang mendekati mereka dari arah lorong di kebun itu. Kiyai Usman? Mengapa laki-laki mirip tokoh anime itu ada di sini?, batin Kalma dalam hati. Tak dapat dipungkiri, Kalma merasa senang bisa bertemu kembali dengan ‘pahlawan’ yang telah menyelamatkannya ketika pingsan tadi. Asher membungkukkan badan, memberi hormat pada pria yang memiliki aura istimewa itu.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar