Pencarian Vesivatoa [Part 3 : WIRA]

Siang itu terdengar keributan dari sebuah rumah kecil di Gang Gulipat. Warna dindingnya tampak kusam, halamannya dipenuhi daun pohon mangga yang berguguran.

“Wira, kamu boleh saja membuat komik untuk sekedar hobi, tapi kalau untuk menjadi komikus, ayah tidak setuju!” Suara berat itu berujar dengan tegas.

“Tapi, Yah ….”

“Dengar! Ayah hanya ingin yang terbaik buatmu. Ayah ingin kamu menjadi ahli mesin, agar kehidupanmu kelak bisa lebih baik. Supaya kamu bisa menghasilkan karya yang bermanfaat buat semua orang!”

Wira hanya bisa tertunduk, meskipun hatinya dipenuhi perasaan tidak setuju. Anak lelaki kurus berambut keriting itu tak mau berbantahan dengan ayahnya. Ia tahu, bersuara tinggi pada orang tua memang tidak pantas. Walaupun begitu, pilihannya masih belum berubah. Menjadi komikus adalah cita-cita yang sudah dipendamnya sejak lama.

Kata siapa komikus tidak bisa membuat karya yang bermanfaat?​ protesnya dalam hati.

Pak Lindung -ayah Wira- adalah seorang penjaga hutan. Orangnya tegas, terbentuk dari perjuangan hidup yang keras. Kulitnya berwarna cokelat kemerahan, buah dari patrolinya setiap hari, mengelilingi hutan yang mulai gundul.

Pak lindung ingin anak-anaknya mandiri dan disiplin sejak kecil. Kehidupan yang mereka jalani saat ini sangat pas-pasan, jika tak ingin dikatakan kekurangan. Tak heran jika lelaki berkumis tebal itu sangat berharap Wira bisa mengenyam pendidikan yang baik dan dapat mengubah kehidupan keluarga mereka di masa depan.

Wira sering ditugaskan oleh ayahnya untuk membuat mesin-mesin sederhana. Sebetulnya tak begitu sulit untuk melaksanakan perintah tersebut. Hanya saja ia tidak bisa menikmati kegiatan merakit mesin itu seperti ketika membuat komik. Bayangkan jika kelak ia harus berprofesi sebagai insinyur mesin. Betapa membosankan hidupnya. Kenapa sih orang tua suka memaksakan cita-cita pada anaknya?

“Yah, aku pamit dulu. Mau mencari rebung dan jamur.” 

Meskipun kesal, anak kelas tiga SMP itu mencium tangan ayahnya takzim. Mereka memang sering berselisih pendapat, tetapi Wira tak pernah kehilangan rasa hormatnya pada sang Ayah. Pak Lindung tetaplah pahlawan di hatinya.

Wira berjalan menyusuri Gang Gulipat yang sempit. Langkahnya gontai dengan wajah tertunduk lesu. Ia menenteng keranjang untuk menyimpan jamur dan rebung. Kata-kata Ayahnya masih saja terngiang di telinga. Menjadi ahli mesin? Padahal ia sama sekali tidak suka dengan hal yang berhubungan dengan mesin. Menghadapi pelajaran Fisika di sekolah saja sudah cukup membuat kepalanya pusing tujuh keliling.

Tiba-tiba tubuhnya membentur sesuatu atau seseorang?

“Aduh! Kalau jalan hati-hati dong, jangan melamun!” Seorang anak perempuan cantik berkerudung pink tiba-tiba mengomel di depan wajahnya. Gadis itu bersama seorang temannya dengan setelan serba hijau. ​Anak itu kalau masuk hutan bisa-bisa tidak kelihatan, ​gumamnya dalam hati.

“Maaf … aku tidak sengaja.” Wira menundukkan kepala, merasa bersalah jalan sambil melamun.

Kedua anak perempuan itu saling bertatapan lalu mereka berbisik satu sama lain. Wira benar-benar merasa seperti tersangka pencuri ayam yang sedang dituntut di pengadilan.

“Kamu tahu tidak, kalau sebelumnya juga sudah pernah menabrak kami?” ujar anak perempuan dengan pakaian yang serba hijau itu. Mata birunya menatap Wira dengan tajam.

“Oh ya? Aku tidak ingat pernah menabrak kalian.”

“Waktu itu kamu menjatuhkan sebuah kertas bertulisan ‘Sepatu manik-manik pink nomor 31’ ingat tidak?”

“Hah? Itu kan sepatu impian adikku. Kok kalian tahu? Jangan-jangan ….”

“Nabiella, sudahlah …!” Si kerudung pink mencoba menengahi. “Lain kali hati-hati kalau jalan! Untung kamu cuma nabrak orang, bukan kereta api!”

Ish … anak perempuan ini cantik-cantik tapi galak, ​rutuk Wira dalam hati. Ia pun meminta maaf sekali lagi, lalu bergegas hendak meneruskan perjalanannya menuju ke hutan Dolla. Ia tak ingin punya masalah baru dengan kedua anak perempuan ini. ​Ribet​! Lagi pula, Ibu pasti sudah menunggu rebung dan jamur petikannya untuk menu makan malam hari ini.

“Eh sebentar! Kamu mau ke mana?” Si mata biru yang dipanggil Nabiella itu tiba-tiba menyusul Wira dari belakang.

“Mau ke hutan, mencari rebung dan jamur.”

“Kami boleh ikut?” tanya si kerudung pink.

Aduh! Ujian macam apa lagi ini?​ gerutu Wira dalam hati.

“Adora? Kamu salah makan apa? Biasanya kamu paling malas ke hutan.” ujar Nabiella

kaget.

Adora hanya tersenyum penuh misteri. Mata cokelatnya menatap Wira penuh harap. Persis kucing yang mengiba minta diberi ikan asin. Hati Wira pun luluh dibuatnya.

“Hmm baiklah, anggap saja sebagai bentuk permohonan maafku. Nanti kalian juga boleh membawa pulang hasilnya sebagian.

“​Deal​!” teriak Adora senang.

“Tapi ada syaratnya,” tambah Wira. Kalian tidak boleh mengeluh dan harus bisa berjalan cepat! Ibuku sudah menunggu jamur dan rebungnya untuk dimasak.”

“Siaaap!” jawab Adora dan Nabiella serempak.

“Aku akan berjalan di depan, kalian ikuti saja. Kalau ada apa-apa, segera panggil aku!” jelas anak lelaki itu. “Oh ya, namaku Wira, Wiranesha.”

***

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar