Jumat sore sepulang sekolah, Ghazi dan geng Dollabella berkumpul di pulau Dollisola, tepat di depan tiram teleportasi Profesor Nakamura.
Alana datang terakhir, ia berlari kencang agar tak sampai terlambat. “Aku buatkan ini buat kalian,” ia menyodorkan lima buah gantungan kunci dari anyaman daun yang dihias bunga-bunga kecil.
“Waah, lihat tulisan ‘Dollabella’ ini, cantik!” Adora menerimanya dengan mata berbinar. Teman-temannya mengangguk setuju seraya berterima kasih kepada Alana. Alana memang terampil membuat kerajinan alam.
“Ini untuk kamu, Ghaz!” kata Alana menyerahkan gantungan kunci berwarna hitam dan merah.
“Bagus sih Al, tapi please lah, Dollabella sih nama geng kalian. Ganti kek biar aku bisa masuk,” gerutu Ghazi sebal. Ghazi pantas kesal, karena Dollabella memang berarti boneka cantik. Anak-anak perempuan itu tertawa.
“Sorry, Ghaz, kamu masih kalah suara. Kayaknya kita harus cari satu anak cowok lagi baru bisa ganti nama, haha!” Kalma menjawab spontan. Ghazi cuma bisa mendengkus pasrah.
“Tapi usul ditampung kok, Ghaz! Ayo kita berangkat!” pungkas Alana.
“Ayooo!” jawab yang lain bersemangat, kecuali Kalma. Ia memasuki tiram raksasa dengan langkah gontai.
Ghazi menekan tombol tahun tujuan mereka, 2043.
Lampu indikator menyala merah, tiram pun tertutup sebagai tanda alat itu mulai bekerja. Kalma melirik layar yang menunjukkan tahun tujuan mereka. Tiba-tiba mata gadis itu membesar, mulutnya menganga.
“Ghazi, kamu salah pencet tombol!!”
“Bener kok” Ghazi bersikeras.
“Lihat itu!” Kalma menunjuk angka 3024 yang tertulis di layar.
***
“Uhuk uhuk!” Kalma terbatuk keras, dadanya sakit sekali. Ugh! Tempat macam apa ini? Ide Ghazi selalu menyusahkan! kutuk Kalma dalam hati sambil menahan sakit.
Sejauh mata memandang, hanya asap dan debu dari tanah hingga ke langit. Kulit Kalma terasa terbakar seakan matahari berada beberapa jengkal di atas kepalanya.
Syukurlah, tak lama kemudian beberapa sosok datang. Salah satu dari mereka memegang tangan Kalma. Ajaib! dalam sesaat batuknya berhenti. Sekilas, gadis kecil itu memandang wajah tampan malaikat penolongnya.
“Terima kasih, Kak!” ucap kalma sambil tersenyum, pipinya bersemu merah. Namun, tiba-tiba orang itu mundur, Ghazi kini muncul di depan Kalma.
“Kal, kamu nggak apa-apa?” tanyanya resah.
Seketika senyum Kalma pudar, bibirnya mengerucut … lalu kembali pingsan. Mereka segera memasangkan masker oksigen untuknya.
***
“Kalma, kamu sudah bangun?” suara alto khas Alana terdengar khawatir.
“Al …,” rintih Kalma pelan, Alana mendekatkan telinganya. “Aku lapar …” .
Alana mendengkus kesal, tapi ia senang karena itu pertanda sahabatnya sudah benar-benar siuman.
“Kamu harus minum dulu, lalu makan ini!” Alana menyodorkan sebuah kapsul merah. Kalma menghirup aroma kapsul itu. Aneh sekali, wanginya sungguh sedap seperti nasi kebuli. Sesaat setelah pil itu menyentuh lidah, rasa lezat segera merayapi seluruh rongga mulutnya. Hangat, seperti baru tersaji. Saat pil itu ditelan, perutnya langsung terasa kenyang. Menakjubkan.
“Al … kita dimana? Tadi itu apa? ajaib sekali seperti pil makanan Doraemon!” Kalma kebingungan. Alana hanya mengangkat bahu. Akhirnya Kalma tahu nama tempat itu setelah melihat sebuah tulisan besar-besar di dinding luas yang sempat mereka lewati. “LABORATORIA”.
“Ayo!” Alana menarik Kalma sampai ia terhuyung. Setengah berlari, mereka menyusuri koridor dengan lantai putih super bersih di bawah cahaya lampu yang terang, tapi tidak menyilaukan. Udara begitu sejuk sampai Kalma heran, mengapa saat siuman pertama tadi ia merasa kepanasan. Sekilas Kalma melihat beberapa orang memakai pakaian mirip pasukan StormTroopers di Film Star Wars.
“Al … apa kita nyasar ke Hollywood?” bisik Kalma lagi dengan nada yang lebih serius.
Alana geleng-geleng kepala. Ia menyuruh Kalma mempercepat langkahnya ke sebuah ruang pertemuan.
“Selamat datang, Kalma Nadira Atmakirana, Alana Ghita Michere. Silakan masuk!” Sebuah suara robot yang tegas namun merdu menyambut mereka setelah memindai bola mata keduanya.
Pintu besi terbuka. Udara sejuk dan lampu terang benderang menyambut mereka berdua. Bagian depan ruangan dipenuhi layar virtual dan beragam peralatan yang asing.
Adora dan Nabiella segera menghambur memeluk Kalma. Selain mereka, ada tiga orang yang sangat tampan dan cantik. Mereka bertubuh semampai, berkulit sehat tanpa sebutirpun jerawat, rambut tebal dan rapi, juga memiliki postur tegak dan kokoh. Orang-orang itu tampak terlalu sempurna untuk ukuran manusia.
Alana mengenalkan mereka kepada Kalma. Yang tertua bernama Prof. William Omar de la Roche. Usianya 105 tahun, tapi menurut Kalma, ia semuda omnya yang berusia 31 tahun. Prof. Will adalah pemilik lembaga riset tempat mereka berada sekarang. Rambutnya cokelat keemasan, hidungnya mancung khas orang Arab, namun matanya biru seperti orang Eropa. Beliau sangat tampan, seperti aktor Hollywood kesukaan mamanya.
Pria yang berdiri di sampingnya lebih muda lagi. Kiyai Usman Hiroshi Mancini. Tapi tak seperti di tempat asal mereka, Kiyai ini sama sekali tidak mengenakan kopiah dan sorban. Ia mengenakan pakaian serba putih, bola matanya hitam dan pandangannya sangat tajam. Rambutnya pun hitam legam. Wajahnya mirip dengan karakter laki-laki tampan yang sering dilukiskan dalam anime. Kiyai bagi rakyat di tempat ini adalah panggilan bagi seseorang yang menjadi panutan spiritual bagi masyarakat.
Kiyai Usman ternyata seorang peneliti sekaligus dokter. Selain itu, beliau adalah seorang Empath, orang yang bisa menyerap kesedihan dan penyakit orang lain. Beliaulah yang memegang tangan Kalma saat ia ditemukan. Kalma seketika menunduk malu saat tahu usianya 101 tahun. Sungguh, penampilannya seperti kakak SMA, dia bahkan tampak jauh lebih muda dari Prof. Will.
Satu lagi adalah seorang gadis yang tampak sedikit lebih muda dari Kiyai Usman. Tapi sebenarnya, usianya 40 tahun. Namanya Arethana Ayu Al Kahf. Mereka memanggilnya Nona Areth. Bola mata Nona Areth sesekali berpendar. Pendar itu berasal dari sejenis komputer canggih yang tertanam di matanya dan terhubung dengan saraf-saraf di otak wanita itu. Dialah jenius perancang sistem kecerdasan buatan utama yang digunakan di setiap negara di seluruh dunia. Nona Areth terlihat judes dan dingin, tapi saat ia tersenyum, pipinya merona merah, lesung pipitnya juga jadi terlihat. Wajah cantik seperti itu pasti melumerkan hati siapapun yang melihatnya.
TAP!
Mendadak ruangan menjadi gelap gulita. Suara sirine terdengar bersahutan dari berbagai sudut. Kalma menggenggam tangan Alana yang ada di sebelahnya.
“Prof. Will, berhati-hatilah!” Terdengar suara seseorang berseru lantang.
“Ada apa ini, Usman?”
“Aku tidak tahu, tapi firasatku tidak baik.”
“Areth,bagaimana keamanan sistem kita!” perintah Prof. Will.
“Ada yang meretas, aku mencoba mengatasinya,.”
Sebuah layar virtual yang terang tiba-tiba muncul di tengah ruangan. Hanya ada satu kalimat tertulis di sana.
SERAHKAN VESIVATOA!