Pencarian Vesivatoa [Part 7: EMAS BIRU ]

Sepasang pintu raksasa terbuka, pemandangan menakjubkan menyambut Ghazi dan teman-temannya. Gedung-gedung yang tampak abu-abu dari luar, ternyata beragam bentuk dan warnanya. Kaki mereka menginjak rerumputan hijau yang dikelilingi aliran sungai. Orang-orang berlalu lalang dengan penampilan nyaris sempurna, seperti Nona Areth.

Tiba-tiba kostum ‘storm trooper’ di tubuh mereka terlepas dan mengecil jadi seukuran dadu, lalu membentuk sebuah gelang yang terikat di tangan masing masing. 

“Kita bisa kembali bernafas lega di sini,” Jelas Nona Areth.

Anak-anak menghirup napas dalam-dalam. Segar sekali. Inikah tempat teraman setelah laboratoria? batin Ghazi.

“Ini adalah kota Samaila, lokasi elite dan terkaya di bumi. Di zaman kalian, seharusnya lokasi ini bernama Somalia,” jelas Nona Areth. 

Ghazi ternganga. “Somalia? Bukankah itu adalah negara miskin di zaman kami tinggal? Bagaimana bisa?”

“Nanti kalian akan tahu. Sambil menunggu instruksi dari Prof. Will,  ayo kita makan dulu di kafe itu,” Nona Areth menunjuk sebuah kedai bertuliskan “Kafe Spirola”.

“Wow … apakah kita makan kapsul juga di sini Nona Areth?” tanya Kalma yang tak pernah ketinggalan berkomentar jika berhubungan dengan makanan. Sekonyong-konyong dia lupa dengan peristiwa buruk yang baru saja mereka hadapi.

Nona Areth tertawa, “Boleh saja, tapi ada makanan lain yang lebih menggugah selera.” 

Begitu masuk, mereka  disambut oleh pelayan yang cantik dan tampan. 

“Eh, yang di meja kasir mirip Park Sunghoon!” bisik Kalma ke Adora.

“Wow, benar!” Adora terkagum. “Kok bisa sih mereka semua mengumpulkan orang cakep di kafe ini?”

“Ssstt … jangan keras-keras, dia lagi melihat ke sini, tahu!” ujar Kalma sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

Benar saja, pelayan yang mirip bintang Korea itu mendekat, “Untuk Anda, Nona Kalma,” katanya sambil mengulurkan sekotak kecil cokelat. Senyum dan nada bicaranya sangat ramah.

Kalma tiba-tiba jadi salah tingkah hingga pipinya bersemu merah. Baru kali ini ada yang memanggilnya “Nona” sambil memberi cokelat pula. 

“Adora, dia tahu namaku dan juga makanan kesukaanku!” seru Kalma bangga.

Adora mengangguk takjub. Namun, ia merasakan kejanggalan pada pelayan-pelayan itu.

“Kal … dia memang ramah, tapi tidakkah kamu merasa tatapannya kosong?” Adora menatap kasir Park Sunghoon agak lama. Kalma jadi ikut memperhatikan tatapan para pegawai di kafe itu. 

“Betul juga, ya …” balas Kalma. Spontan mereka berdua  menatap Nona Areth, satu-satunya tempat bertanya. 

“Kurasa mereka humanoid? pekerjaan yang tidak membutuhkan kreativitas kan akan dikerjakan oleh para robot di masa depan?” tebak Ghazi sambil nyengir ke arah Kalma.

“Kamu jeli sekali Adora, dan kamu betul sekali Ghazi. Semua pelayan di Samaila adalah humanoid. Mereka mengerjakan pekerjaan rutin yang tidak membutuhkan kreativitas dan pemikiran yang dalam, cukup gunakan pemrograman. ” jelas Nona Areth. 

“Apa? Jadi dia itu sejenis dengan Picasso tapi berbentuk manusia ganteng? Alamak!” seru Kalma kecewa. Sekali-kalinya ada yang memperlakukannya bak seorang putri, ternyata bukan manusia. Adora dan Ghazi pun tak bisa menahan tawanya.

Tak sampai dua detik, pesanan sudah diantar oleh para pelayan humanoid itu. Ada bubur, biskuit, cake, juice, bahkan sup yang tampak sangat lezat. Anak-anak itu makan dengan lahap, sementara Nona Areth hanya menelan sebuah kapsul lalu tampak sibuk dengan mata yang berpendar-pendar. Ia memantau keadaan di Laboratoria sambil menunggu kabar dari Prof. Will dan Kiyai Usman.

“Sup iganya mantap!” seru Ghazi sambil mengelus-elus perutnya.

“Juice-ku juga segar sekali! Rasa melonnya super enak,” imbuh Nabiella tak mau kalah. Nona Areth berkedip agak lama lalu pendar di matanya berhenti.

“Kalian tahu tidak, sebenarnya kalian itu makan makanan yang sama?” tanya Nona Areth. Anak-anak melongo  tak mengerti. “Itu semua spirulina. Mereka membuatnya dalam aneka bentuk dan memberinya perisa yang sangat identik dengan makanan asli. Sapi tak lagi hidup di masa ini, dan melon sudah lama punah, Teman-teman,” jelasnya.

“Punah?” serempak mereka terheran.

“Jadi, kapsul tadi … ” tanya Nabiella menggantung. Ia masih sulit membayangkan, betapa bumi begitu berbeda saat itu.

“Sama, spirulina, dengan sensasi  nasi kebuli,” Nona Areth melirik Kalma. Mata Kalma membulat mengingat rasa kapsul yang ia makan begitu tiba tadi. “Aku lebih suka kapsul,  karena aku bisa segera bekerja seusai makan,” katanya sambil menyunggingkan senyum kemenangan.

“Huh … kenapa orang dewasa senang sekali bekerja sih?” sungut Nabiella yang membuat Nona Areth senyum-senyum.

“Nona Areth, Apa itu Spirulina? Kenapa harus spirulina?” Kalma  penasaran. Naluri chef-nya terpanggil membayangkan makanan selezat itu hanya terbuat dari satu komposisi utama saja.

“Spirulina adalah sejenis ganggang yang termasuk salah satu makanan super. Gizinya tinggi dan cepat mengganti sel-sel yang rusak. Syukurlah … kami masih bisa membudidayakannya dalam akuarium. Sangat mahal memang, tapi sepadan dengan manfaatnya,” jawab Nona Areth sambil terlihat bersiap.

Sedetik kemudian humanoid perempuan berambut cokelat  datang membawa sebuah tablet virtual yang berisi tagihan makan mereka. Ghazi terkejut melihat tagihannya. Ia pun jadi kikuk saat menyadari ternyata Nona Areth sedang menatapnya. 

Ghazi cengar-cengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Maaf … rupanya … makananku paling mahal ya, Nona?” kata Ghazi sedikit merasa bersalah.

“Begitulah, kau tahu kenapa?” Nona Areth melirik Ghazi lagi.

“Hmmm … karena … makananku paling banyak airnya?” tebak Ghazi. “Begini, mata uang yang digunakan adalah Water Dollar, water berarti air, berarti air sangat berharga bukan?” lanjutnya

“Tepat sekali. Cerdas!” jawab Nona Areth. Hidung Ghazi mengembang. Walau ia selalu rangking satu,  ada rasa bangga yang berbeda saat dibilang cerdas oleh wanita di masa depan sehebat Nona Areth.

“Air adalah alasan kenapa negara ini sangat kaya,” lanjutnya.

“Air? Bukan emas bukan pula minyak, sungguh menakjubkan!” gumam Ghazi.

“Emas? itu sih sangat murah, tusuk gigi ini saja dari emas!.”Nona Areth ternyata mendengar gumaman Ghazi. Jemari panjangnya yang lentik mengambil sebatang tusuk gigi dari atas meja.. “Harganya jatuh bebas sejak kita bisa mengambil emas sepuasnya dari asteroid di sekitar Jupiter.” 

“Haa …” mulut kelima sekawan itu ternganga bersama-sama. Tak menyangka begitu mudah mengambil emas di jaman ini. Di Planet Jupiter pula.

“Nah, sebelum masa itu, saat emas masih berharga, nenek moyang kami menyebut air sebagai emas biru.” lanjutnya lagi.

” Ooo …” mulut anak-anak itu kini membulat bersama-sama. Sepertinya bagus juga kalau mereka membentuk tim paduan suara, kompak sekali.

“PRESIDEN HASSAN TELAH TIBA” 

Obrolan mereka terhenti oleh sebuah pengumuman yang tiba-tiba mengudara di Kafe Spirola. Tanpa komando, semua pengunjung kafe langsung berdiri.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar