PENSIL WARNA DIRMI

 

Dirmi, anak laki-laki berwajah manis, rambut lurus, dan bertubuh gemuk. Ia tinggal di bukit Bolo. Ia suka melukis. Ia hanya memiliki arang sebagai pensil dan bubuk kunyit sebagai pewarna. Setiap ia mengagumi ciptaan Tuhan, ia akan melukisnya.

Suatu hari, Dirmi ingin ke kota Tambo. Ia ingin membeli pensil warna.

“Kota Tambo sangat luas, pergilah bersama paman Alit agar kau tak tersesat,” kata Ayah.

Esoknya, Dirmi dan Paman Alit berpamitan. Mereka menunggangi kuda dan membawa perbekalan yang cukup. Tentu saja, Dirmi tak lupa membawa kertas, arang, dan bubuk kunyit.

Saat menuruni bukit, Dirmi dan Paman Alit istirahat di sebuah pohon yang rindang. Dirmi melihat seekor kupu-kupu yang cantik. Ia mengaguminya dan melukisnya. Ia mewarnai sayap kupu-kupu dengan bubuk kunyit.

“Andai Tuhan memberiku pensil berwarna merah muda, kau pasti terlihat cantik seperti peri,” ujar Dirmi.

Usai melukis, Dirmi dan Paman Alit melanjutkan perjalanan.

Mentari mulai menjingga saat Dirmi dan Paman Alit melalui padang sabana yang indah. Padang itu ditumbuhi bunga-bunga ungu yang cantik. Dirmi mengaguminya dan melukis bunga-bunga itu. Kelopak-kelopak bunga diwarnainya dengan bubuk kunyit.

“Andai Tuhan memberiku pensil berwarna ungu, kau pasti terlihat cantik seperti aslinya.” Dirmi membatin.

Langit seperti tak berunjung dan tak terlihat sebuah rumah pun.

“Paman, apakah kota Tambo masih jauh?”

Paman Alit mengernyit dahi, “Tidakkah ayahmu memberitahu? Kota itu sangat jauh.”

Hari mulai gelap saat Dirmi dan Paman Alit berhasil melalui padang sabana. Mereka mengumpulkan ranting-ranting pohon dan beberapa kayu besar untuk persiapan bermalam.

“Dirmi, malam ini, kita akan menginap di sini.” Titah Paman Alit.

Dari celah kanopi pohon, warna jingga mulai lenyap. Berganti gelap tanpa rembulan. Sangat gelap. Dirmi tegang dan merapat ke tubuh paman.

Dirmi menatap api yang berlomba-lomba menjulur ke langit gelap. Di rumah, api terlihat biasa saja dalam perapian. Di sini, api terlihat anggun dan menawan. Dirmi mengambil kertas, arang, dan bubuk kunyit. Sebelum tidur, ia melukis api itu.

“Kau hampir menyerupai dia. Sayang, kuningmu terlalu muda dan kelabu. Mestinya kau kuning kemerah-merahan. Andai Tuhan memberiku pensil berwarna merah.”

Pagi hari, Dirmi terbangun oleh kicauan burung-burung kecil, berwarna abu-abu dengan garis biru di lehernya. Suaranya merdu sekali. Sinar pagi menembus kanopi bagai sinar berlian. Daun-daun nampak hijau berkilau keemasan. Dirmi mengaguminya dan segera mengambil kertas, arang, dan bubuk kunyit.

“Tidak terlalu jelek. Aku hanya kekurangan warna hijau untuk daun dan biru untuk bulu di leher burung-burung itu. Andai Tuhan memberiku warna hijau dan biru,”kata Dirmi.

Dirmi melanjutkan perjalanan. Tampak di kejauhan sebuah istana yang di kelilingi rumah-rumah. Ada gerbang besar.

“Dirmi, itu kota Tambo,”  kata Paman Alit.

Dirmi dan Paman Alit tersenyum. Mereka berjalan memasuki gerbang kota Tambo. Hiruk pikuk kota, pedagang yang menjajahkan dagangannya dan ehm…aroma kue dan masakan. Anak-anak kecil berlari dan bermain. Wanita muda dengan pakaian yang cantik berlalu-lalang. Dirmi mengagumi segala yang dilihatnya. Dirmi ingin melukis suasana kota Tambo.

“Tetaplah bersamaku!” Titah Paman Alit.

Dirmi mengurung niat untuk melukis dan mengikuti paman memasuki toko kelontong, toko sembako, bengkel parang dan pisau, toko buku dan pensil. Dirmi bahagia sekali. Akhirnya ia memiliki pensil warna.

“Dirmi, kita akan menanti temanku di warung kopi. Kita akan bermalam di rumah temanku itu. Esok pagi pulang ke bukit Bolo,” sahut Paman Alit.

Di teras warung kopi, Dirmi mulai melukis suasana kota Tambo. Ia memakai pensil warna yang dibelinya. Warna-warni di lukisan membuat Dirmi takjub. Ia merasa lukisannya sangat sempurna.

Dirmi menatap Paman Alit dari teras warung kopi. Tertegun dan kagum dengan wajah paman yang mulai beruban. Topi coklat paman berdebu, dan bajunya kusut di beberapa bagian. Dirmi mengambil kertas baru. Melukis wajah paman dan ups! Pensil warna coklat, hijau mulai tumpul. Diserutlah pensil warna coklat dan hijau.

Teman Paman Alit datang dan mengajak mereka untuk menginap di rumahnya. Rumahnya indah, aneka bunga mawar dan bunga asoka, ayunan anak-anak, dan sebuah pohon mangga besar. Lagi-lagi Dirmi ingin melukisnya. Saat melukis rumah teman Paman Alit, pensil warna coklat dan hijau tumpul. Pensil merah tumpul. Pensil orange pun tumpul. Diserutlah satu per satu.

Seorang anak perempuan tiba-tiba muncul dan berdiri di dekat Dirmi sambil membawa se-keranjang kecil bunga berwarna ungu.

“Gambarmu indah sekali,” puji gadis kecil itu.

“Terima kasih. Bunga apa itu?” tanya Dirmi.

“Oo ini. Sungguh kau tak tahu?”

Dirmi mengeleng-geleng.

“Ini bunga Telang. Esok pagi, bunda akan membuat sarapan nasi ungu untuk menyambutmu dan pamanmu,”sahut gadis itu.

Gadis kecil itu anak dari sang tuan rumah–teman Paman Alit.

Esok pagi, sebelum pulang ke bukit Bolo, Dirmi dan Paman Alit disuguhkan nasi ungu yang cantik dihias tumis sayur kacang panjang, ayam goreng, dan sambal. Dirmi takjub melihat warna nasi tersebut. Dirmi memberanikan diri bertanya kepada gadis kecil yang ia temui.

“Bagaimana nasi itu bisa berwarna ungu?” tanya Dirmi.

“Kau tumbuk saja bunganya dan akan keluar warnanya. Bunda tidak menumbuknya. Bunda menaruh bunga Telang ke dalam beras bersamaan dengan bumbunya. Aku punya bibit bunga Telang jika kau ingin menanamnya di halaman rumahmu,” sahut gadis kecil itu.

Dirmi mengangguk tersenyum. Gadis itu berlari memasuki kamarnya dan kembali dengan sebungkus kecil kertas berisi bibit bunga Telang.

Dirmi dan Paman Alit pamitan pulang. Dirmi dan Paman Alit menyusuri jalan yang sama. Sampailah mereka di bukit Bolo.

Sebulan kemudian, pensil warna Dirmi telah habis. Dirmi merenung,

“Ya Tuhan, haruskah aku melakukan perjalanan yang jauh ke kota Tambo untuk mendapatkan pensil warna itu?” keluh Dirmi mayun.

Teringat biji-biji bunga Telang pemberian gadis kecil itu. Ia berlari ke kamarnya, mengambil biji-biji itu dan mulai menanamnya. Hari demi hari, Dirmi menyiramnya dan merawatnya dengan baik. Akhirnya, kuncup bunga Telang mekar dan Dirmi segera memanennya. Ditumbuknya bunga itu dan aha! Warna ungu!

Dirmi sadar, ia tak pernah kehabisan bubuk kunyit karena di halaman rumah tumbuh subur pohon kunyit. Sungguh Tuhan telah menyediakan pewarna untuk Dirmi. Hanya saja Dirmi tidak mengetahuinya.

Dirmi bertekad untuk menanam banyak pensil warna, ups! Tanaman pewarna alam. Alam memberikan segala yang Dirmi butuhkan. Pemandangan yang indah dan pewarna yang tak pernah habis. Dirmi bersyukur kepada Tuhan.

Dirmi akan kembali ke kota Tambo. Kali ini, ia akan membeli bibit tanaman-tanaman pewarna.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar