Penyesalan yang Terlambat

Tuan Abram adalah seorang yang sangat kaya raya. Ia tinggal sendirian di rumah besarnya yang megah bagaikan istana. Halaman rumahnya sangat luas dan indah dengan beraneka tanaman yang terawat dengan baik. Semua itu karena sentuhan tangan dingin tukang kebunnya yang bernama Saman.

Saman adalah seorang tukang kebun yang rajin dan setia. Ia sudah bekerja di rumah Tuan Abram selama dua puluh tahun. Namun, Tuan Abram tidak pernah berterima kasih atas kerja kerasnya itu, ia lebih sering meremehkan dan menyepelekan keberadaannya. Namun, Saman tak peduli dan tak sakit hati dengan perlakuan tuannya itu. Ia bahagia bekerja di sana dan tetap setia.

Suatu hari, Tuan Abram akan mengadakan pesta besar di rumahnya. Saman mendapat tugas untuk menata tanaman dan bunga hidup di tempat pesta. Ia tak perlu berbelanja ke toko bunga karena semuanya ada di halaman rumah.

Tuan Abram sangat senang melihat dekorasi pestanya yang sempurna. Ia bangga sekali, tetapi tak ada sedikit pun ucapan terima kasih kepada Saman yang telah mengatur segalanya. Ia merasa bahwa Saman tak lebih dari seorang pembantu yang derajatnya jauh dibawah dirinya, sehingga tak perlu baginya untuk menunjukkan perhatian atau bahkan sekedar berbasa basi.

Saat pesta berlangsung, semua tamu yang hadir terkagum-kagum dengan bunga dan tanaman aneka warna yang menghiasi tempat pesta. Mereka bertanya kepada Tuan Abram, siapa yang menyiapkan itu semua dan mereka ingin mengenalnya.

Namun, dengan angkuh, Tuan Abram menjawab, “Ah, itu hanya pembantu saya, tukang kebun saya. Namanya Saman. Tak perlu Tuan semua berkenalan dengan orang kotor seperti tukang kebun saya itu, nanti Tuan-Tuan jadi ikut kotor.”

Akhirnya para tamu itu pun tak lagi bertanya tentang Saman. Mereka fokus untuk menikmati pesta yang digelar hingga tengah malam.

Selesai pesta, Tuan Abram yang kelelahan abai dengan jendela kamarnya yang terbuka. Ia terlalu lelah dan mengantuk untuk sekadar menutupnya. Saat ia terlelap, angin yang masuk melalui jendelanya menjatuhkan lilin menyala yang ada di mejanya. Api menjilat kertas yang bertumpuk di sana, kemudian merambat ke buku-buku, taplak meja, dan juga korden. Angin yang bertiup kencang membuat api berkobar dalam waktu yang cepat.

Tuan Abram terbangun dalam keadaan sesak dan panas. Ia terperanjat saat mendapati dirinya berada dalam kobaran api yang dahsyat. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat. Ia tak lagi bisa mengharapkan pertolongan siapa pun. Ia sendirian!

Tiba-tiba sebuah tangan kurus dan hitam menariknya dari kobaran api dan membawanya
ke halaman berumput. Sosok itu kemudian kembali ke dalam rumah sambil berusaha memadamkan api dengan air sebisanya. Selanjutnya Tuan Abram tak ingat apa-apa lagi.

Saat membuka mata, ia mendapati dirinya terbaring di tempat perawatan tabib.

“Apa yang terjadi?” tanyanya kepada Si Tabib.

“Rumah Anda terbakar. Beruntung Anda selamat. Rumah Anda juga tidak habis terbakar karena ada yang berusaha keras untuk memadamkan api sendirian. Anda harus berterima kasih padanya,” jawab Si Tabib.

“Oh, siapakah orang mulia itu? Bawalah aku padanya, aku akan sangat berterima kasih,” kata Tuan Abram tak sabar.

“Kalau memang Tuan ingin berterima kasih, mari saya antar ke pemakamannya. Sebentar lagi dia akan dimakamkan. Dia telah mengorbankan dirinya demi Tuan,” kata Si Tabib.

“Dia meninggal? Siapakah dia?” tanya Tuan Abram.

“Dia tukang kebun Anda, Tuan. Saman yang baik dan setia telah rela berkorban untuk Anda dan harta Anda”.

Tuan Abram terpana. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba berjuta rasa sesal memenuhi dadanya. Ia merasa sangat bersalah karena selama ini telah menganggap hina orang yang telah menyelamatkannya hari ini. Namun, semua terlambat, nasi telah menjadi bubur.

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar