“Selamat ulang tahun, Ayu.”
Hari ini aku berulang tahun. Ayah dan Ibu mengucapkannya pagi-pagi sekali saat aku baru bangun tidur. Mereka juga menciumku dengan sayang.
Aku senang sekali. Hari ulang tahunku adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Aku membayangkan akan ada perayaan ulang tahun untukku, kado dari teman-teman, dan kue ulang tahun. Aku tidak sabar menantikannya!
“Ayah, Ibu. Ayu mau buat pesta ulang tahun. Nanti teman-teman Ayu juga diundang, ya!”
“Ayah dan Ibu sudah menyiapkan selametan untuk merayakan ulang tahunmu,” ujar Ibu.
Senyumku memudar. Aku tau tradisi itu. Ayah pernah bilang kalau selametan adalah tradisi dari Jawa seperti acara syukuran. Itu berarti, tidak akan ada pesta ulang tahun seperti yang aku bayangkan. Tidak akan ada balon, lagu, dan kue ulang tahun.
Aku cemberut. Harusnya hari ulang tahun menjadi hari spesialku. Tapi, bayangan pesta ulang tahunku hancur seketika.
“Ayu anak Ayah yang baik, selamatan tidak seburuk yang kamu kira. Selametan tidak kalah seru, kok, dengan pesta ulang tahun. Kamu boleh undang teman-temanmu juga.”
Ayah membujukku dengan lembut. Aku mengangguk terpaksa.
Pada siang harinya, Ibu membuat nasi tumpeng kuning bersama para tetangga. Mereka semua berkumpul di rumahku dan membantu Ibu menyiapkan hidangan untuk selametan. Aku sebenarnya malu, tapi Ibu menyuruhku bergabung bersama mereka.
“Ayu ini pinter, lho. Peringkat satu dia,” ujar tetanggaku yang bernama Bu Rina. Tetanggaku yang lain ikut memujiku. Aku hanya tersipu dan mengucapkan terima kasih.
“Iya, Bu. Alhamdulillah. Makanya ini buat acara selametan sekaligus merayakan ulang tahun Ayu,” balas Ibu dengan tersenyum bangga kepadaku.
Jadi, Ibu membuat acara selametan ini untuk merayakan ulang tahunku, sekaligus karena aku berhasil menjadi peringkat satu di kelas? Aku terharu sekali. Rasa kesalku tadi pagi perlahan hilang.
Aku juga membantu Ibu menyiapkan nasi tumpeng sebagai pengganti kue ulang tahunku. Di pinggirannya terdapat berbagai macam lauk-pauk yang Ibu buat bersama tetangga rumahku. Aku ikut membantu mereka menghias tumpeng yang sudah jadi.
Bu Sri adalah orang yang paling terampil membuat hiasan. Ia membuat wortel menjadi bentuk bunga. Ibu juga ikut membantu membentuk timun menjadi seperti daun yang memanjang. Cantik sekali! Sayangnya, aku hanya bisa melihat prosesnya saja. Karena Ibu tidak mengizinkanku untuk memegang pisau.
Tapi, aku diizinkan untuk menaruh hiasan sayur itu sesuka hatiku. Aku pun menghiasnya dengan sepenuh hati.
Ternyata asyik juga, ya, menghias tumpeng seperti ini! Tidak kalah menggiurkannya dengan kue ulang tahun. Aku jadi lapar ketika melihatnya. Aku sudah membayangkan betapa gurihnya nasi kuning itu ketika masuk ke dalam mulutku. Nyam, nyam, nyam!
***
Acara selametanku diadakan sehabis waktu maghrib. Ayah dan Ibu mengundang tetangga-tetanggaku yang lain untuk datang ke rumah. Aku mengajak semua teman-temanku untuk datang berkumpul. Ayah juga mendatangkan seorang ustadz di kampungku untuk memimpin acara selametan.
“Selamat ulang tahun, Ayu,” ucap Kania sambil memberikan sebuah kado. Teman-teman lain yang baru saja datang juga memberiku sebuah bingkisan. Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka semua.
Semua orang duduk berhadapan di atas tikar yang sudah digelar. Nasi tumpeng yang sudah dibuat ditaruh di tengah-tengah. Tidak lupa beberapa camilan seperti kue bolu, gorengan, dan buah-buahan disajikan di depan tamu undangan.
Ternyata, selametan tak jauh beda dengan pesta ulang tahun. Bedanya hanya tidak ada lagu ulang tahun, melainkan pujian kepada Allah SWT. Tidak ada tepuk tangan, karena semua orang khidmat membaca doa.
Selesai membaca doa, kami semua makan bersama. Aku memilih untuk makan bersama teman-temanku. Mereka bilang nasi tumpengnya enak. Aku setuju!
Kami makan dengan lahap sampai habis tak tersisa. Setelahnya, dilanjutkan dengan mengobrol dan kami tertawa bersama-sama.
Ketika sedang asyik mengobrol, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Ayah yang membawa kue ulang tahun. Aku tidak percaya ini! Acara selametan ini sudah cukup bagiku. Namun, Ayah justru memberikan kue ulang tahun.
Rupanya, Ayah membeli kue ulang tahun itu ketika aku membantu Ibu di dapur. Ayah ingin memberiku kejutan, sekaligus agar aku tidak cemberut lagi katanya. Aku pun tersenyum bahagia. Kue ulang tahun itu kemudian dipotong dan dibagi-bagikan kepada teman-temanku. Mereka senang bisa makan banyak hari ini.
Kata Ayah, acara selametan bertujuan menjaga kerukunan antarwarga. Tradisi ini juga mengandung nilai-nilai moral seperti berbagi dengan sesama dan meminta perlindungan kepada Allah SWT. Ulang tahunku jadi terasa penuh berkah. Aku ikut merasa bahagia ketika bisa berbagi dengan tetangga dan teman-temanku.
Saat semua orang sudah pulang, aku bersama Ayah membuka semua kado dari teman-teman. Sedangkan Ibu dibantu tetanggaku membereskan bekas acara. Kado-kado tersebut berisikan buku diary cantik, boneka beruang, dan masih banyak lagi.
“Tunggu sebentar, ya,” ujar Ayah lalu pergi dari kamarku.
Tak lama, Ayah datang lagi dengan membawa sebuah hadiah yang membuatku menjerit. Sepeda baru! Sudah berapa lama aku menginginkannya, dan sekarang sepeda itu ada di hadapanku. Hadiah itu memang Ayah janjikan jika aku berhasil menjadi peringkat satu.
Aku langsung berlari dan memeluk sepeda baruku. Besok ketika sekolah, aku akan berangkat menggunakan sepeda. Jadi, aku tidak perlu diantar Ayah lagi. Aku juga meminta izin kepada Ayah agar aku bisa bermain sepeda dengan teman-temanku di lapangan esok hari.
Betapa senangnya aku hari ini. Benar kata Ayah. Ternyata, perayaan ulang tahun tanpa pesta tidak seburuk yang aku kira. Justru, ini adalah perayaan ulang tahun yang paling berharga dalam hidupku.
***
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”