Peri Hujan

Gerimis turun lagi sore itu, membasahi halaman kecil di depan rumahku. Aku duduk di teras, memandangi tetesan air yang berkilauan seperti mutiara.

“Sudah datang?” tanyaku pelan, sambil menoleh ke sekeliling.

Tiba-tiba, ada suara lembut yang membuatku terkejut. “Aku di sini, tak perlu mencari terlalu jauh.”

Aku menoleh cepat, dan di sana, berdiri sosok kecil bercahaya, tak lebih besar dari telapak tanganku. Sayapnya transparan seperti kaca, dan tubuhnya memancarkan cahaya lembut.

“Kenapa kamu selalu muncul saat gerimis?” tanyaku penasaran.

Ia tertawa kecil, suaranya seperti lonceng. “Gerimis adalah rumahku. Tetesannya adalah tangga untukku turun ke dunia ini.”

Aku mengambil selembar daun yang jatuh di dekatku. “Kamu mau bermain denganku?” tanyaku sambil meletakkan daun itu di genangan air, menjadikannya perahu kecil.

Ia tersenyum lebar, lalu melompat ke atas daun. “Tentu saja. Tapi hanya anak-anak yang bisa melihatku. Kenapa wajahmu murung?”

Aku terdiam, lalu berkata pelan, “Aku sering sendirian. Tidak ada yang mau bermain denganku.”

Ia melayang mendekat, menyentuh tanganku dengan lembut. “Tenang saja, aku akan jadi temanmu. Tapi hanya saat gerimis, ya.”

Hari-hari berikutnya, setiap kali gerimis turun, aku duduk di teras menunggunya. Peri Gerimis selalu datang, membawa cerita-cerita ajaib. Ia bercerita tentang hutan hujan yang bercahaya, sungai yang mengalir di langit, dan bunga yang tumbuh dari tetesan hujan.

Namun suatu hari, aku bertanya, “Kenapa kamu hanya datang saat gerimis? Kenapa tidak bisa lebih lama?”

Ia tersenyum sedih. “Karena aku bagian dari hujan. Saat hujan berhenti, aku pun harus pergi.”

Gerimis perlahan reda. Aku melihatnya mulai memudar. Tapi sebelum menghilang, ia berkata, “Aku akan selalu kembali. Saat gerimis turun lagi, aku pasti ada di sini.”

Aku tersenyum, menatap langit. Sekarang, aku tahu, hujan tidak lagi membuatku merasa sendirian.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar