Pernak-pernik Ramadan RaYa #3

Maryam dan Yahya

Waktu menunjukkan pukul 13.05, panas menyengat dari matahari yang sedang terik-teriknya, tidak sedikitpun mengganggu keasyikan Yahya, Husain dan Ali bermain kelereng. Saat sedang serius membidik lingkaran yang berisi belasan kelereng di dalamnya, tiba-tiba Yahya berteriak “Astagfirullah …”

Ada benda yang terbang di udara dan menabrak kepala Yahya. Benda itu lalu terjatuh ke tanah, ternyata sebuah pesawat dengan remote control.
Sorry yah, tadi pesawatnya susah dikendalikan, mungkin remote-nya hang. Kamu enggak apa-apa?” Seorang anak dengan pakaian necis, rambut rapi dengan membawa remote control mendekati Yahya dan kawan-kawannya.
“Iya, enggak apa-apa kok,” Yahya menjawab sambil tetap memegang kepalanya yang memerah.
“Beneran enggak apa-apa, Yahya? Itu merah gitu, bakal benjol kali,” sanggah Ali.
“Eng …” Yahya baru membuka mulut ingin berbicara, saat anak baru itu memotong perkataan Yahya.
“Yahya, namanya kok lucu. Yah … ya … yah … ya. Hahaha,” tanpa canggung ia tertawa terbahak-bahak. Yahya, Husain dan Ali bingung sekaligus sedikit dongkol.

“Yahya itu nama yang diberikan langsung oleh Allah subhana wata’ala untuk anak Nabi Zakaria loh. Trus, Yahya juga diangkat menjadi Nabi oleh Allah. Wataknya baik, berbakti kepada orang tua dan mendakwahkan Islam kepada kaumnya. Itu yang aku baca,” Yahya menjelaskan tanpa ditanya.
“Oooh gitu,” anak itu mengambil pesawatnya dan beranjak pergi tanpa basa-basi.

“Iiiih, ngeselin banget sih dia. Udah salah, nabrakin pesawat di kepala Yahya. Eh, malah ngeledek nama lagi,” cerocos Husain saat anak itu sudah menjauh.
“Arrrghhh …” Yahya berdesis. Sebenarnya kepala Yahya sudah terasa panas, jantungnya berdegup dengan kencang, tangannya mengepal menahan amarah. Tapi, Yahya ingat pesan Umma untuk membiasakan diri menahan marah, apalagi saat puasa.
Inni sha’im,” gumam Yahya.

Laa Taghdab wa lakal Jannah, janganlah kamu marah maka bagimu syurga,” suara Umma ikut terngiang di kepala Yahya.

“Sabar Ya. Lo hebat bisa tahan, kalau gue mungkin udah gue sentil. Hahaha!” ujar Ali diikuti tawa Yahya dan Husain. Adzan Ashar berkumandang, Yahya mengajak teman-temannya shalat berjamaah di masjid. Setelah shalat, mereka pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, Yahya menceritakan kejadian siang tadi kepada Umma dan Maryam yang sedang berada di dapur menyiapkan takjil. Setelah mendengarkan cerita Yahya, Maryam ikut berceloteh.

“Temanku juga pernah bilang Umma, kalau nama Maryam itu tidak keren. Nama jadul katanya, jaman dulu!” keluh Maryam.

“Lalu, menurut Maryam, bagaimana?” Umma balik bertanya.

“Maryam itu kan keren Umma. Muslimah shalehah, diberi mukjizat oleh Allah berupa rezeki di saat ia berada dalam mihrabnya, bahkan ibu seorang nabi, Nabi Isa alayhissalam. Kurang keren apalagi coba?” celoteh Maryam.

“Nah, itu Maryam tahu. Nama itu doa, Nak! Lagipula, Insya Allah arti dari Maryam dan Yahya itu baik,” jelas Umma pada kedua anaknya.

“Siap Umma, Maryam suka banget kok sama nama yang Abah dan Umma kasih,” tutur Maryam.

“Yahya juga suka. Pokoknya Yahya dan Maryam itu keren, titik,” kata Yahya dengan menggebu-gebu. Maryam dan Yahya saling melempar senyum lalu bersama-sama memeluk Umma.
“Terima kasih yaa Umma,” ucap Yahya.
“Jazaakillahu Khair Umma, sudah memberikan kami nama yang baik. Semoga Allah ridho mengabulkan doa dari nama yang Umma dan Abah kasih ke Maryam dan Yahya, Aamiin” tutur Maryam.

“Sama-sama sayang,” jawab Umma dengan mata berkaca-kaca. Sore hari itu terasa sendu namun penuh kehangatan.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar