Separuh Kurma
Ramadhan pekan pertama sudah berlalu. Masya Allah, sungguh suasana bulan yang penuh berkah memang selalu mampu menyejukkan jiwa.
Mumpung nenek sedang berkunjung, di hari ke delapan Ramadhan, keluarga besar Maryam dan Yahya mengadakan acara buka bersama di sebuah rumah makan ternama. Semuanya begitu senang bisa bertemu dengan kerabat yang jarang bersua.
Setelah shalat Ashar, mereka sudah bersiap-siap untuk berangkat ke acara buka puasa. Mereka berencana berangkat lebih awal, untuk menghindari macet di jam-jam mendekati waktu berbuka. Maryam dan Yahya sibuk dengan hadiah yang akan dibagikan ke sepupu mereka, Raya dan Rayna. Memang sudah menjadi kebiasaan mereka jika ada acara keluarga, mereka sering bertukar kado sebagai usaha untuk memaniskan ukhuwah apalagi dalam jalinan darah, seperti kata Umma.
Ayah melirik arloji di tangan kanannya, sudah menunjukkan pukul 16.00.
“Sudah ready semua?” Abah bertanya pada Umma.
“Iya, sudah Abah, yuk!” jawab Umma.
Setelah menempuh waktu perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, mereka akhirnya tiba di rumah makan yang dituju. Suasana rumah makannya sangat asri. Ada sebuah kolam ikan besar di tengah area rumah makan. Lalu di sekelilingnya berderet gazebo atau saung dari kayu dengan atap daun rumbia yang memberi kesan pedesaan. Rumah makan yang sangat cocok untuk acara keluarga.
“Yahya mana?” tanya Umma saat sudah duduk di salah satu gazebo yang sudah direservasi oleh Abah.
“Tadi ikut turun bareng aku Umma, tapi dia jalan di belakang Umma,” jawab Maryam dengan polos.
“Coba aku cari di parkiran,” Abah segera beranjak.
Umma melihat ke sekeliling dengan seksama. Satu, dua kali pandangannya mengitari seluruh area rumah makan, sosok Yahya belum keliatan.
“Itu Yahya Umma,” seru Maryam. Umma menoleh, ternyata Yahya berjalan bersama Abah, Paman Arya, Bibi Rani, Raya dan Rayna. Mereka mendekat dan tersenyum hangat.
“Ini loh, kok anaknya bisa ketinggalan di parkiran Bu,” tutur Paman Arya pada Nenek.
“Hahaha, tadi kirain Yahya ikut di belakang kakaknya Mas,” jawab Abah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sudah-sudah, Yahya memangnya kenapa tadi enggak langsung ngikut kami masuk?” tanya nenek dengan lembut.
“Tadi Yahya liat ada anak kecil di depan lagi minta-minta, dia sepertinya kelaparan, kasian deh Nek. Pas noleh nyariin kakak, eh Kak Maryamnya udah enggak keliatan. Beruntung Paman Arya juga udah datang jadi bisa bareng,” tutur Yahya menjelaskan.
Abah dan Umma mulai memesan makanan, Nenek asyik bercengkrama dengan Paman dan Bibi. Maryam dan Yahya saling bertukar kado dengan sepupunya. Raya dan Rayna juga membawa roti kesukaan Maryam dan Yahya. Suasana kekeluargaan begitu terasa, semuanya terlihat bahagia.
Setelah berbuka puasa, shalat isya dan shalat tarawih di masjid dekat rumah makan, Paman Arya dan keluarga berpamitan pulang pada nenek. Mereka berpisah di parkiran. Saat akan masuk ke mobil, Yahya melihat lagi anak yang diceritakannya tadi. Yahya sangat iba, tapi dia tidak membawa uang saku. Yahya menatap sepotong roti yang ada dalam genggamannya. Roti terakhir yang tadi dibawakan oleh Raya, sekaligus rasa favorit Yahya, itulah sebabnya ia ingin memakannya di rumah. Save the best for the last katanya.
Tapi seketika, Yahya ingat apa yang disampaikan Paman Arya tadi saat berbuka puasa. Tentang anjuran Rasulullah untuk bersedekah, bahkan dengan sebelah atau setengah butir kurma. Yahya kembali melihat anak itu, lalu menatap rotinya, berulang kali.
“Dek, kok enggak naik-naik?” Abah bertanya, heran.
“Hmmm… tunggu ya Abah, Yahya kesana sebentar,” ujar Yahya lalu berlari kecil menuju tempat anak tadi berdiri.
“Hai, aku Yahya. Ini ada roti untuk kamu, dimakan yaa. Semoga kamu suka. Itu roti favoritku loh,” tutur Yahya ramah sambil menyodorkan rotinya. Sedangkan anak itu, mengulurkan tangan dan meraih roti itu dengan ragu-ragu.
“Terima kasih Yahya, saya Ihsan,” jawab anak tadi.
“Wah namanya bagus. Kalau gitu, aku pulang dulu ya Ihsan, Assalamu ‘Alaykum,” Yahya pamit dengan senyum yang mengembang di pipinya. Anak yang menerima roti itupun tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
Yahya pulang dengan hati yang lega dan hangat, ia bahagia karena berhasil mengalahkan dirinya sendiri dan memilih untuk berbagi. “Beli rotinya bisa lain kali kok,” bisiknya dalam hati. Ia terus tersenyum, sampai membuat anggota keluarga lain ikut tersenyum.
Sedekah dengan separuh kurma tidak akan membuat kita kekurangan, justru bisa jadi akan menjadi penyelamat dari api neraka.