Kampung Nenek
Pulang kampung, menjadi salah satu tradisi yang masih terus dilakukan oleh kebanyakan keluarga di penghujung bulan Ramadhan. Berkumpul bersama keluarga besar di Hari Raya memang memberi kebahagiaan tersendiri di hati. Tiga tahun terakhir keluarga Maryam tidak pulang kampung. Selain karena abi bertugas di Covid Centre di hari-hari menjelang dan setelah hari Raya, beberapa tahun sebelumnya juga ada kendala yang membuat mereka tidak bisa bepergian jauh. Maka, pulang kampung di Ramadhan kali ini menjadi hal yang sangat dinantikan Maryam dan Yahya.
“Kak Maryam, bawa baju berapa banyak?” tanya Yahya pada Maryam di malam hari, satu hari sebelum mereka pulang kampung.
“Secukupnya aja dek,” jawab Maryam singkat.
“Iiih secukupnya itu berapa?” Yahya bertanya lagi.
“Yahya hitung aja, kira-kira berapa baju yang mau dipakai selama tujuh hari disana nanti,” Maryam menjelaskan sedikit lebih detail.
“Tapi kan, nanti ada baju lebaran, trus nanti ada baju untuk silaturrahim ke rumah keluarga disana juga, baju tidur juga. Jadi banyak kak,” celoteh Yahya yang begitu antusias mempersiapkan momen pulang kampungnya. Maryam memilih diam, khawatir Yahya malah akan membuatnya bertambah kesal, kalau dijelaskan lebih panjang.
Umma yang mendengar percakapan kakak beradik itu hanya tersenyum di balik pintu.
Belasan menit kemudian setelah bertanya tentang pakaian.
“Kak, kalau buku bawa enggak?” tanya Yahya.
“Terserah kamu dek,” jawab Maryam.
“Kalau kakak, bawa enggak?” tanya Yahya lagi.
“Bawa, tapi lima aja, itupun tiganya mau kukasih ke dek Naura,” jawab Maryam lagi.
“Hmmm… Aku mau bawa sepuluh ah,” tutur Yahya sebelum kembali ke kamarnya. Maryam hanya geleng-geleng kepala.
Belum genap sepuluh menit kemudian, Yahya masuk lagi ke kamar Maryam.
“Kak, bantuin dong, tas aku kok enggak muat ya,” Yahya akhirnya menyerah dan meminta bantuan. Maryam terkekeh sejenak kemudian membantu adiknya menutup koper.
Hari yang dinanti tiba. Tiga hari sebelum hari Raya Idhul Fitri keluarga Maryam dan Yahya akan pulang kampung. Maryam, Yahya, Abah dan Umma berangkat dengan mengendarai mobil yang dikemudikan Abah. Mereka berangkat setelah shalat Subuh. Udara segar menyentuh wajah Maryam dan Yahya yang membuka jendela mobil saat mereka sudah memasuki daerah pedesaan. Maryam dan Yahya terlihat sangat menikmati perjalanan sebelum jalanan mulai berkelok-kelok.
Rumah Nenek Umma membutuhkan waktu tempuh sekitar lima sampai enam jam perjalanan. Sepertiga perjalanan melewati jalan berkelok-kelok mengitari pegunungan. Maryam dan Yahya mulai merasa mual, oleh karena itu mereka memutuskan untuk mencoba tidur. Maryam mulai gelisah, perutnya tidak nyaman.
“Kenapa kak?” yahya bertanya melihat gerak-gerik kakaknya.
“Umma, aku mual,” keluh Maryam.
Abah mencari kedai yang biasa menjadi tempat persinggahan lalu menepikan mobil. Mereka membuka pintu mobil lalu turun sejenak untuk menghirup udara segar dan beristirahat.
“Maryam pusing? Mau muntah?” Umma bertanya dengan lembut pada Maryam.
“Enggak kok Umma, tapi mual,” jawab Maryam.
“Mau batalin puasanya aja dulu?” tanya Umma lagi.
“Enggak kok Umma, masih bisa tahan,” Maryam menolak tawaran Umma.
“Kalau aku Umma? Boleh batal enggak?” Yahya malah menawarkan diri.
Umma hanya tersenyum sambil menggeleng, tanda tidak setuju.
Setelah beristirahat sekitar tiga puluh menit, Maryam sudah merasa baikan. Jadi, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan mereka sudah hampir empat jam lamanya, tapi masih belum memasuki area kabupaten dari kampung Umma. Yahya sudah bolak balik melihat pemandangan, membaca buku, mendengar rekaman cerita, bahkan menghabiskan jatah screen time harian. Tapi, mereka belum sampai juga. Yahya mencoba mengganti posisi duduk dan mencoba memejamkan mata, tapi tetap tidak berhasil.
“Kita main tebak-tebakan yuk,” ajak Maryam saat melihat adiknya sudah bagaimana cacing kepanasan karena bosan.
“Boleh-boleh, kakak duluan,” sahut Yahya antusias.
“Benda apakah yang berwarna-warni. Semakin besar, semakin ringan?” tanya Maryam.
Setelah lima menit berlalu, Maryam bertanya lagi “sudah menyerah?”
“Belum kak, apa ya? Wadah tuppie Umma? Kan warna-warni, hehehe,” jawab Yahya sambil nyengir.
“Salah, menyerah?” tantang Maryam.
“Oke deh nyerah,” jawab Yahya.
“Jawabannya, balon, hehehe,” Maryam memberitahukan jawabannya dan tertawa senang.
“Aku lagi. Tebak yaa! Cuci apa yang tidak perlu air?” tanya Yahya.
“Hmmm… Cuci kering pakai? Jawab Maryam asal. Ummi dan Abah ikut memikirkan jawabannya.
“Nyerah?” tantang Yahya.
“Okedeh nyerah, apa jawabannya?” desak Maryam.
“Cuci mata alias window shopping, hihihi,” Jawab Yahya puas, karena tidak ada yang berani menebak.
Usul bermain tebak-tebakan membuat rasa bosan mereka menghilang. Tidak terasa setelah puluhan tebakan dilontarkan, mereka sudah tiba di kampung nenek Umma. Alhamdulillah.