Pernak-pernik Ramadhan Raya #Part18

Fitrah

Malam terakhir bulan Ramadhan memang waktu yang paling afdhol untuk membagikan zakat fitrah.

Setelah shalat maghrib mereka sudah bersiap untuk berangkat. Mereka berbagi tugas. Pak Ahmad dan beberapa anggota keluarga lainnya, membagikan zakat fitrah ke para mustahik yang jaraknya dekat dari rumah. Sedangkan Abah ingin mengajak Maryam dan Yahya membawakan zakat bagi mustahik yang jaraknya cukup jauh dari rumah Nek Ipa.

Setelah semua sudah siap, mereka semua berangkat dari rumah Nek Ipa. Pak Ahmad dan yang lain berangkat dengan berjalan kaki saja. Sedangkan Abah mengendarai motor dengan membonceng Maryam dan Yahya di belakangnya.

Namun, tidak cukup sepuluh menit mereka mengendarai motor, Abah sudah menepikan motor. Abah kemudian memarkirkannya di depan rumah besar berwarna oranye. Maryam dan Yahya saling berpandangan, mereka bertanya-tanya apakah pemilik rumah adalah mustahik. Tapi belum sempat bertanya pada Abah, Abah yang telah memarkirkan motor langsung menuju ke depan pintu rumah itu, lalu mengetuk pintunya.

“Assalamu ‘Alaykum,” Abah memberi salam.

“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” terdengar suara seseorang menjawab salam dari dalam rumah.

“Masya Allah, kapan tiba dek? Wah-wah keponakan sudah dua rupanya. Masuk dulu yuk sini,” seorang pria paruh baya dengan sedikit rambut yang mulai memutih membuka pintu dan langsung mengajak Abah masuk.

“Alhamdulillah sejak dua hari yang lalu Kak Rul, In sya Allah sebentar kami mampir. Tapi, aku titip motor dulu ya. Mau bawain zakat ke belakang. Beliau masih tinggal disana kan?” tutur Abah meminta izin.

“Boleh-boleh, silahkan. Masih sepertinya dek, karena tiap hari masih lewat sini kok kalau pagi dan sore,” pria yang dipanggil Abah sebagai Kak Rul itu menjelaskan.

“Baik kalau begitu Kak, kami permisi dulu,” Abah pamit. Maryam dan Yahya memberi senyum pada pemilik rumah lalu mengekor di belakang Abah.

Mereka menelusuri jalanan setapak di samping rumah besar tadi. Jalanan masih cukup terang karena terkena cahaya lampu dari pagar rumah besar tadi. Namun, lama kelamaan jalanan semakin gelap, semak-semak pun semakin terasa mempersulit langkah Abah, Maryam dan Yahya. Abah pun menyalakan senter dari smartphone-nya untuk menerangi langkah mereka.

“Abah, masih jauh ya?” Maryam bertanya lalu mempererat genggaman tangannya pada Abah. Yahya juga sudah terlihat kelelahan, tapi masih pantang mengeluh.

“Hmmm, sebentar lagi Nak, sabar ya,” jawab Abah.

Maryam dan Yahya tidak menyangka bahwa medan yang harus ditempuhnya untuk membawa zakat fitrah sangatlah menantang. Sedangkan Abah memang bermaksud untuk memberi pengalaman berharga bagi anak-anaknya. Setelah lama menelusuri jalan setapak, mereka ternyata juga harus menuruni beberapa anak tangga yang cukup terjal dan gelap. Lalu, tepat setelah menuruni tangga, terlihat sebuah rumah kecil berdiri disana.

“Kita mau kesitu ya, Abah?” sekarang Yahya yang antusias bertanya.

“Iya Nak, yuk!” jawab Abah.

Rumah itu masih beratapkan daun rumbia, dindingnya dari bambu yang dianyam dan banyak tambalan sana sini. Maryam dan Yahya sedih melihat kondisinya.

“Assalamu ‘Alaykum warahmatullahi wabarakatuh,” Abah memberi salam, lalu mengulangnya lagi sampai tiga kali, karena belum juga mendapat jawaban.

“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh, siapa?” jawab seseorang dari dalam rumah.

“Wardi Pak,” jawab Abah. Seorang kakek keluar dari rumah kecil itu. Beliau tampak lusuh namun tampak bijaksana.

“Siapa?” Kakek itu bertanya lagi sambil menatap Abah, Maryam dan Yahya.

“Wardi Pak, ini anak-anak saya,” jawab Abah.

“Oh oh rupanya, Nak Wardi. Masya Allah, anaknya sudah dua. Masuk Nak, tapi ya maaf, kondisi rumah begini,” tutur Kakek itu mempersilakan masuk. Mereka duduk di kursi kayu yang memanjang di salah satu sisi rumah.

“Gimana Pak, sehat?” tanya Abah.

“Alhamdulillah, yaa beginilah adanya, hidup sederhana,” jawab kakek itu singkat.

“Ini Pak, ada sedikit rezeki, kewajiban kami. Semoga berkenan ya Pak,” tutur Abah.

“Masya Allah, Jazaakallahu Khair ya Nak,” Kakek itu menerima kantongan beras dengan mata berbinar.

“Sedih ya Nak, Ramadhan udah pergi lagi. Bapak sih khawatir sudah tidak bisa bertemu lagi tahun depan,” Kakek itu menambahkan.

“Semoga masih Allah kasih umur panjang ya Pak, kita bisa ketemu Ramadhan lagi. Aamiin,” tutur Abah.

Sekitar sepuluh menit Abah dan Kakek berbincang. Maryam dan Yahya menyimak dengan mata berkaca-kaca. Mereka pamit karena malam semakin gelap.

“Abah, Yahya janji kalau besar nanti akan selalu jaga Abah sama Umma,” tutur Yahya, sambil terus melangkah di jalan yang bersemak.

“Maryam juga. Pokoknya, InsyaAllah Maryam akan jadi anak shalehah untuk Abah dan Umma,” tambah Maryam.

“Iya Nak. Aamiin Allahumma Aamiin,” tutur Abah singkat.

Dari percakapan Abah dan Kakek tadi, Maryam dan Yahya mengerti bahwa sang kakek telah ditinggalkan oleh anak-anaknya. Mereka paham dan ikut bersedih. Hati anak-anak yang masih bersih dan fitrah kebaikannya yang masih murni begitu mudah tersentuh. Karena itu mereka berjanji pada Abah untuk menjadi anak yang berbakti sampai besar nanti.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar