Nina melangkah keluar dari gerbang sekolah. Nina pulang dengan berjalan kaki di bawah terik matahari. Panas membuat kepalanya pening. Ya, hari memang menunjukkan pukul 12 siang. Sepanjang jalan yang dilewati Nina, banyak anak bermain layang-layang. Aneh, panas-panas begini kok bisa-bisanya main layangan, gumam Nina.
Di depan rumah, Reva, adik Nina, sedang asyik bermain layang-layang. Panas yang menyengat kulit Reva, tidak sedikitpun membuat Reva menghentikan permainannya. Reva terlena oleh lenggak-lenggok layangannya. Menari-nari tertiup angin.
Nina sampai di rumah. Setelah memberi salam, segera masuk dan bergegas ke dapur. Nina meneguk segelas jus jeruk yang diambilnya dari kulkas. ”Hmm… segar…,” gumamnya.
“Bu, Reva tuh jam segini main layangan, disuruh berhenti malah marah, ” ujar Nina.
“Iya, padahal baru pulang sekolah, “ kata Ibu. “Belum sempat Ibu menyuruh makan, Reva sudah lari keluar….” Ibu menghela nafas. “Sana panggil lagi adikmu,” suruh Ibu.
“Ah enggak Bu, nanti Nina kena marah lagi,” sahut Nina. Nina masuk ke kamarnya.
Ibu keluar memanggil Reva. Namun Reva belum mau berhenti. Ibu kesal dengan kebiasaan Reva. Gara-gara bermain layangan, setiap pulang sekolah Reva tidak langsung makan. Setelah ganti baju langsung menyambar layangan dan berlari keluar. Perasaan lapar dan haus tidak dihiraukannya.
**
Pak Tino, ayah Reva, baru pulang dari kebun. Sepajang jalan Pak Tino memperhatikan ada beberapa layang-layang yang masih berada di atas. Tidak sebanyak tadi, ketika pergi ke kebun.
Panas terik matahari, membuat anak-anak yang bermain layang-layang menghentikan permainannya. Tapi ada satu layang-layang yang Pak Tino kenal. Layang-layang itu milik Reva. Layang-layang bergambar Superman itu melenggak-lenggok, menyambar-nyambar menantang lawan. Dan pada satu kesempatan, layangan Reva putus disambar lawannya. Anak-anak yang senang memburu layang-layang berlarian. Akhirnya layang-layang itu berhasil ditangkap oleh Rinto.
“To, layangannya boleh Bapak beli?” tanya Pak Tino.
“Kok dibeli Pak, ini kan bekas. Yang baru harganya Rp 1000.”
“Ah tidak, Bapak mau layang-layang yang itu. Nih Bapak punya 2000 rupiah. Tidak perlu dikembalian, mau kan?” tanya Pak Tino
Rinto girang melihat uang 2000 rupiah di tangan Pak Tino. Aha, bisa buat membeli dua layangan, pikirnya.
Di depan Rumah, Reva sedang marah-marah karena layangannya putus. Tak henti-hentinya dia menggerutu sambil menggulung tali layangannya yang panjang. “Dasar pemutus layangan orang lain, lihat saja nanti, akan aku balas,” ujar Reva.
Walau Reva masih kelas 1 SD, Reva sudah pintar memainkan layang-layang. Layang-layangnya terbang tinggi, menyambar-nyambar menantang bertanding. Dan kali ini, layangannya yang putus.
**
Reva masuk ke dalam rumah dengan wajah masam. Dia duduk di meja makan. Dia kesal layang-layang kesayangannya, yang dia panggil Si Jago, akhirnya putus. Si Jago sudah banyak memutuskan tali layangan orang lain. Si Jago bagi Reva adalah layangan kesayangan.
“Kalau mau makan, cuci tangan dulu,” kata Ibu.
Selesai Reva makan, Reva kebingungan harus mengerjakan apa. Kegiatan main layangannya terhenti. Untuk meminta layangan baru rasanya tidak mungkin. Ibu pernah bilang tidak akan membelikan layangan lagi, karena Reva main tidak mengenal waktu. Reva menyandarkan badannya di kursi. “Hhmmm… seandainya Si Jago pulang…,” gumam Reva.
Keesokan harinya ketika baru bangun tidur, Reva melihat layangannya sudah berada di meja belajar. Reva girang, Reva mendekat dan mengambil layangannya. “Kok aneh, Si Jago bisa ada di sini!” gumamnya.
Bedanya, di tubuh Si Jago kini ada tulisan.
Aku Si jago, tolonglah aku.
Terbangkanlah aku ketika hari sudah teduh.
Matahari membuatku kepanasan berada di atas.
Reva merenung. Reva tidak percaya dengan pesan di layangan. Penuh pertanyaan di benak Reva. Masa sih layangan kepanasan? Siapa yang menulis pesan ini? Masa layang-layang menulis sendiri? Aneh!
Karena Reva sangat menyayangi Si Jago, akhirnya pikirannya terpengaruh juga. Pulang sekolah, Reva mengganti baju, mencuci tangan, lalu makan. Reva mondar-mandir di depan jendela. Sesekali wajahnya melihat ke langit. Terasa lama menunggu hari teduh.
Dari dapur Ibu memperhatikan Reva. “Hmm… ide Ayah rupanya berhasil untuk hari ini,” gumam Ibu.***
Gambar: Tribunnews.com
Tulisan lama, diposting 19/11/2014