Di suatu desa yang dikelilingi oleh perbukitan, tinggallah sekelompok anak yang penuh semangat dan keceriaan. Mereka adalah Bila, Dora, Nanda, Doni, dan Seto. Mereka suka mencari petualangan baru.
Suatu hari, mereka mendengar cerita dari nenek tetua di desa, legenda tentang sebuah hutan yang dihuni makhluk-makhluk ajaib. Hutan itu disebut hutan Ame. Cerita itu menggoda mereka untuk menjelajahi hutan Ame. Bila, anak yang penuh semangat menjadi pemimpin dalam petualangan itu. Keesokan harinya, saat fajar menyingsing, mereka berangkat.
Mereka membawa bekal dan peralatan sederhana seperti kompas dan buku catatan. Di dalam buku itulah mereka akan mencatat hal-hal menarik di hutan Ame. Semangat kelima anak itu membara, tanpa ragu mereka melintasi batas desa.
Setelah melewati sungai-sungai kecil dan mendaki bukit-bukit curam beberapa jam, tibalah mereka di sebuah dataran padang rumput yang luas dan indah di tepi hutan. Di tengah padang rumput itu tumbuhlah sebuah pohon beringin yang besar lagi rindang. Akar-akarnya menjuntai bagai tirai yang memisahkan dunia manusia dan alam gaib. Mereka penasaran dan mendekati pohon beringin itu.
“Selamat datang, Anak-anak,” sebuah suara muncul dari pohon itu.
Anak-anak itu terkejut, mereka menengok kiri kanan, namun tak menemui siapapun selain diri mereka. Belum hilang kebingungan mereka, suara itu muncul kembali, “Mengapa kalian ke mari?”
Seto seakan tak percaya, ia menunjuk pohon itu, “Poh… Pohon itu bic… Bicara!”
Bila, Nanda, Doni dan Dora melongo. “Ah masa?” Doni meragukan Seto.
“Aku penjaga hutan, ini, siapa kalian?” Suara itu benar-benar berasal dari pohon itu.
Kegentaran mulai merayapi hati kelima anak itu. Ketakutan menggerakkan kaki mereka untuk segera menjauh. Tiba-tiba suara itu kembali terdengar, “Jangan takut, kalian tidak berniat merusak, bukan? Kalian tak akan celaka.”
Mendengarnya, mereka lega dan mengurungkan niat untuk melarikan diri, nyali mereka mulai menyala lagi. “Namaku Bila, dan ini teman-temanku,” Bila memperkenalkan diri.
“Aku Nanda, si penyuka serangga.”
“Aku Dora, aku penyayang kucing.”
“Aku Doni, kami tinggal di desa di seberang bukit itu.”
“Aku Seto, dan kami ingin menjelajahi hutan ini dan keajaibannya,” Seto melengkapi perkenalan.
Pohon itu bergetar, suara tawa terdengar. “Ah! Aku senang berkenalan dengan anak-anak pemberani dan jujur. Aku mengijinkan kalian menjelajahi hutan ini, tetapi dengarkan dulu ceritaku.”
Kelima anak itu duduk mengelilingi beringin ajaib yang meneduhi mereka. Beringin ajaib mulai bercerita tentang dirinya. Setiap tahun tubuhnya akan bertambah satu lapis. Lapisan pada pangkal tubuhnya ada sekitar 1000, itu bagian tubuhnya yang tertua dan masih tersisa, sedangkan akar pertamanya telah menjelma tanah. Ia sudah menyaksikan banyak hal, ada yang menyenangkan ada yang menyebalkan, utamanya dari manusia. Burung-burung dan angin pun mengabarkan berbagai peristiwa dari tempat-tempat yang tidak dapat ia kunjungi.
Ia senang dengan perilaku manusia yang menghargai pengetahuan nenek moyang mereka. Pengetahuan yang mengajarkan para manusia menahan diri untuk tidak memperlakukan alam semaunya. Pengetahuan yang mengajarkan manusia untuk tidak mengambil apapun dari alam dengan melampaui batas, agar alam dapat memberi manfaat seterusnya. Pengetahuan yang mengajarkan manusia yang kaya memberi manusia yang miskin, sebagaimana perilaku angin yang bergerak dari tempat yang kaya udara ke tempat yang miskin udara, seperti halnya air yang bergerak dari bumi yang lebih kaya air ke akar batang, hingga daun yang lebih miskin air karena penguapan. Pengetahuan yang mengajarkan manusia menyayangi seluruh penghuni bumi, sebab tidak ada seekor hewan atau sebatang tumbuhan pun yang tidak berguna. Dia mencontohkan dirinya menyerap gas dari udara dan dengan bantuan air dari tanah dan sinar mentari ia membentuk tubuhnya. Jika hanya sedikit saja tumbuhan yang hidup, maka udara yang menyelimuti bumi akan panas seperti zaman dahulu kala sebelum bumi menghijau. Ia termasuk pohon yang dapat menyimpan air dan memunculkan mata air.
Nanda bertanya, “Apa guna rumput ini?”
“Itu namanya akar wangi, akarnya sangat dalam dan mencegah longsor, sangat baik jika kalian menanamnya di lereng-lereng bukit. Sepupunya bernama serai, aromanya mengusir nyamuk,” jawab sang beringin.
Doni tak mau kalah, “Lalu, apa manfaat serangga di lengan bajuku ini, kulitku dibuatnya gatal dan pedih.”
“Namanya tomcat, biasanya ia hidup di sawah, pasti terbawa olehmu, dia memangsa hama padi agar kalian bisa panen.”
Dora turut penasaran, “Apakah kotoran kami juga punya manfaat?” Anak-anak yang lain tertawa geli.
“Setelah diurai oleh jutaan jasad renik yang tak terlihat matamu, ia akan menjadi remah, berubah warna dan tidak berbau, itulah makanan terlezat bagi semua tumbuhan, kamu mau memberiku cuma-cuma sekarang? Ha ha”
Seto ikut bertanya, “Aku takut harimau, apakah ada harimau di hutan yang kau jaga? Apa gunanya pemangsa buas itu?”
“Tentu saja ada, ya, makanannya makhluk berdaging. Tetapi, ia hanya memangsa yang sakit, tua, atau mengganggunya untuk membela diri. Aku bisa berbicara padanya untuk menjauhi kalian, karena kalian berniat baik. Tanpa harimau, babi hutan dan monyet akan memangsa habis tanaman di ladang-ladang kalian.”
“Seperti kucing memangsa tikus-tikus di rumahku, aku takut tikus,” seru Dora.
“Ngomong-omong, ada juga yang membuatku takut,” beringin itu berujar.
“Kamu takut apa? Kamu kan pohon ajaib penjaga hutan Ame?” Bila penasaran.
“Aku takut pada benda tajam bergerigi yang memotong tubuh kami, pada racun serangga yang disemprotkan pada tanaman pangan, pada butiran warna-warni yang disebarkan di sawah dan ladang, pada cairan berbusa yang kalian buang di dekat pemandian, pada benda bening atau berwarna bekas bungkus apa saja, semua itu membuat tanah, air dan udara kotor, lalu membuat bangsa tumbuhan sakit, akibatnya semua yang memakan tumbuhan rapuh, sakit, bahkan mati seketika. Para pemangsa pun turut mati. Lama kelamaan hutan ini akan sepi, dan menggurun lagi.”
Kelima anak itu turut sedih mendengar ketakutan beringin ajaib. “Apa yang perlu kami lakukan untuk membantumu, Beringin Ajaib?” Tanya Nanda.
“Ada banyak tindakan yang bisa kalian lakukan. Dan, sebenarnya, tindakan itu untuk membantu diri kalian sendiri. Bertanilah selaras alam, kurangi apapun yang dihasilkan dari bangunan bercerobong asap itu. Racun, butiran warna-warni, dan wadahnya yang gampang berkarat itu. Jangan potong kami jika tidak benar-benar dibutuhkan. Benda bening bekas bungkus itu, jangan dibuang sembarangan, ia akan menjadi butir-butir sangat kecil yang berbahaya, olah dan pakailah kembali.”
Kelima anak itu bersepakat melakukan saran-saran beringin ajaib dan perlahan mengajak penduduk desa. Tanpa terasa serangga senja mulai bernyanyi, beringin mengingatkan mereka untuk segera pulang agar tidak terperangkap gelapnya malam. Mereka berpamitan.
Yogyakarta, 29 April 2024
Penulis: Bangkit Satria Jati, pelajar SMA Negeri 4 Yogyakarta
Sumber gambar : Balisaparimarinepark