PETUALANGAN DOLLABELLA (Part 15 : Pesta di Palestina)

Tepat setelah shubuh, geng Dollabella berkumpul di pulau Dollisola. Mereka menunggu Ghazi dengan setengah sangsi. Apakah dia benar-benar tahu soal tiram teleportasi? atau hanya membual dengan tepat? Pertanyaan itu langsung terjawab saat perlahan sosok tinggi dengan rambut coklat terang berlari ke arah mereka. Tak salah lagi, itu memang Ghazi.

“Maaf kalau aku terlambat,” kata Ghazi dengan napas terengah-engah. 

“Belum terlambat kok,” jawab Alana. 

“Teman-teman, tempat ini bisa jadi sangat berbahaya. Semoga Allah memberi kita keselamatan.” Alana kembali berkata dan disambut sunyi oleh yang lain. Kemudian mereka masuk ke dalam tiram, lalu bersama-sama memejamkan mata sambil mengucap basmalah. “Palestina,” ucap Alana sambil menekan tombol T.

Brukk… mereka jatuh di tengah hiruk pikuk. Anak-anak itu berada di depan Masjid Al-Aqsa. Orang-orang begitu ramai berteriak, banyak tentara Israel di sana. Bahkan ada sekitar empat anak berseragam sekolah yang tengah dikelilingi tentara Israel yang membawa senjata. Ghazi segera sadar bahwa keadaan sangat bahaya. Matanya segera mencari sudut aman. Dengan segera dia melihat ruang sembunyi di balik sebuah jip usang. Ghazi menarik teman-temannya.

“Aah!” Kalma terpeleset tepat setelah berada di balik jip. Kipas yang diberikan prof. Nakamura terjatuh dari tas mungilnya dan melesat ke jalanan. Ghazi dengan tanggap langsung berlari mengambil kipas itu sambil merunduk agar jangan sampai terlihat tentara Israel yang terkenal kejam.

Begitu mendapatkan kipas Kalma, Ghazi kembali berlari ke balik jip. Saat hendak mengembalikan ke tangan Kalma, Ghazi membuka kipas itu. Kilatan cahaya terang segera menyilaukan mereka. Sebuah suara muncul.

“Selamat datang di sistem teleportasi darurat. Silakan pilih tahun!” sebuah layar sentuh muncul di depan mereka. Ghazi segera mengetik : 1910. Kilatan cahaya kembali menyilaukan mereka.

Terdengar suara tawa yang riuh. Ghazi dan anak-anak Dollabella membuka mata dan mencoba memperhatikan sekitarnya. Sepertinya mereka berada di sebuah taman yang luas. Bunga-bunga beraneka warna menghiasi hamparan rumput hijau. Anak-anak kecil berlarian dengan lepas dan ceria. Orang-orang dewasa mengenakan pakaian berwarna-warni. Para wanitanya mengenakan gamis dengan bordir dan kerudung bermanik-manik.

Alana terpesona pada pemandangan yang ia lihat. “Teman-teman, lihatlah disana!” Alana menunjuk lurus ke depan. Ghazi, Kalma, Nabiella, dan Adora tercengang.

 “Apakah itu Al-Aqso?” tanya Kalma tidak yakin. Masjid itu sangat bersih dan hidup. Ramai orang keluar masuk.

Ghazi dan anak-anak Dollabella terhenyak. Mereka mengagumi keadaan Palestina seabad yang lalu. Begitu aman, makmur, dan penuh keceriaan.

“Hai…kemari!” tiba-tiba seorang ibu berkerudung merah hati melambaikan tangan ke arah mereka. 

Anak-anak itu terkejut dan saling berpandangan. Mereka tidak yakin kalau ibu berperawakan sedang, dengan mata bulat yang indah itu benar-benar mengenali mereka.

Anak-anak itu mematung sampai akhirnya beliau yang datang menghampiri.

“Kalian datang dengan mesin Professor Nakamura, ya?” katanya sambil tersenyum. Geng Dollabella kaget bukan kepalang. “Dia sudah memberitahu saya kalau mesin teleportasi akan datang,” katanya lagi. “Nah…Selamat datang Palestina di tahun 1910! Ayo…kalian harus ganti baju dan ikut pesta.”

“Maaf, tapi bolehkah kami tahu nama Ibu? Dan bagaimana Ibu tahu tentang Prof. Nakamura?” Tanya Adora memberanikan diri. 

“Oh ya, nama saya Salma. Prof. Nakamura pernah berkunjung kemari dan kami banyak berdiskusi, bahkan sampai hari ini. Jadi, Beliau sudah mengabariku kalau kalian sedang menuju kemari. Ahh…sudah..nanti kalian terlambat menyaksikan akad nikah keponakanku!” Ibu Salma lalu dengan lincah memilihkan baju dan kerudung untuk anak-anak itu.

“Ah, kamu anak lelaki, pakai jubah dan sorban, ya!” Kata Ibu Salma pada Ghazi.

“Waah … kamu cantik sekali Alana!” pekik Adora melihat Alana mengenakan kostum merah dengan bordiran emas, kerudungnya dihiasi manik-manik perak.

“Hey… lihat aku!” kata Nabiella bangga memamerkan pakaian cokelat sutera dengan hiasan hijau keemasannya. “Aku suka coklat dan hijau, seperti alam!” katanya sambil berputar-putar.

Sementara itu, Kalma menimang-nimang kostum sutera putih berhiaskan bordir warna-warni. Adora malah di luar dugaan memilih warna hitam dan emas, “Aku sedang ingin tampil elegan” katanya berdalih.

“Ayo semua, acara sudah hampir dimulai!” kata Ibu Salma mengingatkan.

 Sementara teman temannya asyik membahas pakaian, Ghazi menghampiri dengan setengah berbisik, “Aku akan berkeliling … kita ketemu satu jam lagi di sini?” tanyanya. Keempat sahabat itu setuju.

Upacara akad nikah berlangsung begitu khidmat, pengantin wanita bergaun putih keemasan tampak sangat cantik. Tiba saatnya perjamuan besar. Kalma yang paling senang bukan kepalang kalau sudah soal makanan. Anak itu memang banyak makan, tapi tidak pernah gemuk.

Sebuah tampah besar tersaji di tengah ruangan, menguarkan aroma rempah yang khas.”Ini Mansaf, nasi rempah dan kaki kambing yang empuk dan lezat,” kata Ibu Salma menjelaskan. 

“Wah.. Apa itu taburan almond?” tanya Kalma semangat. 

“Ya! betul sekali, ada saus yoghurt dari susu kambing juga,” kata ibu Salma.

“Ayo makan!”, kata seorang anak perempuan yang sudah menunggu di sekeliling tampah bersama  tiga temannya. Setelah berkenalan, mereka makan bersama dengan tangan kanan. 

Orang pertama menyobek daging paha kambing lalu memberikan pada orang di sebelahnya, begitu seterusnya. Mereka juga mencicipi roti Musakhan, hummus, dan kanafeh yang lezat.

 “Ugh, rasanya sudah tak ada ruang lagi dalam perutku.” ujar Kalma sambil mengelus-elus perutnya. Teman-temannya tertawa karena mereka pun merasa demikian.

“Alana … sudah hampir satu jam!”, Nabiella mengingatkan. 

“Ahh iya.  kami harus pulang ibu Salma”, ujar Alana. 

Ibu Salma mengangguk  lalu membawa mereka ke rumahnya. Di sana Ghazi sudah menunggu.

“Kita harus pergi ke titik kedatangan kalian. Sudah siapkan kipasnya? Kalian harus berhati-hati, karena akan kembali ke titik teleportasi sebelum pulang,” kata Ibu Salma serius, pandangannya mengarah ke Ghazi. 

“Baik, Bu, terima kasih banyak,” kata Ghazi. 

“Palestina sangat indah dan menyenangkan, Bu,” kata Kalma dengan mata berkaca-kaca. 

Teman-temannya tiba-tiba teringat dengan keadaan Palestina saat ini. Mata mereka ikut berkaca-kaca.

“Ah, takdir itu sudah tertulis. Doakan kami, Anak-anak,” kata ibu Salma seraya memeluk mereka berlima dengan erat. 

“Insyaallah Bu, selalu,” kata Adora dengan suara sengau. 

“Ayo … kalian harus segera pulang, ” bu Salma mengingatkan. “Assalamu’alaikum.” Senyum ibu Salma menghilang dengan cepat,berganti kilatan cahaya putih begitu kipas teleportasi dibuka.

Tiba tiba mereka sudah berada di belakang jip tempat mereka tiba sebelumnya. Suara gelak tawa sudah berganti desing tembakan, teriakan, dan tangisan. Kalma segera membuka kipas teleportasi darurat. Kembali mereka berada di ruang serba putih. Lalu Ghazi menyebutkan kata ‘Dollisola’. Begitulah,  lalu dengan segera mereka kembali ada di depan pintu teleportasi Dollisola.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar