Lebih dari setengah jam, Nabiella dan teman-temannya serta Om Pasha berjalan di kota asing itu. Di sebuah persimpangan jalan terlihat papan dengan tanda panah di bawahnya. Di papan itu tertulis ‘Mezquita Mayor de Granada’. Om Pasha membacanya dengan setengah tak percaya.
“Granada? Granada yang kutahu berada di Spanyol,” ujarnya tak yakin.
Bagaimana mungkin mereka bisa sampai di tempat yang jauhnya ribuan kilometer dari negeri Dolla hanya dalam beberapa detik saja. Om Pasha masih tak percaya.
“Panah ini menunjukkan kita ke sebuah Masjid, mungkin kita bisa shalat Zhuhur di sana sambil mencari informasi,” usul ayah Ghazi itu.
“Mesjid?” Alana heran. “Di Spanyol ada Masjid juga ya?” Lanjutnya.
“Ada, meskipun sangat sedikit. Banyak juga muslim yang tinggal di Spanyol, lho,” tambah Om Pasha lagi.
“Ayo kita ke sana,” ajak Nabiella yang sudah tidak sabar. Ia tak peduli di mana mereka berada saat ini. Tempat baru selalu membuat jiwa bertualangnya berkobar bagai api disiram bensin.
Mereka menyusuri jalan berbatu yang tertata rapi. Di kiri kanan jalan terdapat rumah-rumah yang berwarna putih bersih. Warna-warni bunga menghiasi balkon dan jendela rumah-rumah itu.
Dari kejauhan, di puncak bukit tampak bangunan putih beratap trapesium.Sebuah menara kecil berdiri kokoh di puncaknya. Halamannya luas dihiasi taman dan air mancur kecil. Itulah Masjid Granada, masjid yang pertama kali dibangun kembali oleh umat islam di Spanyol setelah menanti 500 tahun lamanya. “Anak-anak, tampaknya kita benar-benar berada di Spanyol,” ujar Om Pasha takjub. Kelima anak itu hanya diam sambil mengulum senyum.
Usai shalat zhuhur, Ghazi datang dengan seorang anak laki-laki, lalu menyapa teman-temannya.“Perkenalkan ini teman baruku,” ucap Ghazi. Anak itu berkulit putih, hidungnya lancip, rambutnya ikal berwarna coklat.
“Assalamualaikum, aku Ahmed, asalku dari Suriah,” sapa anak itu dengan malu-malu.
Mereka pun saling berkenalan. Tak butuh waktu lama, Om Pasha dan keenam anak itu sudah tampak akrab. Mereka asyik berbincang-bincang di taman masjid.
“Indah sekali pemandangan dari sini,” ucap Kalma takjub. Anak itu membentangkan tangannya menghadap ke lembah. Menikmati angin sepoi-sepoi yang membelai lembut rambut lurusnya.
“Kamu tau bangunan kemerahan yang berada di puncak bukit seberang sana?” tanya Ahmed pada Kalma.
“Aku tidak tau, tapi tampaknya bangunan itu cantik sekali,” jawab Kalma.
“Itu adalah Istana Alhambra. Dulunya adalah benteng dan juga tempat tinggal Sultan Nashrid.” Ahmed menjelaskan. “Di sekitar istana itu banyak ditumbuhi pohon jeruk dan bunga mawar,” tambahnya lagi.
“Wow! Alhambra yang kite pelajari di Pelajaran Ilmu Sosial itu?” teriak Nabiella tak percaya.
“Yup, kamu rupanya menyimak dengan baik, Nabiella,” timpal Ghazi. Nabiella pun langsung mengeluarkan kamera andalan dari tasnya,lalu mengambil puluhan foto dari berbagai sudut.
Pemandangan dari halaman masjid Granada memang sangat menakjubkan. Dari sana terlihat komplek istana Alhambra dengan gunung Sierra Nevada yang berdiri perkasa di belakangnya.
“Anak-anak, kalian lapar? Kita cari makan siang, yuk!” Ajak Om Pasha yang sudah mulai merasa perutnya keroncongan.
“Aku tau tempat restoran halal di dekat sini, kalau kalian mau aku bisa mengantar,” tawar Ahmed dengan senang hati.
Mereka pun berjalan bersama menuju restoran yang tidak jauh dari masjid itu. Tepat di pintu restoran tedapat tulisan ‘halal’ yang ditulis dengan bahasa Arab.
Om Pasha memesankan Paella, masakan khas Spanyol. Paella adalah nasi yang dimasak bersama seafood dan bumbu saffron di dalam wajan besi. Bubuk saffron membuat nasi paella menjadi berwarna kuning dan memberi citarasa yang khas. Kerang dan udang yang menjadi topping nasi itu terlihat sangat menggoda selera. Mereka pun makan dengan lahapnya. Dalam sekejap, wajan paella mereka pun sudah kosong.
“Alhamdulillah … makanan ini enak sekali,” ujar Kalma puas.
“Bentuknya seperti nasi kebuli, tapi rasanya berbeda,” timpal Adora.
Tiba-tiba seorang laki-laki datang mengantarkan kue kecil ke meja mereka. Tampaknya beliau adalah koki di restoran itu.
“Silakan dimakan, kue ini namanya Pionino, asli Granada. Jangan khawatir, kue ini halal karena dibuat tanpa alkohol,” ucapnya dengan ramah.
“Terima kasih,” jawab Om Pasha. “Tapi kami tidak memesannya.”
“Anggap saja itu traktiran dariku,” seru sang koki kembali. “Ahmed, layani tamu kita dengan baik ya.”
“Okay, Ayah,” jawab Ahmed sambil mengacungkan jempolnya.
“Ayah?” Ghazi bertanya keheranan.
“Hehe … ayahku memang bekerja di sini,” jawab Ahmed tersipu malu.
“Waah, masakan ayahmu enak sekali!”
Tanpa menunggu lagi, Ghazi langsung memakan pie dengan topping cream panggang itu. Rasanya manis dengan sedikit aroma kayu manis.
Ayah Ahmed bekerja sebagai koki di restoran itu. Ketika masih tinggal di Suriah, sebenarnya ayah Ahmed adalah seorang arsitek. Namun, beberapa tahun yang lalu situasi di kota tempat tinggalnya semakin memburuk akibat peperangan. Beberapa kali serangan bom menghantam kotanya hingga menewaskan istri serta anak perempuannya.
“Ayah memutuskan untuk pindah kemari dan bekerja sebagai juru masak,” kisah Ahmed. “Ayah ingin aku bisa sekolah dengan baik dan tinggal di tempat yang aman.”
Sesekali Ahmed ikut membantu mencuci piring di restoran agar mendapatkan uang tambahan untuk ditabung. Di waktu luangnya Ahmed juga gemar bermain biola hadiah dari ibunya. Dulu ia sering bermain biola bersama dengan ibunya. Setiap kali bermain biola, ia merasa sang ibu berada di sampingnya. Tanpa sadar, air mata Adora menetes mendengar kisah hidup Ahmed. Sungguh kesulitan hidup yang dialaminya selama ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang dialami oleh anak dari Suriah ini.