PETUALANGAN DOLLABELLA [Part 4 : Kemana Harus Pulang?]

Nabiella belum mau menyerah. Kali ini ia berusaha untuk menebak arah berdasarkan posisi matahari.  Nabiella mencari-cari ranting yang panjangnya kira-kira satu meter. Kemudian ia mencari lokasi yang banyak mendapat sinar matahari lalu menancapkannya tegak lurus di sana. Gadis kecil itu menandai titik ujung bayangan pertamanya, lalu menunggu selama 15 menit untuk kemudian menandai ujung bayangan yang baru. Selanjutnya sebuah garis ditarik dari titik ujung bayangan pertama ke titik ujung bayangan kedua. Lalu ia membuat garis lain yang memotong tegak lurus. “Nah, semoga benar ini arah timur. Berarti arah Selatan ke sana”. 

Nabiella mencoba menyusuri jalan ke arah itu. Tampaknya masih jauh, tapi ia melihat ada jalan setapak yang berarti jalur itu cukup banyak dilewati orang. Nabiella menenangkan diri dengan menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan sambil membaca basmalah. Ia melakukannya kapanpun mulai merasa tidak tenang.

Jam tangan kini sudah menunjukkan pukul setengah empat. Oh tidak, waktu Ashar 10 menit lagi dan Nabiella masih di tengah hutan. Duuh, Ibu akan mengomeli aku kalau begini! rutuknya pada diri sendiri. Sebenarnya, bukan omelan ibu yang Nabiella khawatirkan, namun dicabutnya SIB, alias Surat Izin Bertualang. Oh betapa membosankannya kalau harus dirumah terus.

Nabiella berhenti mengomeli dirinya dan menghentikan langkah saat tiba tiba matanya melihat sosok yang sedang duduk berlutut sambil menatap bunga-bunga. Nabiella lebih senang lagi saat mengenali bunga itu karena itu adalah bunga dahlia! Bukankah Pak Lindung bilang ia akan menemukan Air Terjun Dolla apabila mengikuti jalur tanaman bunga dahlia? Jangan-jangan ini harusnya jalur yang ia ambil tadi. Hati Nabiella melompat girang sekaligus penasaran, siapa gadis kecil berambut ikal yang lebat itu. 

“Permisi …” Nabiella menyapa gadis berambut ikal dan berkulit coklat yang kini menghadap bunga dahlia dan memunggunginya. Pakaian gadis kecil itu sangat santai, ia mengenakan kaus berwarna kuning dan celana kartun berwarna biru. Pakaiannya juga bersih, tak selusuh dirinya. Mudah-mudahan perkiraan Nabiella tepat bahwa gadis kecil itu sudah biasa ke tempat ini dan tinggal tak jauh dari sini.

Gadis kecil itu menoleh, Matanya yang lebar dan berwarna hitam sedikit membelalak. Kelopak matanya yang dihias  bulu mata yang lentik mengerjap. Tampaknya gadis kecil yang sebaya dengan Nabiella itu tak menyangka ada orang lain di situ. 

“Ah … siapa kamu?” tanyanya dengan heran sambil melihat Nabiella dari atas ke bawah. Nabiella jadi merasa agak salah tingkah karena menyadari bajunya cukup lusuh dan kotor dibanding anak itu.

“Aku Nabiella,” kata Nabiella. Bibir merah tipisnya menyunggingkan senyum sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman. 

Gadis kecil itu menyambut tangannya lalu berkata, “Namaku Alana”, giginya yang rapi dan putih menyempurnakan senyumnya yang merekah. 

“Apakah kamu tersesat?” tanya Alana.

 “Iya” jawab Nabiella dengan tegas dan pasti. Tanpa basa-basi karena segera ingin pulang.

 “Dimana rumahmu?” tanyanya lagi. 

“Rumahku di jalan Dollaflora.”

 “Oh…tak jauh dari Dollischolla ya?  aku juga  mau pulang, rumahku tak jauh dari sini. Ayo ikut aku,”  kata gadis kecil itu, rambut ikalnya bergerak-gerak ditiup angin semilir. 

Nabiella bernafas lega. “Alhamdulillah…terima kasih Alana,” kata Nabiella sambil spontan memeluk Alana. Alana tampak kikuk dan memeluknya kembali dengan agak kaku.

Ternyata betul kata Pak Lindung, Alana menunjukkan jalan pulang dengan mengikuti jalur tumbuhnya bunga dahlia. Kata Alana, dulu neneknya menanam bunga bunga itu sepanjang jalan favoritnya di hutan ini. Nenek Alana terus merawatnya hingga akhir hayat. Kini Alana menikmati hasilnya karena membuatnya mudah menemukan jalan apabila ia ingin bermain di Hutan Verdola. 

Alana juga menceritakan sebuah tempat di Hutan Verdola,  dimana banyak bunga-bunga cantik tumbuh. Nabiella menjadi sangat penasaran dan meminta suatu hari Alana mengajaknya kesana. Sepanjang jalan pulang, dua gadis itu mengobrol sangat akrab seakan-akan mereka sahabat sejak lama. 

Akhirnya sampai pula mereka ke tepi hutan. 

“Itu rumahku,” kata Alana sambil menunjuk sebuah rumah berdinding kayu yang kokoh dan pagarnya dipenuhi tanaman rambat yang tengah berbnga warna-warni.. “Arah rumahmu kesana, kan?” tambahnya lagi sambil menunjuk jalan besar di seberang mereka. “Kau mampirlah ke rumahku bila sempat,” ujarnya sambil tersenyum. 

“Pasti!” jawab Nabiella sambil mengacungkan jempol.

“Nabiella!” tiba-tiba terdengar seruan. Itu Ayah! Pak Lindung tampak berlari di belakangnya. Nabiella segera berlari dan memeluk ayahnya. 

“Ayah, maafkan Nabiella. Tadi tahu-tahu aku sudah di dalam hutan,”

“Ya Allah, syukurlah kamu tidak apa-apa. Kalau ibu tahu, tentu kamu diomeli habis-habisan!” Ayahnya memelotot. 

“Haduh, kenapa kamu tidak menunggu Bapak? Lalu, kamu berhasil menemukan kupu-kupunya?” tanya Pak Lindung.

“Hehe, belum, Pak. Tadi aku tersesat, syukurlah tadi ketemu Alana.” Nabiella pun memperkenalkan Alana kepada Ayah dan Pak Lindung. Ternyata Pak Lindung sudah sangat mengenalnya.

 “Kamu sekolah dimana, Alana?” tanya Ayah.

“Dollischolla,” jawab Alana singkat namun membuat Nabiella heran. 

“Aku juga bersekolah disana! Kok kita tidak pernah bertemu ya?” heran Nabiella. 

“Aku kelas 5B, kalau kamu?” tanya Nabiella lagi karena ia sangat penasaran. 

“Aku kelas 5D, dan aku hanya berada di luar kelas saat jadwal masuk dan pulang,” katanya sambil tertawa. 

“Aah pantas, kalau aku hanya masuk kelas saat guru sudah datang!” balas Nabiella. Mereka pun tertawa bersama, menyadari betapa berbedanya mereka. Hari itu mereka berpisah, namun keduanya merasa senang karena hati mereka sama-sama berkata bahwa hari itu mereka mulai menjadi sahabat.

****

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar