PETUALANGAN DOLLABELLA [Part 6 : Sepatu Surga untuk Adora]

Anak lelaki berkulit cokelat itu tersenyum. “Kamu habis menangis?” tanyanya lembut. 

“Aku diledek teman-teman lagi, kata mereka sepatuku kayak hello kitty gembel!” dada gadis kecil berkepang dua itu tampak mulai naik turun. Air mata yang tadinya sudah mengering mulai berjatuhan. Tangan kecilnya meremas sebuah kertas.

Anak lelaki itu meraih bahu si anak perempuan. “Sudah … Eh, lihat nih aku bawa apa!” Ia lalu duduk di mulut pintu. Adiknya ikut duduk merapat di sampingnya. Perlahan dibukanya  plastik hitam yang ia genggam sedari tadi dan seketika itu pula senyum si anak perempuan semakin lebar.

 “Sedikit lagi ya, Kak?” tanya anak perempuan itu dengan tatapan kagum kepada kakaknya

 “Iya …  pulang sekolah tadi aku memotong rumput rumah Pak Umar, jadi aku dapat uang ini. Kamu simpan ya, sedikit lagi sudah cukup untuk membeli sepatu buatmu,” ujar si anak lelaki riang, sungguh berlawanan dengan mukanya yang kelelahan. Si anak perempuan mengangguk tak kalah riangnya.

“Kamu masih menyimpan brosur itu ya?” tanyanya sambil meraih tangan kecil adiknya. Tangan anak lelaki itu kurus namun kekar, sedangkan tangan adiknya lebih kurus lagi dan terlihat lebih lembut. Awalnya si Adik tampak enggan membuka tangannya. Namun, Ia menatap mata adiknya sambil menganggukkan kepala, “Berikan padaku. Aku ingin membawanya.” katanya dengan lembut tapi meyakinkan. Si Adik lalu menyerahkan brosur lusuh itu kepadanya dengan sangat pelan dan hati-hati.

“Aku harus ke pasar sekarang, pasti banyak ibu-ibu yang butuh bantuan untuk membawa belanjaan,” pamit si anak lelaki sambil tersenyum. Adiknya mengangguk pelan.

Nabiella dan Adora terbengong beberapa saat, namun mereka segera kembali bersembunyi saat sadar si Anak lelaki akan melewati mereka. Ia lari dengan sangat cepat sampai tak sadar brosur lusuh itu terjatuh dari kantung celananya.

Setelah si anak perempuan kembali masuk ke dalam rumah dan bayangan anak lelaki itu sudah menghilang, Nabiella memungut kertas itu lalu kembali kepada Adora yang menunggu di balik pohon.

“Ayo kita kejar anak itu! Kita kembalikan kertas ini, pasti sangat berharga!” ajaknya sambil menarik lengan Adora yang halus dan lembut. Tapi Adora menolak.

“Sssh… aku penasaran, ini kertas apa sih?” Adora  meminta kertas yang digenggam Nabiella lalu membukanya perlahan karena kertas itu sangat lembab dan lecek. Seperti sering digenggam erat-erat.

Sebuah brosur toko sepatu di Pasar Dolla. Ada sebuah gambar sepatu pink berhias manik-manik yang ditandai dengan bingkai hati yang digambar dengan spidol. Sesuatu tertulis  di atas gambar itu. “No.31”

Adora menahan napas. Ukuran kakinya memang lebih munil dari teman-temannya, dan nomor sepatu itu sama dengan miliknya. Bahkan ia punya sepatu manik-manik warna pink. Sepatu pink kesayangannya yang dibawa oleh ayah sebagai oleh-oleh dari Paris. 

Sayangnya anak lelaki berambut ikal itu tak berhasil mereka temukan, dua sahabat itu pun pulang. Mereka berjalan dalam diam. Pikiran Adora tidak tenang memikirkan apa yang bisa dilakukannya untuk dua anak itu. Demikian pula Nabiella. 

***

Adora sedang istirahat di kamarnya yang bercat merah muda sambil bermain dengan belasan boneka yang besar-besar saat ibunya datang. 

“Assalamu’alaikum,” sapa ibu. 

 “Wa’alaikumsalam, ” jawab Adora dari lantai atas, ia segera beranjak ke bawah karena ingin menceritakan segalanya pada Ibu. 

Sesampainya di bawah, Adora berhenti sejenak karena mendengar suara ibunya yang tengah bercakap-cakap dengan orang lain.

 “Terima kasih ya Nak, ini ongkosnya,” kata ibu Adora. 

Adora jadi penasaran dengan siapa ibunya bicara. Ia menghampiri Ibunya di pintu. Jantungnya tiba-tiba berdebar. Ternyata … ibu sedang bicara dengan anak lelaki yang ia lihat di Gang Galapetto. Ia membantu ibu untuk membawa belanjaan dari pasar. 

Anak lelaki itu menerima selembar uang 20.000 dari ibu Adora. Adora menduga bahwa itu adalah penghasilan terakhirnya hari ini karena hari sudah sore. Pasar pasti sudah tutup. 

Adora kembali melamun mengingat anak lelaki itu. Wajahnya demikian tirus, kulitnya kusam, tubuhnya juga kurus. Andai uang penghasilannya bisa ia gunakan untuk membeli makanan…

“Adora, kenapa kamu melamun, Nak?” tegur ibunya. 

“Eh ibu… tadi itu siapa?” tanya Adora berharap ibu mengenalnya. 

“Porter di pasar tadi, kuat sekali anak itu. Ia bisa membantu Ibu bawa belanjaan tiga tas belanja besar, padahal biasanya dibawa bapak-bapak” jawab ibu Adora dengan lembut. “Eh, memangnya kenapa kamu penasaran sekali?” selidik Ibu.

 Lalu Adora menceritakan semua yang ia alami bersama Nabiella tadi siang kepada ibunya.

***
“Kriiing” 

Telepon rumah Nabiella berbunyi. Nabiella mengangkat telepon lalu tak lama kemudian melonjak kegirangan. Setelah menutup telepon, ia segera mengambil ransel kecilnya kemudian  berpamitan pada ibu untuk main ke rumah Adora. 

“Aku nggak lama kok, Bu… cuma sejam. Janjiiii!” Nabiella membujuk ibunya yang sangsi. Tapi akhirnya, ibu Nabiella mengizinkan. “Ingat, pulang sebelum Ashar!” tegas Ibu. “Siap, Nyonya besar!” jawab Adora sambil melakukan gerakan hormat tentara.

Adora telah menunggu Nabiella di ujung Gang Galapetto. Tangannya menenteng sebuah bungkusan berisi kotak. Dua sahabat itu kemudian masuk ke Gang Galapetto, tapi kali ini mereka menggunakan sepeda. 

Hanya butuh 15 menit, mereka sudah sampai di depan rumah kusam tadi. Adora membuka kantung yang ia bawa lalu mengeluarkan sebuah kotak berbungkus kado yang sangat cantik. Dengan perlahan dan mengendap-endap, Adora meletakkan kotak kado itu di depan pintu rumah. Ia mengetuk pintu, lalu langsung kabur bersama Nabiella ke balik pohon besar di seberang rumah. Dari sana mereka bisa mengamati pintu rumah tanpa ketahuan.

Tak lama kemudian, si anak perempuan membuka pintu. Ia tampak terkejut menemukan sebuah kado di depan rumah. Ia menengok kiri dan kanan, namun tidak ada orang. Akhirnya, dibawalah kado itu masuk ke rumah. Adora dan Nabiella masih menunggu hingga beberapa saat kemudian, rumah yang tadinya sunyi penuh suara pekikan dan tawa. Senyum Adora ikut berkembang karenanya.

Mereka segera pulang. Adora tampank sangat riang gembira. Sementara Nabiella semakin penasaran.

 “Adora…itu kan sepatu kesayanganmu, ” ujar Nabiella. “Seingatku, sepatu itu dibuat khusus untukmu oleh tantemu yang desainer di Paris itu kan?” lanjut Nabiella.

“Iya … itu sepatu kesayanganku,” kata Adora santai. 

“Bukankah kamu akan sulit menemukan penggantinya?” protes Nabiella.
“Ah, sudah ada kok penggantinya!” Adora menjawab dengan sangat riang.
“Kok bisa?” Nabiella masih heran.
“Iya Nabiella, sepatuku pasti nanti Allah ganti dengan yang lebih baik dan lebih cantik … aku menamainya Sepatu Surga!” kata Adora sambil tertawa kecil.
“Ada-ada saja kamu, Adora,” ujar Nabiella. 

“Sudahlah, ayo kita pulang!” ajak Adora sambil menggowes sepedanya.

Hati Adora tersenyum sore itu.

***

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar