Di rumahku ada sebuah lukisan besar yang berupa sebuah sketsa seperti pohon. Pohonnya serupa tombak yang menunjuk ke atas. Di bagian bawah ada guci yang berisi air. Di sebelah kiri dan kanan pohon ada masing-masing tiga dahan. Di atas gambar pohon ada judul dengan huruf besar. Tulisannya Batang Garing.
Aku tidak memahami maksud gambar itu. Sebenarnya lukisan itu juga tidak terlalu menarik perhatianku. Gambar itu sedari dulu sudah dipasang ayahku di dinding ruang tamu bersebelahan dengan foto kakek buyutku yang dulu pernah menjadi damang di kampung kami. Aku juga tidak pernah bertanya tentang lukisan batang garing itu kepada siapapun di rumahku. Tapi semuanya berubah ketika bencana kabut asap melanda kampung halamanku. Ah, bukan cuma kampung halamanku sebenarnya. Mungkin seluruh Kalimantan Tengah dan provinsi lain di sekitar juga dilanda bencana kabut asap itu. Bahkan aku dengar negara tetangga di pulau yang sama seperti Malaysia juga terkena dampak bencana ini.
Aku selalu ingat saat itu. Ketika itu umurku masih sebelas tahun. Adikku Jentha masih berumur lima tahun. Kami berusaha untuk tidak bermain di luar rumah. Padahal bermain di luar rumah adalah hal yang menyenangkan bagiku dan adikku. Kami bisa bermain basam dan bagasing di halaman rumah yang luas dengan anak tetangga. Namun kesenangan kami terusik karena asap debu yang membuat mata perih dan pernafasan terganggu. Kami terpaksa membiasakan diri bermain di dalam rumah ditemani kucing kami yang beranak tiga.
Pintu dan jendela rumah sudah kami tutup rapat-rapat. Namun asap yang bandel itu tetap masuk melewati celah-celah papan rumah kami yang terbuat dari kayu benuas. Seperti suara garantung yang tidak henti-hentinya mendengung bila ada yang meninggal di kampung kami, demikian asap itu menyerang kami dari segenap penjuru.
Adikku Jentha adalah korban yang pertama. Ia batuk-batuk dan sesak nafas. Apang dan umai membawanya ke Pusat Kesehatan Masyarakat di kota kecamatan dengan sepeda motor apang yang sudah tua. Untunglah ia cepat ditangani oleh perawat-perawat cantik yang memakai setelan hijau dan masker hijau yang menutup hidung mereka.
Dua hati setelah itu aku yang dibawa apang dan umai ke tempat itu lagi. Dadaku serasa ditusuk-tusuk sehingga aku menjadi batuk-batuk. Aku menangis di pelukan umai. Air mataku bukan untuk rasa sakit itu sebenarnya, tapi untuk apang dan umaiku yang semakin hari semakin berbeban menanggung satu demi satu tamu kemalangan singgah dalam keluarga kami.
Ketika aku sudah diizinkan keluar dari rumah sakit itulah aku mengetahui makna lukisan batang garing itu. Aku berbaring di kamar depan tapi aku masih belum tertidur. Adikku Jentha yang berbaring di sampingku sudah berlayar ke negeri seribu mimpi ditandai dari suara nafasnya yang teratur. Terdengar ketokan di pintu. Apangku membuka pintu dan aku dengar suara Mama bapa Dawit, kakak umaiku, menanyakan keadaan aku dan adikku.
Aku ingin bangkit dari tempat tidurku. Namun aku membatalkan niatku keluar kamar ketika aku mendengar percakapan mereka semakin lama semakin serius. Mereka membicarakan tentang kebakaran hutan, ladang berpindah, perkebunan sawit, undang-undang, pukung pahewan dan kabut asap yang masih menari-nari kegirangan menghalangi udara segar menetap di desa kami. Aku tidak mencampuri obrolan yang tidak aku pahami sama sekali. Selain itu aku ingat apangku sering berkata,” Itu pembicaraan uluh bakas, Sinta. Nanti akan kau pahami sendiri bila masamu tiba” Dan aku akan menutup mulutku rapat-rapat bila sudah seperti itu.
Tapi aku bermimpi malam itu. Bue penunggu hutan di belakang kampung kami murka karena tempat tinggalnya rusak terbakar. Kemudian pohon-pohon malang di hutan itu tiba-tiba bergerak. Akar-akar mereka yang tertanam kuat-kuat di bawah tanah tercerabut seperti sepatu bot yang terangkat dari lumpur dalam. Lalu serentak mereka berjalan menuju kampung kami.
Paginya, aku menemui apang dan umai yang sedang duduk menikmati kopi di ruang tamu. Ketika aku menceritakan mimpi itu, pandangan ayah berganti-ganti ke arah lukisan batang garing dan lukisan potret diri kakek buyutku.
“Tahukah kau Sinta, apa yang ditakutkan kakekku dulu terjadi sekarang. Dulu sistem ladang berpindah tidak membuat kebakaran hutan yang besar seperti sekarang. Dengan sistem ladang berpindah, nenek moyang kita dulu mengandalkan pupuk alam. Humus dan abu sisa pembakaran lahan akan menyuburkan tanah. Jika tanah sudah tidak subur, mereka akan membuka lahan baru. Begitu seterusnya, dan baru kembali ke lahan pertama setelah tiga atau lima tahun kemudian. Lahan yang sudah ditinggal 3-5 tahun itu, tanpa ditanami apa-apa, tentu sudah menjadi hutan lagi.”
Aku mencoba memahami penjelasan apang yang panjang lebar. Otakku yang masih kecil masih belum mampu memahami semuanya.
Namun umaiku yang selalu bijaksana mengerti kerutan di keningku. Dengan pelan ia berkata kepada apang,” Sudahlah. Jangan mengajari anak kecil untuk menjadi hakim yang punya kuasa memutuskan siapa yang bersalah.”
Lalu ia menunjuk lukisan sketsa pohon yang tidak aku pahami maksudnya itu. “Tahukah kau, Sinta, apa maksudnya gambar ini?”
Aku menggeleng pelan. Umaiku yang memang selalu lihai dalam memberikan penjelasan kepada anak-anak seumurku karena memang ia adalah guru di sebuah SD di desaku mulai bercerita tentang batang garing atau batang pambelum.
“Bagi kita orang Dayak, pohon adalah sumber kehidupan dan dilambangkan sebagai pohon kehidupan atau Batang Garing. Batang Garing memiliki arti sebagai simbol keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan manusia, serta Tuhan dengan manusia. Apabila manusia merusak alam, maka Hatalla akan murka. Murka Tuhan ini bisa berupa bencana yang menimpa kehidupan manusia seperti banjir, kemarau panjang, wabah penyakit atau bencana kabut asap seperti sekarang ini.”
Kemudian umai bertanya padaku,” Lalu apa yang sekiranya harus kita lakukan supaya Tuhan tidak murka? Supaya alam tidak murka?”
Aku tidak menjawab. Padahal sebenarnya aku ingin mengatakan aku harus menanam pohon banyak-banyak. Tapi malu bila jawabanku salah.
Umai melanjutkan,” Tentu kita harus menghargai alam, tidak merusak dan melakukan eksploitasi sesuai kebutuhan saja serta melakukan pelestarian alam. Nah sekarang pertanyaan yang bisa kamu jawab, apa contoh bentuk pelestarian alam yang bisa Sinta lakukan?”
Aku ingat jawabanku tadi. Jadi aku menjawab seperti itu. Apang dan umai tersenyum. Aku senang melihat senyum orangtua. Artinya mereka bahagia memiliki anak sepertiku.
Jadi, mulai hari itu aku berjanji akan menjaga alamku. Aku berjanji akan menghargai setiap pohon yang ada di sekitarku. Pohon kehidupan yang diberikan Tuhan kepadaku akan aku rawat sehingga pada saatnya nanti mereka akan merawat aku dan memberikan sumber kehidupan kepadaku. Aku menengok ke jendela dan melihat deretan pohon kelapa yang seumur hidupnya sudah menyediakan jasa kepada keluarga kami melalui batang, daun, dan buahnya seperti menganggukkan kepalanya melalui lambaiannya dan angin mengirimkan bisikannya kepadaku,”Itah hakadohop”
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”
Batang Garing: Pohon Kehidupan
Damang: Kepala Adat
Basam/bagasing: Permainan Tradisional suku Dayak Ngaju
Benuas: Kayu bengkirai
Garantung: Gong
Apang: Ayah
Umai: Ibu
Mama: Paman
Pukung Pahewan: Hutan Larangan
Uluh bakas: Orang tua/orang dewasa
Bue: Kakek
Hatalla: Tuhan
Itah hakadohop: Kita saling menolong
Ya Tuhan, manis sekali narasinya. Idenya keren dan ceritanya mendidik. Kalau saya jadi juri, akan saya pilih cernak ini sebagai juara.