PREJUDICE
Oleh: Siti Farida
“Bangun, Nay … sudah siang nanti kamu terlambat,” suara ibu mengusik tidurku. Padahal baru saja aku terlelap. Kulihat jam weker di samping bantalku, masih terlalu pagi. Malas sekali rasanya beranjak dari tempat tidur. Kemarin seharian aku membantu ibu beres-beres rumah yang baru kami tempati. Mungkin karena kelelahan jadi tidurku lelap sekali.
Sudah kedua kalinya keluargaku pindah rumah. Karena mengikuti tempat tugas ayah yang baru. Perusahaan tempat ayah bekerja membuka kantor cabang di kota ini, dan beliau ditugaskan untuk menjadi kepala cabang. Sebenarnya aku menolak ketika ayah mengajak ikut serta di kota yang baru. Karena harus beradaptasi lagi dengan lingkungan dan teman sekolah. Padahal tempat tinggal kami yang sebelumnya kebetulan dekat dengan rumah eyang. Aku sudah beberapa kali meminta untuk ikut eyang saja, tetapi ayah dan ibu terlalu mengkhawatirkan. Mungkin karena aku anak tunggal.
“Nay … buruan, nanti kamu terlambat ke sekolah. Itu ayah kamu sudah menunggu” suara ibu membuyarkan lamunanku.
Hari ini aku diantar ayah, karena masih pertama masuk sekolah yang baru. Kemarin ayah memberitahu bahwa sekolahku yang baru berlawanan arah dengan kantornya. Jadi nanti setiap hari aku harus berangkat sendiri, hari ini masih diantar. Setelah selesai makan, aku berangkat bersama Ayah. Ibu mengingatkanku, di sekolah baru nanti supaya aku segera menyesuaikan diri dengan teman-teman. Agar cepat kerasan.
Tidak masalah sebenarnya, karena aku tidak pilih-pilih teman. Cuma biasanya jadi murid baru suka jadi perhatian. Sedikit geer sih gak masalah. Bukan ini masalah bakunya, di sekolah yang lama aku ikut club bola voli. Semoga saja di sekolah baru ada juga ekstra kurikuler yang sama. Karena aku salah satu anggota club yang sering dipilih untuk mewakili di setiap ada event pertandingan bola voli.
Setelah melewati gang kampung sekitar 500 meter, kami membelah jalan raya yang lumayan ramai. Terlihat banyak anak sekolah yang memakai seragam sama denganku, sedang menunggu angkutan umum di halte. Mereka pasti satu sekolah denganku.
Mobil ayah melaju sedang menuju sekolah baruku. Di kota ini sepertinya lebih ramai dari tempat tinggalku yang lama. Sepagi ini saja sudah bising dengan hiruk pikuk kendaraan. Sekitar 15 menit kami sampai di depan gerbang sekolah. Ayah memarkir kendaraannya di dekat pos satpam. Kamipun masuk ke ruang kepala sekolah. Di sana kami sudah ditunggu. Ada beberapa guru menyambut kami dengan sangat ramah. Bapak Kepala Sekolah memperkenalkan kami.
Bel masuk sudah berdering, aku dipersilahkan untuk masuk ke kelas. Ayah segera pamit untuk menuju kantornya.
Ternyata di kelas baru, asyik juga. Mereka suka bercanda. Ada yang memperkenalkan dirinya dengan sebutan mas Grandong. Ketika kupandang wajahnya gak jelek-jelek amat. Ada juga yang nama panggilannya Jumenul, padahal nama aslinya julaikah.
”Hai …, namaku Si Black, siapa nama kamu?”
Hampir saja aku jingkat, saking kagetnya. Karena tiba-tiba dari arah belakang muncul orang yang wajahnya lumayan hitam. Pantes saja julukannya Si Black karena mungkin dia mempunyai jenis kulit yang hitam.
Aku jadi mikir sendiri kalau mereka semua punya nama panggilan yang menggelikan, nantinya aku dapat julukan apa ya. Sudahlah itu tidak penting.
Pulang sekolah, aku bareng teman-teman baruku naik angkot. Kebetulan banyak yang searah. Meskipun banyak dari mereka yang turun lebih dulu. Karena jarak rumahku paling jauh, jadi aku lebih lama di angkot.
Setelah sampai di penurunan penumpang yang menuju gang rumahku, aku segera turun. Aku melihat seorang yang berpenampilan seperti preman sedang duduk tak jauh dari halte. Dia sepertinya menatapku. Karena merasa diperhatikan, aku segera jalan cepat pulang ke rumah.
Ibu bertanya kepadaku, kenapa panik seperti maling dikejar polisi saja. Aku bilang tidak ada apa-apa lalu masuk ke kamar.
Keesokan paginya, ketika berangkat aku sudah tidak diantar lagi oleh ayah. Sesampainya di halte untuk menunggu angkot datang, aku merasa ada yang memperhatikanku lagi. Penasaran juga aku melihat balik orang yang menatapku. Sepertinya dia orang yang sama kemarin. Berpakaian kaos hitam dan celana jin yang lusuh. Rambutnya juga acak-acakan. Dia juga memakai kalung rante. Tatapannya tajam kelihatan serem.
Untung saja angkotnya segera datang, aku langsung naik. Kulihat dari kaca belakang angkot dia masih melihat kearahku.
”Hih … jadi ngeri” gumamku.
Tak lama penumpang angkot sudah penuh. Rata-rata yang naik anak sekolah. Meskipun kami turun berbeda tempat, karena beda sekolah.
Di sekolah, aku sudah mulai terbiasa dengan teman-teman. Mereka baik semua. Malahan ada yang mengajakku belajar bersama sepulang sekolah.
Karena belum minta ijin ke orang tuaku, jadi hari ini aku tidak ikut dulu. Mungkin lain hari.
Sepertinya hari ini akan turun hujan, karena mendung hitam terlihat menggumpal menutupi langit biru. Benar saja ketika aku turun dari angkot, air hujan sudah mulai turun. Aku segera berlari menuju gang arah rumahku.
Sesampainya di rumah, aku di sambut ibu dengan memberikan handuk kecil untuk membersihkan kepalaku.
“Ini sudah musim penghujan, besok jangan lupa bawa payung lipat” tutur ibu.
Ku iyakan perkataan ibu. Lalu aku menuju kamar untuk mengganti seragam sekolah yang basah.
Kurebahkan tubuhku di kasur untuk istirahat. Kuraba lenganku, jam tangan yang kupakai tidak ada. Kucari di meja belajar juga tidak ada. Di dalam tas dan sekitar kamarku juga tak ku temukan.
“Kemana jam tangnku ya, apa jatuh di sekolah?” aku mencoba mengingatnya. Tapi ketika di angkot tadi jam tanganku masih terlihat. Apa jangan-jangan jatuh di jalan pas aku berlari karena kehujanan.Mau aku cari di sekitar gang, juga masih hujan. Apa besok saja sekalian. Tapi kalau hilang kan sayang.
Jam itukan hadiah ulang tahunku dari ayah. Aku suka warnanya, modelnya juga unik.Aku tidak sabar ingin segera mencari jam tanganku di gang. Meskipun hujan belum reda tetap harus dicari.
”Nay …, mau kemana?, masih hujan lho” sapa ibu.
“Jam tanganku jatuh, Bu!” jawabku.
”Ini kan masih hujan, entar aja pas sudah reda” ibu melarangku, namun aku khawatir kalau jam tanganku hilang.
Ibu tetap melarangku untuk mencari, kalau hilang akan dibelikan lagi. Akhirnya aku nurut saja. Karena hujannya semakin deras.
*****
Pagi ini aku berangkat lebih awal. Sekalian mau menyusuri sepanjang gang, barangkali jam tanganku ketemu. Tiba-tiba di depanku muncul orang yang berpakaian seperti preman. Dia menghalangi jalanku. Aku terperanjat kaget, mana gang ini sepi lagi. Belum sempat aku menghindar, dia memegang tanganku cukup kuat. Aku berusaha melepas tanganku dari genggamannya. Namun karena kalah kuat aku tak bisa berbuat apa-apa.
”Tolong …, tolong …!” aku berteriak sekeras-kerasnya. Namun tak ada orang yang mendengar.
Tiba-tiba aku punya ide, ku gigit tangannya dengan keras, karena dia merasa kesakitan akhirnya dia melepas tanganku.
Aku langsung berlari sekuat-kuatnya. Napasku naik turun ngos-ngosan. Sambil berlari kutengok ke belakang, ternyata dia masih mengejarku. Aku terus berlari tanpa arah. Keringat di sekujur tubuhku telah terkuras. Aku tak peduli harus menyebrang jalan yang cukup ramai.
”Ciiittt … bruak!”
Aku berhenti berlari. Kudengar suara jeritan orang ramai di belakangku. Aku menoleh dan seketika tubuhku lemas tak berdaya. Preman yang mengejarku tergeletak di tengah jalan bersimbah darah. Dia tertabrak mobil pik up.
Aku menjerit histeris. Shock dengan apa yang kulihat barusan. Kepalaku tiba-tiba berputar. Dan akhirnya ambruk.
Dunia terlihat gelap. Hanya suara orang yang kudengar lirih meminta tolong. Semakin lama suara itu menghilang.
*****
Terdengar suara isakan tangis di telingaku. Aku berusaha membuka mata. Kulihat ibu memelukku.
Masih terasa berat kepala ini. Apa yang terjadi kepadaku. Aku berusaha mengingatnya. Sepertinya ini di rumah sakit.
“Nayla …, kamu sudah bangun, Nak!” ayah dan ibu bersamaan memanggil namaku.
”Apa yang terjadi, Bu?”
”Apa aku tertabrak mobil” aku mencoba mengingat kejadian yang ku alami.
”Tidak, Nak kamu pingsan di jalan” ayah menjelaskan.
”Kemungkinan kamu shock karena melihat kecelakaan kemarin. Dari kesaksian orang yang membawa kamu ke sini tempat kamu pingsan tidak jauh dari lokasi kecelakaan” imbuh dokter yang memeriksaku.
Jadi aku pingsan dari kemarin. Teringat jelas bagaimana aku dikejar-kejar preman, sampai akhirnya preman itu tergeletak di tengah jalan.
Setelah diperiksa dokter, keadaanku sudah membaik. Besok aku diperbolehkan pulang.
”Tok …, tok …” suara ketukan pintu dari luar terdengar.
Ayah membukanya. Seorang ibu paruh baya ingin menemuiku.
“Nak … maafkan anak, Ibu” wanita itu menunduk sambil menangis.
Dia mendekatiku, lalu memberikan sesuatu yang terbungkus kain kepadaku.
Pelan-pelan aku membukanya. Alangkah terkejutnya apa yang ku lihat. Sebuah jam tangan yang aku cari. Sambil terisak ibu itu menjelaskan. Orang yang mengalamai kecelakaan kemarin itu adalah anaknya. Sebelum kecelakaan itu terjadi, ibunya melihat dia membawa jam tangan. Karena bukan miliknya, sang ibu menyuruhnya untuk mengembalikan. Namun sebelum anaknya mengembalikan jam tersebut terjadi kecelakaan.
Sebenarnya sempat di bawa ke rumah sakit ini juga sebelum meninggal. Dia memberi isyarat bahwa jam tangan yang masih berada di genggamannya itu adalah milik seseorang yang berada di bad sebelahnya waktu di IGD. Dan itu adalah aku.
Karena banyak kehilangan darah, dan luka di kepalanya sangat parah akhirnya dia meninggal.
”Mohon maaf, Nak …, Ibu tidak langsung memberikannya, karena Ibu masih ingin menemani di saat-saat terakhir kepergiannya.”
Ibu itu kembali menjelaskan sambil menahan tangis. Dia sebenarnya anak yang baik, hanya saja penampilannya seperti preman.
Pernah suatu ketika dia di bully oleh teman sebayanya, karena dia tidak dapat berbicara sejak kecil. Karena anak yang kuat akhirnya dia mengubah penampilannya seperti itu agar tidak di bully lagi.
”Oh Tuhan … ” kuremas bajuku kuat-kuat.
Pada saat aku berlari karena dikejar kemarin, sempat aku menoleh. Dia menunjukkan jam tangan sambil tangannya melambai-lambai kearahku. Namun karena takut aku tak menghiraukannya.
Aku hanya berpikir dia akan berbuat jahat kepadaku, padahal niatnya baik.
Kadang manusia hanya bisa berprasangka tak melihat sisi yang lain. Karena prasangkanya bisa membuat celaka orang lain.
Cerpen ini telah dimuat di buletin Al-Fitrah Edisi 94