Puruk Batu Ambu

PURUK BATU AMBU

Tidurlah anak jagoan hebat

Tubuh sehat tumbuh pesat

Ibu ayah serasa bermimpi

Mengasuh anak belahan hati

Lagu pengantar tidur itu sayup-sayup terdengar dari sebuah pondok di tengah hamparan lahan padi yang sangat luas di sebuah puruk. Bulir-bulir padi menjurai bercahaya seperti butiran emas di tengah-tengah  hamparan hijau pepohonan yang menyejukkan mata bagaikan batu zamrud. Angin dari bukit menerpa ayunan dengan lembut. Bayi dalam buaian itu tertidur nyenyak dan damai dilingkupi senandung cinta sang bunda.

Nyai Nyiwuh menatap bayi dalam buaian dengan cinta yang tiada henti seperti langit biru yang tak bertepi. Hampir tujuh tahun ia menanti buah hatinya. Setiap malam ia dan suaminya, Tamanggung Usoh, melantunkan doa-doa kepada Tuhan. Dengan kesabaran yang panjang seperti panjangnya hari-hari kerja keras mereka menanam benih padi dan sayur di ladang mereka yang luas, pada akhirnya mereka memetik buah ketekunan mereka. Di desa itu, pasangan suami istri itu dikenal sebagai petani yang berhasil. Panen mereka melimpah. Padi yang mereka panen sanggup memberi makan orang satu desa. Dan kebahagiaan itu bertambah dengan kehadiran bayi kecil mereka.

Sebagai ungkapan rasa syukur mereka, Nyai Nyiwuh dan Tamanggung Usoh mengadakan acara adat nahunan. Penduduk kampung itu diundang ke pondok mereka di tengah bukit. Babi dan ayam disembelih untuk memberi makan ratusan orang yang dengan setia menunggu di halaman depan yang luas untuk turut menyatakan dukungan atas kehadiran anak pewaris kehidupan. Doa-doa untuk kebahagiaan dan kesuksesan anak itu dipanjatkan melewati sesajen yang diletakkan di patahu di depan pondok mereka. Kemudian Tamanggung Usoh mengumumkan nama anak mereka dengan lantang,” Namanya Tunggal Mambu. Panggilannya Ambu.” Orang-orang bersorak sorai dengan sukacita. Ada makna di balik nama. Di dalam nama yang sudah diberikan orang tua ada doa dan harapan untuk sang anak.

Anak pintar tumpuan cinta

Hidup sukses dalam dunia

Kebahagian kami sebagai orang tua

Namamu tersohor dimana-mana

 

Gerimis mulai turun. Nyai Nyiwuh terperanjat. Ia menghentikan senandungnya dan melihat dari balik jendela pondok cuaca masih terang benderang, biru cerah seperti warna langit di ujung bukit. Hujan panas. Pada saat cuaca seperti ini, biasanya makhluk yang tak kasat mata berkeliaran. Sayup-sayup Nyai Nyiwuh mendengar suara-suara tawa anak-anak kecil yang riang gembira dari arah Sungai Halelet, sungai kecil di dekat ladang mereka. Tapi perempuan itu menepis pikiran cemasnya. Ia menutup pintu dan jendela pondok mereka dan memercikkan air kencur di sekeliling pondok sambil mengucapkan mantra-mantra.

Tiga tahun berlalu. Tunggal Mambu sudah lancar berjalan dan berbicara. Ia tumbuh besar, sehat dan kuat seperti doa orang tuanya. Nama yang diberikan padanya seperti ramalan yang terwujud. Tunggal Mambu menjadi anak tunggal. Ia tinggal sendirian di dalam pondok ketika ayah dan ibunya bekerja di ladang. Ladang mereka memang berada di tengah-tengah bukit yang memang jauh dari pemukiman penduduk. Akan tetapi, ia adalah anak Dayak yang berani dan memiliki ketrampilan hidup yang diperlukan di tengah alam belantara yang acapkali ganas dan berbahaya. Di usianya yang belia, ia mampu berenang di sungai-sungai kecil yang banyak terdapat di daerah itu. Ia juga tak gentar bila menghadapi  hal-hal baru dijumpainya dalam penjelajahannya di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

Di suatu siang yang panas, ketika Tunggal Mambu selesai menyantap makan siang yang selalu disiapkan orang tuanya sebelum berangkat ke ladang, ia keluar pondok dengan penuh harap. Ia ingin bermain di tepi sungai Halelet yang berair jernih sejernih cermin yang bisa memantulkan bayangan dirinya sendiri yang meriangkan hatinya. Kemarin ia merasa seolah-olah ada bayangan-bayangan lain di dalam permukaan air sungai itu. Hari ini ia merasa pasti akan bertemu dengan kawan-kawan barunya.

Benar saja. Ketika ia sampai di pinggir sungai, ia melihat banyak anak perempuan berenang dan bermain di sungai itu. Mereka tertawa bahagia. Mereka menoleh kepada Tunggal Mambu yang hanya terpana memandang mereka dari pinggir sungai. Salah seorang dari mereka berteriak kepadanya,“ Hai, kawan! Ikutlah mandi bersama kami.” Tunggal Mambu memandang riak air sungai yang melambai-lambai memanggilnya untuk ikut bermain bersama mereka. Tunggal Mambu terjun ke air dan anak-anak kecil itu merubunginya dengan gembira. Suara mereka begitu ribut memenuhi puncak bukit namun orang tua Tunggal Mambu yang sedang mengolah tanah di bagian ladang yang cukup jauh dari situ tidak mendengar apa-apa.

Demikianlah Tunggal Mambu menjadi teman bermain anak-anak perempuan itu.  Setiap kali orangtuanya berangkat ke ladang, anak-anak itu datang kepadanya tanpa diketahui dari mana asalnya. Mereka juga tidak pernah memberitahu Tunggal Mambu di mana mereka tinggal. Ketika ia menginginkan teman-temannya itu, mereka bisa tiba-tiba datang begitu saja. Dan ketika sore datang, ketika saatnya ayah dan ibu Tunggal Mambu kembali dari ladang, mereka bisa sekejap hilang tanpa meninggalkan jejak apapun. Mereka meminta Tunggal Mambu untuk tidak menceritakan tentang mereka kepada orang tuanya.

Bertahun-tahun sudah anak-anak itu menjadi teman bermain Tunggal Mambu yang selalu ditinggalkan sendiri oleh orang tuanya. Pada suatu musim getem, Tamanggung Usoh dan Nyai Nyiwuh berangkat ke ladang pagi-pagi sekali. Ayam belum berkokok dan matahari belum menampakkan cahayanya ke muka bumi. Tunggal Mambu yang kelelahan setelah sorenya bermain dengan makhluk-makhluk kecil itu belum bangun juga. Nyai Nyiwuh memasukkan semua makanan yang ia masak pagi-lagi buta ke dalam bakul bawaannya ke ladang. Ia lupa menyisakan makanan yang dimasaknya untuk anak tunggalnya.

Sinar matahari masuk melalui celah-celah dinding pondok. Ketika Tunggal Mambu membuka matanya, ia melihat teman-temannya itu sudah duduk melingkar mengelilinginya. Suara tawa mereka yang riang gembira memenuhi tempat itu sehingga Tunggal Mambu segera bangkit dan mengajak mereka keluar dan menghabiskan pagi itu dengan bermain sepuas-puasnya. Saking asyiknya mereka bermain, mereka tidak menyadari sudah lewat tengah hari. Perut Tunggal Mambu berbunyi. Anak-anak itu tertawa dan mengajaknya pulang ke pondok.

Sesampainya di pondok, Tunggal Mambu memeriksa tempat nasi dan lauk, namun semuanya kosong. Ia terduduk. Kelaparan dan lelah. Seseorang dari anak-anak itu memegang tangannya dan berkata, “ Tenanglah. Kami akan memasak untukmu.”

Lalu tanpa diperintah, mereka semua bekerja. Ada yang menanak nasi. Ada yang mencari ikan di sungai dengan dulang yang diambil dari dalam dapur. Banyak sekali ikan yang mereka dapat. Setelah masakan siap, mereka makan bersama dengan lahap. Tunggal Mambu senang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan bila bersama teman-temannya. Tetapi sesuatu terlintas di pikirannya yang masih anak-anak. Dia merasa perlu mengutarakan hal itu kepada teman-temannya karena ia merasa bahagia bersama mereka. Ketika makanan di piringnya sudah habis tak bersisa dan ia merasa perutnya sudah penuh, ia beringsut ke salah satu anak perempuan yang sudah dianggap seperti pemimpin bagi mereka dan membisikkan sesuatu ke telinganya,” Apakah kita boleh menemui ayah dan ibuku?”

Semua mata memandang terbelalak kepadanya. Kiranya bisikannya itu seperti teriakan di telinga makhluk kecil itu. “ Oh, jangan!” seru semua anak di tempat itu. Riuh rendah suara mereka menggema sehingga pucuk-pucuk daun pepohonan di luar pun bergoyang seperti ikut terkejut. Tunggal Mambu lebih terkejut lagi. Ia tidak menyangka suara bisikannya itu didengar semua anak itu.

Anak kecil yang dibisikinya itu memegang tangannya dan membawanya ke tengah-tengah kumpulan anak kecil itu. Lalu semua anak mengelilinginya. Anak perempuan kecil pemimpin kelompok itu kemudian bertanya padanya dengan muka paling serius yang pernah ia perlihatkan,” Maukah kamu berjanji pada kami semua  yang ada di tempat ini?”

Tunggal Mambu menjawab dengan cepat,” Berjanji apa?”

Anak itu berkata,” Kamu akan berjanji bahwa kamu tidak akan menceritakan apapun tentang kami kepada orang tuamu. Mereka sama sekali tidak boleh tahu tentang keberadaan kami.”

Dengan polos Tunggal Mambu balik bertanya,” Mengapa begitu?”

Anak kecil itu menjawab dengan sabar,” Karena mereka tidak akan setuju dirimu berteman dengan kami. Kami adalah anak-anak Kariau. Sejak zaman dahulu anak manusia tidak pernah berteman dengan anak-anak Kariau.”

Tunggal Mambu tidak mengetahui arti anak Kariau.  Ketika ia hendak bertanya lagi, anak perempuan itu mendahului bertanya, “ Kau ingin tahu apa yang akan terjadi bila engkau melanggar janjimu pada kami?”

Tunggal Mambu mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya pelan-pelan. Anak Kariau itu tiba-tiba menunjuk pada batu-batu di jalan setapak kecil yang menuju ke arah pondok. Dia berkata,” Bila sekali saja kau bercerita tentang kami kepada orang tuamu bahkan kepada siapapun maka kau akan basaluh menjadi batu itu.”

Tunggal Mambu bergidik. Ia tidak mau menjadi batu. Ia tidak mau membuat orang tuanya yang sangat mencintainya sedih karenanya. Karena itu dengan cepat ia mengucapkan janjinya di hadapan sekian banyak anak Kariau yang berdiri mengelilinginya.  Mereka tampak senang mendengar janji itu dan setelah itu keadaan kembali seperti semula. Gelak tawa menggema di tempat itu.

Sementara itu, Tamanggung Usoh dan Nyai Nyiwuh bekerja dengan cepat-cepat karena mengkhawatirkan keadaan anaknya yang baru mereka sadari tidak dibekali dengan makan siang. Sebelum matahari lenyap dari punggung bukit mereka sudah siap-siap pulang. Tepat ketika kaki mereka menginjak kerikil di depan rumah dan suara Nyai Nyiwuh memanggil-manggil, “Ambu, Ambu . . . .” anak-anak yang bermain di dalam rumah mendadak hilang lenyap. Tunggal Mambu duduk sendirian di depan panggitang. Nasi dan ikan yang masih bersisa di atas tungku perapian yang sudah padam tidak sempat mereka bereskan karena kedatangan mereka berdua yang lebih awal, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Nyai Nyiwuh menengok sekeliling dan melihat nasi di tungku perapian. “Siapa yang memasak?” tanyanya kepada anaknya yang masih duduk di atas amak purun.

“Aku sendiri.” Jawab Tunggal Mambu dengan yakin. Tapi keringat mengalir di pelipisnya.

“ Dari mana ikan itu?” tanyanya lagi ketika melihat gulai ikan ada di kuali di samping wajan tempat menanak nasi.

Dengan cepat Tunggal Mambu menjawab,” Aku tadi memancing dengan dulang itu.” Ia menunjuk ke arah dulang di pojok dapur. Ibu Tunggal Mambu tidak bertanya lagi. Tunggal Mambu menarik nafas lega.

Seperti pepatah yang menyatakan hidup manusia sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap, waktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa sudah tujuh tahun anak-anak Kariau itu menemani Tunggal Mambu. Janji yang diucapkan tetap dipegang hingga sampai saat itu.

Saat itu musim manugal. Orang-orang desa manugal dengan cara handep. Handep maksudnya adalah bergotong-royong secara bergiliran. Karena ladang padi biasanya sangat luas, menanam padi tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang hanya sedikit jumlahnya. Supaya cepat selesai, pemilik lahan harus mengundang banyak orang. Nanti ia juga berkewajiban membayar handepnya dengan membantu orang banyak tadi manugal di ladang mereka juga bila tiba giliran mereka. Sesungguhnya untuk dapat hidup sejahtera di bumi Kalimantan yang melimpah kekayaan alamnya, dibutuhkan tangan-tangan pekerja keras yang mampu mengolah dengan bijak anugerah Tuhan tersebut. Untunglah penduduk desa itu dapat melakukannya dengan penuh sukacita. Di sela-sela bekerja, tak lupa mereka menikmati nasi ketan yang manis dan gurih. Pemuda dan anak-anak bermain sepak sawut dan berkejar-kejaran saling mengoleskan arang yang banyak bertebaran di lahan bekas dibakar. Keriuhan di ladang itu begitu gegap gempita.

Di hulu Sungai Halelet, tampak anak-anak kecil berkumpul menciptakan kegembiraan mereka sendiri. Itu adalah Tunggal Mambu yang tidak ikut manugal di ladang orang tuanya dan teman-temannya anak-anak Kariau. Mereka tidak berani bermain dekat-dekat ladang ayah Tunggal Mambu. Selain itu juga, mereka memiliki tempat khusus untuk bertemu. Tempat bermain kesukaan mereka adalah hulu sungai Halelet yang riak-riak kecil airnya seperti jampi-jampi yang selalu menggoda mereka. Mereka pun bersukaria bermain hingga tidak memperhatikan keadaan sekeliling lagi.

Hari itu luar biasa gerah. Matahari seperti geram memancarkan sinarnya yang paling panas. Orang-orang yang bekerja di ladang sudah sangat lelah. Butir-butir keringat mengalir deras dari pori-pori kulit mereka. Tamanggung Usoh memberi isyarat kepada mereka untuk berhenti bekerja dan makan dulu. Mereka berbondong-bondong ke pondok dan menikmati makan siang yang nikmat di halaman rumah di bawah naungan pohon-pohon. Setelah duduk-duduk beristirahat, beberapa dari mereka berniat untuk mandi membersihkan diri. Tetapi alangkah terkejutnya mereka melihat air sungai Halelet sangat keruh seperti bekas kubangan kerbau mandi. Mereka semua mengurungkan niatnya mandi di sungai Halelet dan memutuskan untuk mencari sungai kecil lain yang airnya bersih dan jernih di sekitar tempat itu.

Tinggallah Tamanggung Usoh sendiri. Termenung dan berpikir keras. Mengapa air Sungai Halelet menjadi keruh? Mengapa pula Tunggal Mambu tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali sejak pagi tadi? Dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling kait-mengait di kepalanya, ia akhirnya mengayunkan langkahnya menuju ke hulu Sungai Halelet.

Sebelum sampai di hulu sungai, ia sudah mendengar suara hiruk pikuk anak-anak yang tengah berenang dan bermain dengan serunya. Ia mengintip di balik semak dan melihat anaknya asyik bermain di antara anak perempuan kecil yang jumlahnya sangat banyak. Jantungnya berdegup sangat kencang. Anak-anak Kariau!  Makhluk halus dari dunia lain. Ia mengenali mereka karena cerita tentang mereka selalu didengarnya dari orang-orang tua zaman dulu. Tanpa berpikir panjang ia terjun ke sungai dengan niat menyelamatkan anaknya. Anak-anak itu sangat terkejut dan dalam sekejap mereka pun lenyap meninggalkan Tunggal Mambu sendiri menghadapi ayahnya.

Tunggul Mambu putus asa. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi kemudian ia mengambil dulangnya dan menaruhnya di atas batu besar yang ada di tengah-tengah hulu sungai. Ia kemudian duduk di atas dulang itu, menunggu dalam keheningan yang serasa aneh mencekam.

Ayah Tunggal Mambu mendekatinya dan dengan lembut menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Air mata Tunggal Mambu keluar. Namun dengan tabah ia menceritakan semua yang terjadi sejak tujuh tahun yang lalu. Sampai usianya yang usianya ke sepuluh, ia selalu teguh memegang janjinya. Bersama dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya, cuaca perlahan-lahan berubah. Sekeliling mereka menjadi gelap. Kilat menyambar di udara. Suara guruh menggetarkan air sungai. Ketika ceritanya berakhir, lidahnya menjadi kelu dan perlahan-lahan ia pun berubah menjadi batu. Demikian juga dulang yang didudukinya. Ayah Tunggal Mambu menyaksikan semua yang terjadi di depannya dengan penyesalan yang tak terkira. Anaknya telah melanggar janji yang telah diucapkan. Andaikan saja ia tak usah bertanya. Tapi tak ada tangan manusia yang sanggup mengubah ketentuan alam.

Batu jelmaan Tunggal Mambu dan dulangnya masih ada sampai sekarang di tengah Sungai Halelet di bukit yang terletak di belakang Desa Batu Nyiwuh dan sejak itu bukit itu dinamakan Puruk Batu Ambu.

—————————————————————————————————

Puruk               : Bukit

Nahunan          : Ritual pemberian nama bayi

Patahu             : Bangunan kecil menyerupai rumah yang menjadi tempat menaruh sesajen atau persembahan

Kariau             : Makhluk halus yang berwujud seperti anak kecil

Getem             : Memanen padi

Basaluh           : Dikutuk menjadi batu

Panggitang      : Perapian tempat memasak

Amak purun    : Tikar yang terbuat dari tanaman purun, sejenis rumput atau gulma

Manugal          : Menanam padi

Handep            : Kearifan lokal suku Dayak yang mengandung arti gotong royong.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar