Ini untuk pertama kalinya aku berulang tahun di negeri orang. Tidak ada teman, saudara, atau tetangga sebelah rumah yang bisa kuajak merayakannya. Ah, tapi tak apa-apa. Aku masih punya Mama, Papa, dan …
“Alia!” panggil Usagi, teman sebangkuku yang selalu menemaniku selama aku tinggal di jepang, “Hari ini kamu ulang tahun, kan? Selamat, ya! Semoga panjang umur,” Usagi mengulurkan tangan.
“Terima kasih,” aku membalas uluran tangannya.
Usagi merapatkan mantel putihnya, begitu juga aku. Musim salju mulai turun. Semua murid memakai mantel tebal. Aku dan Usagi menuju halte bus.
“Kok, kamu sepertinya tidak bahagia?” tanya Usagi lagi.
Aku mengedikkan bahu. Aku memang agak sedih karena tidak ada yang merayakan ulang tahunku. Tiba-tiba mataku tertuju pada kilauan benda kecil di depanku. Segera kuambil. Owww … sekeping uang logam.
“Uang logam tahun berapa?” Usagi merebut logam itu dari tanganku. “Hebat!” teriaknya tiba-tiba, cukup mengagetkan. “Li, ini benar-benar hari keberuntungan buat kamu!” lanjutnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.
“Menurut orang jepang, kalau kita menemukan uang logam pada hari ulang tahun, dan tahun pembuatan uang logam tersebut sesuai dengan tahun kelahiran kita, maka tiga permintaan kita akan dikabulkan!” jelas Usagi panjang lebar.
Aku tersenyum, “Aku tidak percaya,” kataku.
“Kamu harus percaya. Tuhan sedang berbaik hati pada kamu!” Usagi mengembalikan uang logam itu. Kulihat tahun pembuatannya sama dengan tahun kelahiranku.
“Ayo Alia, sekarang kamu harus minta sesuatu!” Usagi terus memaksa. aku tidak percaya, tapi tidak apa-apalah.
“Kalau begitu aku akan minta kepada Tuhan, supaya hari ini ada matahari bersinar!” kataku akhirnya. Beberapa saat kemudian permintaanku itu benar-benar dikabulkan Tuhan.
“Lihat Alia!” teriakan Usagi, “Lihat! Matahri muncul di balik awan!”
Ah, aku hampir-hampir tidak percaya. Matahari muncul di langit sana, padahal sekarang musim salju!
“Betul, kan, apa yang kubilang. Tuhan sedang berbaik hati sama kamu. Sekarang, coba ajukan permintaan kedua! Ayo, Alia!” kata Usagi.
“Aku mau hadiah bunga sakura!” aku mengucapkan permintaan kedua.
Diiin! Diiin! Bus yang aku tunggu datang.
“Aku pulang dulu, ya! Nanti aku telepon!” kataku sebelum masuk bus. Usagi mengangguk, lalu melambaikan tangan.
Di dlam bus aku tersenyum sendiri. Apa benar yang dikatakan Usagi? Ah, aku yakin itu hanya kebetulan saja. mana mungkin uang logam bisa membawa keberuntungan? Aku tak yakin permintaan kedua terkabul.
“Stop!” teriakku sampai di depan rumahku.
“Cepat masuk Alia!” kata Mama begitu pintu dibuka. Sepertinya sebentar lagi akan ada badai salju.
Aku mencium tangan Mama lalu masuk ke kamar. Sekali lagi aku terkejut. Di kamarku sudah ada beberapa tangkai bunga sakura.
“Itu bunga dari Tante Irma. Tadi dia ke sini,” Mama menjelaskan.
Ya Tuhan … Usagi benar! Aku menuju telepon dan memijit nomor telepon Usagi. Kebetulan ia sudah sampai di rumah. Aku ceritakan permintaan keduaku itu.
“Sekarang apa permintaan terakhir kamu?” tanya Usagi.
Aku garuk-garuk kepala, “Aku … aku tidak tahu.”
“Begini saja, bagaimana kalau kamu minta pada tuhan agar hasil ulanganmu selalu yang terbaik!” usul Usagi beberapa saat kemudian.
“Ah, kamu ada-ada saja!” tolakku.
“Ini kesempatan baik Alia!”
“Tidak! Itu nanti akan membuatku malas belajar!”
“Tapi …”
Sekitar seperempat jam aku berdebat dengan Usagi. Hingga akhirnya aku dan Usagi bertengkar. Usagi membanting telepon. Aku juga membanting telepon.
“Ada apa sih?” tanya Mama melihat kelakuanku. “Tidak baik membanting-banting telepon!”
“Habis Usagi duluan,” gerutuku.
“Memangnya ada apa?” tanya Mama lagi.
Aku menarik napas sejenak, lantas menceritakan semuanya. Tentang uang logam itu, tentang permintaan pertama dan keduaku yang dikabulkan, dan tentang permintaan terakhir yang membuatku membanting telepon.
“Kamu benar! Meskipun Tuhan sedang berbaik hati padamu, tapi sebaiknya jangan menuruti permintaan Usagi itu,” Mama mendukungku.
“Lalu aku minta apa?” tanyaku sebelum Mama meninggalkanku.
Mama menghentikan langkahnya, “Bagaimana kalau kamu minta sahabat saja? iya, seorang sahabat sejati!” katanya.
Sahabat? Ya! Kenapa tidak? Akhirnya aku minta pada Tuhan supaya diberi seorang sahabat sejati. Aku lalu masuk kamar, mengganti pakaian, lalu menuju meja makan. Aku barus saja menyiapkan piring ketika bel berbunyi. Kudengar Mama membuka pintu.
“Alia! Coba kamu lihat, siapa yang datang,” kata Mama.
Aku menoleh. Usagi?!
Usagi tersenyum, mendekati tempat dudukku dan mengulurkan tangan, “Maafkan aku, ya! Aku …”
Aku menggeleng-geleng. Aku tidak mau mendengar kelanjutkan perkataan Usagi. Aku yakin Usagi menyesali perbuatannya karena dia seorang sahabat sejati yang dikirimkan Tuhan untukku. Seperti permintaan terakhirku!
Catatan:
ini cerpen pemenang sayembara menulis cerpen Bobo tahun 1999
manis bangeet!