Oleh Jidan Oktapian
“Malin anakku…”
“Jangan tinggalkan ibumu ini.”
“Kembalilah nak…”
Itulah suara teriakan yang pertama kali aku dengar. Teriakan wanita tua yang mengerang menangis memanggil anaknya. Namun, tunggu sebentar! Mengapa aku mendengar teriakan aneh itu? Apalagi tubuhku terasa terombang-ambing. Seakan-akan aku berada di tengah laut saja.
“Tuan bagaimana ini? Kapal ini sepertinya akan terbalik,” panggil seseorang.
Saat aku membuka mata pertama kali. Alangkah terkejutnya aku ketika mengetahui diriku berada di sebuah kapal besar yang tengah terombang-ambing. Bahkan, langit tampak semakin gelap dengan kilatan petir yang terus menyambar awak kapal. ‘Ku raba tubuhku yang terasa aneh, bukan hanya tubuhku saja, tapi orang-orang di sekitarku juga. Apa jangan-jangan, aku memasuki cerita legenda yang aku baca? Malin Kundang Si Anak Durhaka? Namun, mengapa aku harus menjadi tokoh Malin Kundang.
“Arghhhh tidakkkkkk …”
***
Dua jam yang lalu …
Hai, namaku Milan Gunawan. Seorang siswa kelas 6 SD yang gemar membaca cerita legenda Indonesia. Aku menyukainya, karena terdapat nilai-nilai kearifan lokal di setiap cerita yang ‘ku baca.
Hari ini aku akan pergi ke toko buku milik ungku Dahlan. Sebuah toko buku tua di sudut kota Padang. Suasananya remang-remang dihiasi pajangan antik juga aroma buku berdebu yang khas. Namun, entah mengapa aku sangat menyukai suasana ini.
Seperti biasa aku telusuri rak demi rak untuk mencari sebuah buku yang hendak aku baca. Sebenarnya aku belum tahu sih mau membaca apa. Namun, tiba-tiba saja brakkkkk… sebuah buku terjatuh di hadapanku. Sebuah buku berwarna coklat tua, dipenuhi debu juga beberapa robekan kecil.
Segera ‘ku ambil lalu meniup debu-debu yang menempel pada buku tersebut, “Malin Kundang Si Anak Durhaka,” itulah judul buku yang tampak terbaca.
Wah, sepertinya aku sangat tertarik dengan cerita tersebut. Aku pun duduk menyender pada rak buku, mulai membaca setiap halamannya.
Namun, setiap halaman yang ‘ku baca, semakin sedih pula hatiku. Bagaimana tidak, Malin Kundang dalam cerita itu begitu durhaka kepada ibunya. Aku merasa tidak tega melihat karakter Malin Kundang begitu buruk. Andai aku bisa mengubah alur ceritanya, aku harap Malin Kundang bisa menjadi sosok anak yang patuh. Aduh, maaf ya pikiran ‘ku mulai aneh-aneh lagi.
Setelah selesai membacanya, aku kembalikan saja buku tersebut ke atas rak. Baru saja aku selangkah menjauhi buku tersebut, hembusan angin aneh membuat bulu kudukku berdiri. Merinding ~
“Milan, tolong aku.”
“Milan, tolong aku.”
Terdengar suara halus yang menakutkan memanggilku. Saat aku menoleh kebelakang, kilatan cahaya menyilaukan mataku, memaksaku memasuki dimensi lain. Dan saat aku tersadar, aku mendapati diriku berada dalam dunia cerita Malin Kundang.
***
“Arghhhh tidakkkkkk …”
“Tenang Milan, kau tak perlu takut,” terdengar suara tak bersosok.
‘Ku melihat ke sekeliling, “Ka-kamu siapa? A-apakah kamu Malin Kundang?” Tanyaku keheranan.
“Ya benar,” jawabnya.
“Ba-bagaimana aku bisa berada di tubuhmu?” tanyaku lagi.
“Itu karena kamu telah membuka bukuku. Jadi, kamu harus menolongku,” jawabnya.
“Mana bisa begitu? Dan apa menolong? Menolong bagaimana maksudmu?”
“Kamu harus menolongku agar tidak tenggelam dari kapal ini dan menjadi batu,” ceritanya.
“TIDAK! AKU TIDAK MAU,” tegasku, “Itu adalah urusanmu. Suru siapa kamu menjadi anak yang durhaka?,” omelku.
“Bagaimanapun kamu harus menolongku,” Ucapnya lalu hilang begitu saja.
“Tidak, jangan pergi dulu!” Cegahku.
“Malin… Malin… Malin…” panggilku dan tidak ada jawaban sama sekali dari pria tersebut. Bagaimana mungkin aku yang masih anak SD menolong masalah sebesar ini. Menjadi tokoh Malin Kundang pula? Dan juga alur ceritanya sudah memasuki adegan dikutuk menjadi batu? Mengapa hari ini hidupku tidak beruntung ya, Tuhan.
Jadi, bagaimana selanjutnya yang harus aku lakukan? Ombak semakin kencang, gemuruh petir pun tak pernah beristirahat menyerang kapal yang ku tumpangi ini. Tolong siapapun beri aku petunjuk harus bagaimana.
Dari kejauhan, terlihat seorang wanita tua mengangkat tangan berdoa dengan hatinya yang pilu, “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis.
Mande Rubayah? Ibu dari Malin Kundang? Sepertinya aku tahu harus bagaimana untuk merubah alur cerita ini menjadi lebih baik dan menolong hidupku tentunya.
“Pak biar aku yang kendarai. Kita putar balik kapal ini dan kembali,” perintahku.
“Tapi suamiku katamu dia bukan–”
“Dia adalah Ibuku,” ucapku dengan senyuman kebahagiaan. Akhirnya aku bisa mengakui hal ini yang tidak pernah Malin Kundang asli lakukan.
Di tengah langit gelap berkilat dan ombak bertubi-tubi, Malin Kundang memandu kapalnya ke arah pulau dengan hati yang penuh kekhawatiran. Ombak yang tinggi dan angin yang kencang membuat perjalanan terasa sulit dan menakutkan. Namun, ditengah perjalanan, langit mulai bersinar. Cahaya matahari menerangi langit yang tadinya gelap, dan ombak-ombak yang ganas perlahan mereda.
Saat kapal semakin mendekati pulau, Malin Kundang melihat siluet seorang wanita tua yang berdiri di pantai. Dia mengenalinya seketika. Itulah ibu yang menyayanginya. Malin Kundang mempercepat laju kapalnya, hatinya penuh harap dan rindu. Ketika kapal merapat ke pantai, ibunya berlari ke arahnya. Tangisannya yang sedih berubah menjadi senyuman bahagia ketika melihat anaknya kembali.
Dengan tulus dan penuh penyesalan, Malin Kundang turun dari kapal dan memeluk ibunya erat-erat. “Maafkan kedurhakaan anakmu ini, Ibu,” bisiknya sambil meneteskan air mata bahagia. “Aku datang kembali untuk meminta maaf dan bersama-sama kita akan memulai hidup yang baru.”
Ibu Malin Kundang memeluknya dengan penuh kasih. “Anakku, maafkan juga ibumu yang telah menangis menantimu selama ini. Sekarang, kita bersama-sama, tidak ada lagi yang memisahkan kita,” ucap ibunya sambil menangis bahagia.
Mereka berdua melangkah menuju rumah ibu Malin Kundang dengan langkah penuh kebahagiaan, sambil mengobrol dan tertawa. Langit yang tadinya gelap dan angin yang kencang telah berubah menjadi cerah dan tenang, mencerminkan kebahagiaan yang mereka rasakan.
Satu hari itu pun, Milan berusaha keras menjadi anak yang baik dan patuh kepada orang tuanya. Ia membantu ibunya menjual ikan di pasar, membantu para nelayan menambatkan perahunya, dan orang yang membutuhkan bantuannya.
Dengan kebaikannya, Milan berhasil meraih hati penduduk desa dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Meskipun alur cerita asli mencoba mendorongnya untuk durhaka, Milan berhasil mengubah takdirnya.
Hingga suatu hari, kilatan cahaya kembali menyilaukan mata Milan, dan saat ia sadar, dia kembali ke dunianya sendiri. Namun, kali ini, dia membawa pelajaran berharga tentang kebaikan, kepatuhan kepada orang tua, dan pentingnya menghargai nilai-nilai kearifan lokal.
*Diikut sertakan lomba bulan Mei (Menyambut Ulang Tahun Paberland)