“Sebelah sandalku hilang!” pekik Indri. Dia berdiri di teras rumah memandangi sandalnya yang tinggal sebelah. Sandal itu berwarna hijau dengan garis-garis putih. Bagus sekali. “Siapa yang sudah iseng menyembunyikan sebelah sandalku?” teriaknya dengan wajah masam.
Saiful, Izza, dan Dinar hanya melongo. Menyembunyikan sandal Indri? Bukankah mereka sedari tadi ada di dalam rumah? Mereka baru selesai belajar bersama di rumah Izza. Kebetulan rumah mereka berempat tidak berjauhan.
Mereka segera mencari sebelah sandal Indri yang hilang. Saiful menyibakkan rumpun Bugenvil. Izza mencari di antara pot-pot bunga di sudut teras. Dinar mencarinya sampai batas pagar. Sementara Indri berdiri mematung, memperhatikan teman-temannya mencari.
“Sandalku masih baru. Tadi pagi Ibu membelikannya di pasar sewaktu berbelanja.” Indri meraih sandalnya yang tinggal sebelah. Sambil cemberut dia menoleh ke arah tiga orang temannya.
“Aku tidak menyembunyikannya,” kata Izza sambil mendekat. Dia tidak bisa menemukan sandal Indri. Sebagai tuan rumah, dia merasa tidak enak hati juga.
“Aku juga,” timpal Dinar. “Sedari tadi aku di dalam terus. Baru kali ini aku ke luar rumah.”
Tiga pasang mata kemudian menatap Saiful. Anak laki-laki itu masih menyibakkan beberapa tanaman perdu. Tapi dia tidak menemukan apapun di sana. Kalau dua orang tidak mengakuinya, berarti tinggal satu orang lagi kemungkinannya. Saiful tentu saja gelagapan menyadari itu.
“Jangan kira karena aku laki-laki satu-satunya, lalu aku berbuat jahil terhadap kalian,” elak Saiful. “Aku juga tidak menyembunyikan sandal Indri.”
“Lalu siapa, dong?” tanya Indri dengan mata berkaca-kaca. Dia sedih sandalnya hilang sebelah. Bagaimana dia harus menjelaskannya pada Mama? Dia tentu akan dibilang ceroboh menyimpan sandal sembarangan. “Duh, Mamaku pasti akan marah. Belum sehari, sandalku sudah hilang.”
Semua terdiam mendengar keluhan Indri. Tapi apa yang harus mereka perbuat? Tak ada satu pun yang tahu ke mana sebelah sandal Indri menghilang. Mereka sudah menyisir halaman rumah Izza dengan teliti. Tapi sandal itu tidak bisa ditemukan.
“Aneh, mana ada pencuri yang hanya mengambil sandal sebelah?” Saiful menggaruk kepalanya. “Buat apa, coba?”
Ketiga temannya mengangguk. Ya, kenapa harus sebelah? Apakah ada anak iseng yang lewat, lalu menyembunyikan sebelah sandal Indri? Mereka mulai menduga-duga. Tapi siapa? Di daerah ini tidak banyak anak-anak, apalagi yang suka jahil seperti itu.
Izza melihat Indri terisak. Indri pernah cerita tentang sandal hijau yang sangat diinginkannya itu. Dia pasti sedih kehilangannya sekarang, meski hanya sebelah.
Seekor anjing kecil berlarian di tengah jalan, depan rumah Izza. Sedari tadi dia berlari-lari dengan riangnya. Bolak-balik melewati rumah Izza. Tapi tidak satu pun dari empat anak itu yang memedulikannya. Mereka sedang sibuk mencari sandal Indri.
Tapi kali ini Izza sempat memerhatikannya. Anjing itu berlari dan melompat ke sana-kemari. Izza tahu, anak anjing itu milik Om Ali, yang tinggal dua rumah di sebelah rumahnya. Baru dua hari ini Om Ali memeliharanya dan menamainya Doli.
Doli itu lucu. Mulutnya menggigit sehelai plastik kecil warna hitam. Dia menggoyang-goyang kepalanya, membuat suara plastik bergemeresak. Doli melonjak-lonjak, berusaha meraih plastik di mulutnya. Kadang dia berputar-putar, berusaha menangkap plastik itu. Sesaat kemudian, anjing kecil itu berlari menjauh.
Izza terkikik. Geli rasanya melihat Doli berputar-putar, padahal plastik itu sudah ada di di mulutnya.
“Izza, kamu kok malah tertawa, sih?” Dinar menegurnya. “Kita masih harus memikirkan ke mana sandal Indri!”
Izza menutup mulutnya, lalu tiba-tiba tersentak sendiri. SANDAL!
“Aku kira, aku tahu di mana sandal itu berada. Mudah-mudahan saja perkiraanku benar. Ayo ikut aku!”
Izza memakai sandalnya, lalu berlari ke luar halaman. Ketiga temannya segera mengikuti. Indri terpaksa meminjam sandal Mamanya Izza. Meski kebesaran, tapi dia penasaran apa yang ingin Izza tunjukkan.
Izza berlari ke arah rumah Om Ali. Kebetulan Om Ali sedang menyiram bunga di halaman rumahnya. Dia tersenyum melihat kedatangan Izza dan teman-temannya.
Izza tersenyum. “Si Doli ke mana, Om?” tanyanya sambil masuk ke halaman rumah. Saiful, Dinar dan Indri mengerutkan kening mereka. Kok Izza malah nyariin anjing kecil itu, sih? Nasib sandal Indri bagaimana?
“Aduh, tuh anjing centil banget, Za.” Om Ali tertawa. “Dari tadi lari-lari terus. Mana setiap datang selalu bawa sesuatu di mulutnya. Sampai setumpuk tuh sampah di halaman samping. Tadi dia lari ke sana, cari sendiri aja, ya?”
Sendirian, Izza berlari ke samping rumah, ke arah yang ditunjukkan Om Ali. Sebentar kemudian terdengar dia memekik, lalu berlari ke halaman depan. Tangannya mengacungkan sesuatu.
“Sandalku!” Indri memekik tak percaya. Dinar dan Saiful pun tak kalah kagetnya. Kok Izza bisa menemukan sandal Indri di sana?
Izza tersenyum simpul. “Pas aku lihat Doli memainkan plastik, tiba-tiba aku kepikiran.” Izza mengemukakan rahasianya. “Sandal baru Indri masih menyebarkan bau karet yang menyengat. Doli pasti tertarik begitu melihat dan mencium baunya. Ternyata dugaanku benar. Sebelah sandal Indri dibawa Doli!” Izza terkikik.
“Izza, kamu hebat!” Dinar dan Saiful bertepuk tangan kagum. Mereka tidak menyangka Izza memikirkan sejauh itu.
“Tapi sandalku penuh bekas gigitan Doli!” Indri merengut mengamati sandalnya.
“Tapi sandalmu sudah sepasang lagi, In. Daripada sebelah dan nggak bisa dipakai?” kata Saiful sambil tertawa.
Indri ikut tertawa. “Ah, benar juga. Aku pun tidak perlu takut dimarahi Mama sekarang. Kalau Mama marah sandalku penuh gigitan, suruh aja marahin si Doli!”
Mereka semua tertawa. Senang rasanya sandal Indri sudah berhasil ditemukan lagi.
Ah, Doli, ya ?. Bikin panik yang lain ?
hahaha iya nih, iseng banget :))
Izza hebat, ia cerdas dan peka dengan lingkungan sekitarnya. Nice story mas Iwoq ?
Terima kasih banyak mba Dian.