BAB 1,
Floro
Apa yang paling membuatmu bahagia?
Apakah saat ayah memaafkan kesalahan terbesarmu?
Atau saat ibumu memberi kejutan hadiah kue kesukaanmu, sepotong Bulu Berai yaitu bolu kukus yang terbuat dari kocokan telur seputih kapas, dan saat masak, bolu direndam dalam air gula merah beraroma pandan. Hm… enak. Aku juga suka Bulu Berai. Namun Bulu Berai belum cukup untuk membuat hatiku tenggelam dalam kebahagiaan.
Hari ini adalah salah satu hari terbaikku. Saat terbangun dari tidurku, aku mencium wangi masakan ikan berkuah kuning, Singang. Sedikit aroma pedas kecut dan wangi Ruku. Ruku memiliki wangi yang lebih menyengat dari kemangi dan jika diraba daunnya, ada tekstur sedikit berbulu. Kubasahi bibir atas dan bawahku. Aku tahu dan selalu tahu, wangi ini milik Singang Ina, kupanggil ibuku demikian, sungguh tak ada banding dan tak ada duanya. Perutku mulai mengamuk. Baiklah, saatnya untuk memenuhi amukan perutku. Bruk!
Aku menertawakan diriku sendiri. Aku terjatuh dari tempat tidur.
Aku sadar, kebahagiaan tidak selalu datang dengan segala yang positif. Kadangkala dihiasi oleh ocehan, teguran, luka, dan emosi. Seperti pagi ini, aku sangat bahagia dapat menyantap Singang Mujair masakan Ina. Walau harus aku akui, untuk ke seribu kalinya selalu ocehan Ina yang menjadi menu pendamping sarapanku.
“Cuci mukamu sebelum makan!”
“Jangan makan seperti orang yang tak pernah diberi makan, rakus dan tak punya adab.”
“Kau bisa makan dengan tenang, jangan seperti itu!”
“Eit! kuku monyetkah ini? Potong kukumu atau kau akan membuat perkampungan cacing dalam perutmu!”
Hingga kusimpulkan, rumus kebahagiaanku = Singang Mujair + 3 piring nasi + seribu ocehan. Huh! anehnya, seribu ocehan tidak membuat cintaku luntur. Aku mencintai Ina lebih dari apa pun.
***
Gunting, pisau, tali, buku, pensil, teropong, Lengkap! Semua tertata rapi dalam tas cokelatku.
“Belajarlah seperti ayahmu. Tak selamanya kau bergantung hidup dengan mengambil milik manusia. Jangan ikuti tradisi buruk itu meskipun kita bangsa Floro.”
Sambil menasihati, Ina memberiku bekal nasi dan dua iris daging rusa yang dibakar setengah masak.
“Apakah Ayah tak pernah mencuri? Maksudku, mengambil beberapa barang atau makanan dari manusia?”
Ina menghela napas. Ia tahu aku membantah, halus, dan selalu mencari alasan.
“Semenjak Ina mengenal ayahmu, ia tak pernah mengambil apa pun. Mungkin pernah saat seusiamu. Tapi itu dulu. Nenekmu tak pernah mencegahnya, seperti juga ibuku tak pernah mencegahku. Bahkan mungkin mereka menyarankan agar kami pulang dengan sekarung benda dan makanan. Tapi Ina bukan nenek-nenekmu.”
Ina tidak seperti siapa pun yang kukenal. Aku menatapnya kagum.
Ina tersenyum tipis, “Orbulina, kau sangat berarti bagi Ina. Untuk menjadi yang terbaik, kau tak perlu seperti mereka.”
Kupeluk Ina dengan erat. Walau tak sering, Ina selalu mengulang kata itu, betapa berartinya aku bagi Ina. Dan aku suka.
Kutatap Ina sambil berkata, “Mungkin suatu saat nanti. Tapi sekarang, biarlah aku menjadi seperti mereka. Bukankah aku harus belajar dari hidup ini? Ina, Sepertinya aku harus pergi. Sampai jumpa Ina.”
***
Riuh rakyat Floro menemani langkahku. Kami serumpun makhluk mirip manusia. Namun, tubuh kami pendek dan bertelinga runcing. Mata kami besar dan senyum kami pun sangat lebar.
Beginilah setiap pagi, saling menyapa, melempar canda tawa, dan saling memberitahukan sasaran masing-masing. Tak ada yang merebut sasaran teman dan tak ada yang marah ketika seorang teman ingin membantu.
Beginilah setiap pagi, bangsa Floro pergi ke perkampungan manusia dengan membawa berbagai alat. Ada alat penggali, pengait, tombak, bahkan panah. Sebagian dari mereka ada yang pergi berburu. Sebagian lainnya, pergi mengintai dan mencuri. Mereka butuh alat pendukung. Menurutku, kecepatan kaki dan tangan kami sudah cukup menjadi alat untuk mengambil makanan seserahan yang ditaruh di penjuru pohon-pohon yang dianggap keramat oleh manusia.
Aku mengantre menaiki kereta geser. Aku suka mengantre. Terowongan dan kereta geser ini mengingatkanku pada Ayah. Entah bagaimana wangi tubuh Ayah. Bagaimana suara dan tawanya, aku tak tahu. Ayah meninggalkanku saat aku masih kecil. Tapi, segala cerita tentangnya, membuatku bangga menjadi anaknya. Terowongan beserta keretanya adalah salah satu karya terbaik Ayah.
Kata Ina, saat awal membuat terowongan ini, Ayah sampai lupa makan dan tidur. Seisi kampung mencibir Ayah dan mengatakan Ayah “Gila”. Jika aku hidup di saat itu, aku pun akan berpikiran sama, Ayah benar-benar gila! Sayangnya, aku belum lahir saat Ayah mulai membangun terowongan dengan tangannya sendiri dan penuh kegilaan yang sulit aku bayangkan.
Sebelum Ayah membuat terowongan, rakyat Floro harus berjalan melalui terowongan yang panjang. Butuh setengah hari untuk sampai di mulut gua Mumber, gua yang berada di utara perkampungan Seloto. Bayangkan saja, kampungku lebih dekat dengan Seloto, tetapi rakyat Floro terdahulu, justru harus memutar jauh untuk sampai ke mulut gua.
Kawan, gua bukan hanya bermanfaat sebagai tempat tidur para hewan, namun juga bermanfaat untuk menghubungkan dunia permukaan bumi dengan dunia dalam tanah. Beberapa aliran air bawah tanah melintasi gua dan perkampungan kami.
Rakyat Floro butuh keluar dari perut bumi untuk mencari kebutuhan hidup dan ilmu pengetahuan. Kami berburu rusa untuk disantap beramai-ramai saat acarabesar atau menjelang musim hujan. Tapi untuk kebutuhan sehari-hari, kami mengambil dari manusia penghuni permukaan bumi.
Sebagian rakyat Floro suka berkebun di bawah tanah. Namun kami tak memiliki lahan yang cukup besar. Lahan yang kami miliki terlalu kecil untuk menanam padi atau sayur-sayuran, sedangkan rakyat Floro bertambah dari tahun ke tahun. Kami memilih meninggalkan sedikit potongan emas, perak, permata, sebagai pengganti seserahan manusia penghuni permukaan bumi. Kami anggap ini hadiah.
Kami melakukan hal ini sesekali saja, tidak sering. Harapan kami, potongan emas yang kami tinggalkan akan membuat mereka senang menaruh seserahan.
Walau demikian, kami tetap mencuri, mengambil sesuatu yang kami butuhkan. Seserahan lebih banyak menyajikan ayam bakar, kambing, kue-kue, berikat-ikat padi daripada bumbu-bumbu masakan, kain, jarum, dll. Kami juga butuh bumbu masakan, jarum, dan kain.
***
Tiba giliranku menaiki kereta. Hanya dalam 660 hitungan jariku, aku sampai di atas permukaan bumi. Seperti biasa, aku selalu menatap dan menyapa mentari. Tersenyum padanya dan mengucapkan selamat pagi.
Beberapa saat kemudian, aku sampai di sisi jalan berbatu. Namun aku terkejut. Seorang gadis kecil menduduki batu hitamku. Siapa dia?