BAB 10,
Amaq Belo
Orbunis mendesah padaku, “Oh… kau berat sekali!”
Orbunis turun dari kuda. Menggendong tubuhku yang terlalu berat buatnya. Ia menggerutu kalau tubuhku lebih berat dari seekor kambing. Ia mendengus. Aku bergoyang-goyang di dalam tas.
“Gadis kecil, kubantu kau mengangkat tas di punggungmu, sepertinya berat sekali.”
“Tidak Pak Tua, terima kasih. Kubayar sekarang?”
“Nanti. Di atas perahu saja. Sini kudamu, biar kutuntun ia ke dalam perahu.”
Pak Tua berjalan lebih dulu. Kami mengikutinya dari belakang,
“Huh! Kau harus membayar semua ini. Bahuku sakit,” bisik Orbunis sinis.
Kami duduk di bangku penumpang pada dek perahu. Bangku tertutup atap santek, atap yang terbuat dari bambu. Sedangkan kuda kami, ditambat Pak Tua di bagian belakang perahu. Pak Tua mulai mengayuh dan membuka layar perahu. Angin berembus dan perahu berjalan laju.
“Panggil aku Amaq Belo, siapa namamu gadis kecil?”
“Orbulina.”
“Mengapa kau pergi seorang diri ke Tanjung An? Di sana sangat berbahaya.”
Orbulina mengambil sebuah koin emas dari kantung bajunya dan memberikannya pada Amaq Belo.
“Terima kasih. Kau belum menjawab pertanyaanku.” Ia mengambil koin, disimpannya di saku dan kembali mengatur arah layar.
“Ada sesuatu yang ingin kucari di sana.”
“Apa kau salah satu dari peramal itu?”
“Siapa mereka? Aku? Oh… bukan. Aku hanya manusia biasa, bukan peramal.”
Aku mendengar percakapan itu. Aku ingin keluar dari tas ini. Menikmati pemandangan laut sambil duduk manis di atas perahu. Menyebalkan terjepit di dalam tas.
“Kau bukan peramal, lalu mengapa ke sana?”
“Sudah kubilang, aku mencari sesuatu. Siapa mereka? Peramal-peramal itu?”
Amaq Belo duduk di hadapan kami. Ia bersandar sambil memindahkan koin emasnya ke dalam kantung kecil yang tersimpan di balik bajunya.
“Mereka mencari pasir dan batuan keramat. Benda-benda itu dipakai untuk meramal. Sangat jitu untuk mencari benda yang hilang dan menilik masa depan. Tapi aku pernah mencobanya. Kalung istriku hilang. Kubawa pasir itu setengah karung. Aku memohon dan berdoa, tapi kalung istriku tak pernah kembali. Sekarang, kupikir mereka gila.”
Tawa Orbunis pecah di udara. Baginya itu lucu.
“Ada-ada saja.”
Amaq Belo tersenyum.
“Orbulina, kau sebaya dengan anak laki-lakiku, Adib. Jika aku menjadi orangtuamu, tak kubiarkan kau pergi seorang diri. Tanjung An sangat berbahaya. Arus ombak di pantainya sangat kuat dan kencang. Tak ada rumah penduduk di sekitarnya. Seperti yang kukatakan, tak ada apa-apa di sana. Hanya pantai yang di kelilingi padang rumput. Tak ada pohon kelapa. Sayang aku tak dapat mengantarmu ke sana. Kau harus melanjutkan perjalananmu ke Selatan. Jika kau pergi esok pagi, siang sudah sampai. Berhati-hatilah. ”
“Kedua orangtuaku telah meninggal dunia,” ujar Orbunis.
Aku mulai tak tahan. Aku bergerak-gerak dalam tas. Orbunis menahanku.
“Oh.. maaf. Sepertinya tasmu bergerak. Apa yang kau bawa?” tanya Amaq Belo.
“Tidak. Tidak ada apa-apa,” jawab Orbunis gugup.
“Di mana kau akan menginap? Apa kau terbiasa menginap di dalam hutan seorang diri? Tinggallah di rumahku. Kau bisa berkenalan dengan Adib. Mungkin ia bisa mengantarmu ke Tanjung An.”
Orbunis diam. Bagiku ini ide bagus. Aku semakin bergerak keras. Aku benar-benar tak tahan. Orbunis mendekap tubuhnya pada tas. Ia mencoba menahanku.
“Orbulina, tasmu bergerak. Apa yang kau bawa?”
“Oh tidak! Diamlah!” kata Orbunis ketus.
“Kau bisa memercayaiku. Aku tak akan mengatakan pada siapa-siapa apa isi tasmu itu. Hey, bukannya kita hanya berdua di perahu ini? Dan kita di tengah lautan.”
“Iya, kau benar Amaq Belo. Kau ramah. Sepertinya kau bukan orang jahat.”
Amaq Belo menyeringai dan mengeleng-geleng.
“Kau bisa dipercaya? Sungguh?” sahut Orbunis padanya.
Amaq Belo mengangguk.
“Aku membawa manusia kerdil, seperti kita tapi beda. Aku butuh dia untuk mencari sesuatu yang kumaksud itu.”
“Ini menarik. Keluarkan dia dari tas,” Amaq Belo mendekat, sepertinya ia penasaran.
Orbunis melepaskan dekapannya. Dengan sergap, aku keluar dari tas, berdiri di bangku. Udara segar menyambut. Kaki terasa pegal dan mataku silau. Matahari di laut jauh lebih menyilaukan daripada saat di padang sabana.
‘bruk!’
Amaq Belo terjerembap dan mendongak padaku. Matanya terbelalak beku.
‘Maaf… maaf… mungkin aku mengejutkanmu. Perkenalkan namaku Orbulina. Sama dengannya. Kau bisa memanggilku Orbunot, dan panggil dia Orbunis. Biar beda.”
Kuulurkan telapak tanganku padanya. Ia pun menyambut uluran tanganku. Kami bersalaman, sedikit kaku.
***
Matahari mulai tenggelam. Cahaya jingga memantul di lautan Kayangan, memudar dalam gelap. Sedangkan mentari, tampak seperti koin emas yang tercelup dalam lautan. Kami telah sampai di pulau Pippery, tepatnya di dermaga Kayangan. Amaq Belo mengambil kudanya yang dititip pada seorang teman. Kami mengikuti Amaq Belo menuju rumahnya. Kami menunggangi kuda mengikuti jalan setapak. Di saat langit jingga mulai menghilang, dalam remang, kami sampai. Disambut hangat seorang anak perempuan di ambang pintu yang menghambur ke dalam pelukan Amaq Belo.