BAB 12,
Ratu Mandalika
“Aku tak bisa berenang! Bagaimana bila aku mati?” kataku pada Orbunis.
“Astaga!” teriak Orbunis.
“Terserah padamu, Orbunot. Gara-gara kau, aku sampai di sini. Sudahlah Orbunot. Semua manusia juga akan mati termasuk manusia sepertimu. Setidaknya ini bukan aksi bunuh diri. Ini perjuangan! berjuang menyelamatkan bumi dari kekejaman Foxo. Aku akan membawamu kembali ke pantai bila kau tenggelam–hampir mati.” tukas Orbunis.
Aku masih ingin bergumam,
“Bagi bangsa Floro, pintu masuk itu adalah gua. Pasti tersembunyi. Aku yakin letaknya di tengah lautan luas ini. Tidak mungkin di dekat pantai. Gua terbentuk karena ia mampu bertahan. Orbunis, batuan larut oleh sesuatu. Ya… sesuatu itu bisa iklim, air, atau zat tertentu. Ingatlah petunjuknya, kerajaan Batu Cermin. Jangan-jangan itu gua! Tandanya ada pintu masuk berbentuk gua, batuan besar di bawah lautan ini. Mengerikan.”
“Terserah kau saja. Teorimu terdengar kacau dan membuatku pusing. Aku nyebur duluan,” ujar Orbunis. Ia berlalu, jalan ke arah lautan, dan,
Byur!
“Orbunis! Aku belum selesai. Kau harus tahu, gua terbentuk oleh air. Hantaman air yang besar dan terus-menerus bisa membuat batu berlubang. Bisa jadi di dekat gua itu ada ombak yang sangat besar. Kau akan diputar-putar oleh ombak hingga mati.” Teriakku.
Orbunis mengapung di permukaan laut.
“Orbunot! Jika kau berteori dan terus menakut-nakutiku, kita akan pulang tanpa membawa apa pun. Kelak, kampung Seloto hancur, kampungmu juga. Lihatlah! lautan ini begitu tenang. Mana ombak besar itu! Apa salahnya bila mencoba. Kau harus coba masuk ke lautan ini. Ada kejutan besar. Kau akan menyesal seumur hidupmu bila kau berdiam terus di situ. Aku pergi,” Orbunis berenang menjauh ke tengah lautan.
Orbunis benar. Apa salahnya kucoba. Dia berjanji akan membawaku kembali bila terbukti aku tenggelam
“Baiklah. Ayo mulai.” kataku membatin.
Saat air laut menyentuh kaki, aku sumeringah. Cekikikan seorang diri. Air laut terasa dingin tapi hangat di hati. Sesaat aku lupa akan kepanikanku sendiri.
Saat air laut sampai betis, aku meloncat-loncat di tempatku berdiri. Aku berjalan, air menyentuh leher, Orbunis datang memegang lenganku. Ia tersenyum dan menyadari perubahan itu.
Kami cekikikan, saling pandang, dan berpegangan tangan. Ia memberi aba-aba, menutup mata, dan hidung dengan tangan lainnya. Aku masuk ke dalam lautan.
Saat itu, semuanya berubah. Aku membuka mata. Tangan dan kakiku seperti katak. Telinga semakin meruncing, berkepak-kepak seperti sirip. Hidung mendatar dan lubangnya mengecil. Dan kulit bersisik berwarna pelangi. Menakjubkan! bisa bernapas di dalam air. Kami saling tatap dan tersenyum. Sesuai petunjuk, perubahan itu tubuh baru!
Saat aku mencoba berjalan, satu langkahku melayang. Orbunis mencontohkan cara berjalan dan berenang. Bergerak-gerak seperti ikan. Dan Oh.. aku bisa! Aku berenang! Aku merasa seperti terbang di dalam air.
Orbunis menggerakkan lengannya, memberi petunjuk agar aku mengikutinya. Kami berenang jauh ke dalam lautan. Ikan warna warni, terumbu karang, dan beberapa ekor kuda laut menyambut. Kami berhenti sejenak, mencari arah selanjutnya. Lautan ini terlalu luas. Tiba-tiba seekor ikan merah besar mendekati kami.
“Siapa kalian?!”
Kami tercengang. Ikan itu bisa bicara!
“Orbunot. Kau bisa mendengarku?”
“Iya Orbunis. Ikan itu berbicara pada kita. Jelas sekali.”
“Hey! Jawab! Siapa kalian?!” Ikan itu memaksa dengan nada mengancam.
“Kami manusia. Kami sedang mencari kerajaan Batu Cermin,” sahut Orbunis.
“Manusia! Bagaimana kalian tahu kerajaan Batu Cermin? dan untuk apa? Kalian pasti bu…”
Aku menyela, “Tunjukkan pada kami kerajaan Batu Cermin. Kampung kami akan hancur. Kami butuh pasir Orbulina.”
“Sialan! Kalian pasti salah satu manusia rakus! Kubunuh saja kalian!” Ikan merah mengibaskan ekornya dengan keras.
“Tunggu! Kami hanya berdua dan tidak bersenjata. Buat apa kami serakah. Antar kami ke kerajaan Batu Cermin. Ini penting?! Habis itu, terserah kau!” ketus Orbunis kepada ikan itu.
Ikan itu memandang kami penuh curiga. Akhirnya ia menurut. Kami dituntun menuju kerajaan Batu Cermin.
***
Kerajaan Batu Cermin adalah sebuah kerajaan karang yang sangat besar. Alga dan terumbu karang warna warni menghiasi kerajaan itu. Tak ada daun pintu yang menutupinya. Kami dibawa ke dalam ruangan berkarang putih. Sebuah cangkang tiram raksasa terbuka. Dindingnya mengkilap perak kekuning-kuningan.
Pada cangkang itu, berselonjor seorang ratu berambut ular kecil berbisa. Rambutnya berdesis. Rambut itu, kadang menangkap ikan kecil yang lewat dengan lidahnya yang panjang. Sang ratu memakai gaun, bagian atas bersisik keperakan. Bagian bawah gaun, kumpulan sirip-sirip besar lembut berwarna merah muda transparan. Seperti melihat rok ubur-ubur yang tak tembus pandang. Tak ada mahkota yang menghiasinya. Hanya sebuah kalung mutiara hitam dan gelang mutiara kuning.
“Paduka Ratu, ada tamu dari kalangan manusia ingin bertemu denganmu.” Sang ikan menundukkan pandangan dan menanti jawaban.
“Apa! Manusia! bagaimana bisa mereka sampai di sini?”
Sang ratu membalikkan badan. Ia geram dan marah. Rambutnya berdesis dan tegang. Namun, saat menatap kami seksama, amarahnya mereda. Ia berenang mengelilingi kami.
“Mutiara hitam. Kalian pasti memakan mutiara hitam. Aku hanya pernah memberikan mutiara itu pada satu manusia dan satu kerdil sepertimu. Kalian mencuri ya?” Ia mendekatkan wajahnya. Beringsut mundur, rambut itu menakutiku.
“Kami tidak mencuri. Mutiara hitam yang kami makan adalah warisan. Kakekku Salengke dan ayahnya bernama Vido,” ujar Orbunis.
Ratu itu tersenyum. Ia memerintahkan pelayannya untuk menyiapkan segalanya sebagai pesta penyambutan kami berdua.
Ia memegang lengan Orbunis dan menuntun kami ke suatu gua. Kami masuk ke dalam sebuah gua yang tak berair. Ajaib! Kami kembali ke bentuk tubuh semula, tubuh manusia. Kami berjalan menuju ruang tengah. Sebuah meja panjang yang megah, penuh dengan makanan, dan berderet kursi emas disisinya.
“Selamat datang. Aku Ratu Mandalika. Penguasa kerajaan Batu Cermin. Duduklah dan makanlah hidangan ini sepuasnya.”