BAB II
Orbunis Orbunot
Gadis kecil itu, aku tak suka melihatnya. Ia sangat asyik menyantap kacang rebus sambil mengayun-ayunkan kakinya. Wajahnya tembam, kumal, dan rambutnya terkepang asal-asalan. Ah, gadis aneh!
Aku mengintainya dan bergerak cukup cepat–mencari persembunyian terbaik. Aku kurang hati-hati, suara langkahku terdengar seperti hewan yang bergerak dalam semak. Oh… sepertinya ia mulai menyadari keberadaanku.
Aku memutuskan untuk mundur dari batu hitam, bersembunyi dalam jarak 300 langkah. Cukup jauh untuk mengintai, namun gadis kecil itu masih jelas dalam pandanganku. Kulihat ia turun dari batu. Matanya mencari sesuatu. Ia memeriksa sekeliling batu. Sejenak ia berhenti. Ups… hampir saja aku terlihat.
Ia menatap lurus ke arahku. Apakah ia mencariku? Mudah-mudahan tidak!
Beberapa saat kemudian, ia pergi meninggalkan batu. Sepertinya terburu-buru. Ia lupa membawa sisa kacang rebus yang ditaruhnya di atas batu. Lumayan banyak sisa kacang itu. Kutunggu dalam hitungan jari. Sekadar memastikan bahwa gadis kecil itu tak akan kembali. Ia tak kembali dan aku lega.
Aku mendekati batu hitam. Sebenarnya aku masih kenyang namun aku tergoda untuk memakan kacang yang ditinggalkan gadis kecil itu. Aku duduk di samping batu. Kusantap kacang rebus sampai habis. Semilir angin pun datang. Menerpa wajahku dengan kesejukannya. Aku kenyang sekali hingga makanan terasa sampai kerongkongan. Dan saat kantuk menyergap, aku pun pasrah. Takkan ada yang melihatku. Gadis kecil tadi pun tak akan kembali.
***
“Siapa kau? Apakah kau manusia?”
Hah! sepertinya ada yang berbicara denganku, suaranya lembut, sedikit serak. Tubuhku tak dapat bergerak. Kubuka mataku. Oh, gadis kecil tadi mengikat lengan dan kakiku dengan akar pohon beringin. Keringat bercucuran dari keningku.
“Lepaskan aku!” kataku ketus.
Matanya bersinar. Ia cekikikan menatapku dan bergumam,
“Aha, dia bisa berbicara. Makhluk ini bisa berbicara sepertiku. Berarti kau juga manusia. Anggota tubuh kita sama, dua mata, dua telinga, dua kaki. Kau mendengar dan melihat. Aku juga. Kau pasti mengira aku pergi dari batu ini dan takkan kembali.”
“Gadis jelek, lepaskan aku!”
“Apa kau bilang! Gadis jelek? Kau jauh lebih jelek. Lihatlah dirimu.”
“Ka pasti anak nakal. Bagaimana bisa kau menemukanku?”
“Kau pasti penasaran.” Ia mendekatkan wajahnya padaku. Ditatapnya aku lekat-lekat. Kemudian ia tersenyum sambil menyentuh pipiku, telingaku dan mengacak-acak pelan rambutku.
“Kau tidak seperti manusia pada umumnya. Kau unik.”
Aku melongo. Dari suara dan caranya menyentuhku, mungkin ia gadis kecil yang baik hati, tapi aku tetap harus waspada.
“Bagaimana kau menemukanku?”
Gadis kecil itu mendelik, “Kau marah ya. Sabarlah, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
Ia memilih duduk di sampingku. Matanya kembali berbinar.
“Kau tahu, saat aku duduk disini, aku mendengar sesuatu. Kupikir itu hewan, tapi berbeda. Aku memutuskan untuk pergi. Aku tidak pergi begitu saja, aku pergi untuk menjebak suara itu dengan kacang rebusku. Aku bersembunyi di atas pohon Rarak itu.” Ia menunjukkan pohon Rarak yang berada di sebelah barat, hanya terlihat bagian atasnya saja. Kemudian ia kembali berkata,
“Aku bersyukur kau tidak menyadariku. Dan aku suka. Oh ya, saat pertama kali aku melihatmu, aku terkejut. Nyaris saja aku terjatuh.”
Mendengar ceritanya membuatku semakin kesal dan menyesal, sangat menyesal.
“Lepaskan aku.” Kataku lirih.
“Janji dulu. Kau tak akan lari. Hm… bagaimana kalau kita berkenalan terlebih dahulu.”
Ia menempelkan tangannya pada lenganku yang terjepit di belakang punggungku. Mencoba berjabat tangan dan menggoyangkannya.
“Namaku Orbulina Hanania. Panggil aku Orbulina, bukan gadis jelek. Kau harus ingat itu.”
Aku terkejut. Apakah ini kebetulan atau memang namaku adalah nama perempuan di kalangan manusia?
Ia menepuk pipiku dan menarik hidungku, “Siapa namamu makhluk bertelinga runcing?”
“Aou… Jangan tarik hidungku. Sakit!”
“Makanya, sebutkan namamu.”
“Orbulina.”
“Kau makhluk nakal. Jangan menggodaku. Kutarik lagi hidungmu.”
“Jangan! Aku tidak menggodamu. Namaku Orbulina. Orbulina Crux.”
Gadis itu terdiam. Ia mengaruk-garuk keningnya. Dahinya berkerut. Sekali-kali matanya menatapku tajam.
“Kata Kakek, hanya aku seorang yang bernama Orbulina di dunia ini. Bagaimana bisa namamu sama dengan namaku?”
“Aku tak tahu. Ayo, lepaskan aku!”
“Baiklah, tapi ada satu syarat. Akan kulepaskan jika kau berjanji akan memenuhi satu syarat ini. Atau akan kuseret dirimu ke dalam kampung.”
Gadis ini benar-benar nakal. Ia mengancamku. Apalagi yang ia harapkan dariku.
“Sebutkan syaratmu,” kataku ketus.
“Berjanjilah, bahwa kau harus mau menjadi teman mainku. Kalau perlu, setiap hari kau harus datang ke sini dan bermain denganku. Bagaimana?” Ia tajam menatapku.
Bangsa Floro tak pernah melanggar janji. Dan bagiku ini janji yang sangat berat. Tapi aku terjebat pada pilihan yang sulit. Menjadi temannya atau diseret ke dalam kampung Seloto. Oh… tidak!
“Baiklah. Aku terima syaratmu. Cepat lepaskan tali ini.”
Ia melepaskan tali yang mengikat lengan dan kakiku. Badanku pegal dan pergelangan lenganku merah, sedikit perih. Sekarang, kulihat ia sedang memikirkan sesuatu. Apalagi yang ia rencanakan. Aku pusing.
Aku memilih diam, cemberut menatapnya.
“Karena nama kita sama, aku memutuskan untuk membuat nama baru. Nama baru yang hanya berlaku untuk kita berdua.”
Aku masih diam, cemberut. Terserahlah.
“Bagaimana bila kupanggil kau, Orbunot dan kau memanggilku, Orbunis. Aku tak tahu arti Orbunot. Tetapi di lidahku, kata Orbunot sangat enak terucap. Itu cocok untukmu. Sedangkan Orbunis, artinya, Orbulina Manis. Hehehe… aku tidak cantik, tapi jika aku sedikit merapikan diri, aku pasti manis.”
Apa?!