BAB 4,
Pertemanan Membawa Bencana
Esoknya, dan esoknya lagi berlalu penuh kehangatan. Sudah sepuluh hari persahabatan ini berlangsung. Aku sangat menikmatinya. Kini, memasuki hari ke-11. Matahari hampir tenggelam. Orbunis tak kunjung datang. Aku memutuskan untuk pulang. Tak baik bila aku pulang kemalaman.
Hari ke-12, Orbunis tak kunjung pula datang. Aku berpikir, mungkin persahabatan kami hanya sampai di sini. Aku mencoba menepis sosok Orbunis dari hatiku. Mencoba kembali seperti dulu, mengintai dari balik batu hitam. Tapi hatiku tak tenang. Aku memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Batu hitam ini mengingatkanku pada Orbunis.
Aku memutuskan untuk pergi ke gua Mumber. Lama sekali aku tak ke sana. Biasanya silih berganti orang dewasa bangsa Floro mengintai gua Mumber. Sekadar memastikan tak ada manusia yang masuk dan berlama-lama di dalamnya. Kami khawatir, bila mereka terlalu lama di dalamnya, keberadaan kami akan tercium.
Beberapa jarak langkah dari gua Mumber, aku dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang tidak biasa. Aku lihat, Beko, keponakan kepala suku bangsa Floro sedang berbicara dengan seorang manusia dewasa. Manusia itu berkulit putih, wajahnya bengis, tubuhnya kekar, botak, dan mengenakan jubah merah. Di sampingnya tampak seekor kuda hitam. Sepertinya manusia itu marah padanya. Beko gugup, mencoba merayunya dan bersujud di hadapannya.
Apa yang sedang terjadi? Mengapa Beko takut pada manusia botak it?
Diam-diam, aku mencoba mendekat. Berjinjit, menyusup agar tak ada suara kaki. Berharap dapat mendengar percakapan mereka.
Walau sayup-sayup, perbincangan mereka terdengar jelas olehku.
***
“Kerja tak becus! Jika dalam waktu tujuh hari kau tak menemukan apa yang dimaksud pasir ajaib dalam peta ini, maka akan kupenggal kepalamu. Kalau perlu, akan kubumi-hanguskan perkampungan Seloto. Kau paham itu!” Bentak manusia botak kepada Beko.
“Ampun,Tuan. Sungguh, aku telah bertanya pada orang-orang di kampungku, tapi tak ada yang tahu. Nanti kucoba mencari waktu yang tepat untuk bertanya pada pamanku. Ia kepala suku, tahu banyak hal.”
“Tak ada waktu, kau harus bertanya padanya secepatnya. Ingat itu!”
“Baik,Tuan.”
“Jika sampai seseorang mendahului kita, maka nyawa kau yang menjadi taruhannya. Camkan itu baik-baik.”
Manusia itu berlalu, menaiki kuda, dan pergi menjauh. Walau manusia itu telah pergi, Beko linglung. Mondar mondir di tempat semula. Sekali-kali ia menggaruk kepala. Kemudian pergi.
***
Aku menarik napas panjang, duduk lunglai di persembunyianku. Ini lebih berbahaya daripada pertemananku dengan Orbunis. Apa yang hendak dilakukan Beko?
Hatiku gelisah. Pertemanan Beko dengan manusia botak itu akan membawa ancaman bagi kampungku. Yang aku tahu, saat ini Beko sedang mencari keberadaan pasir ajaib. Aku belum pernah mendengarnya, tapi ini berbahaya.
Aku harus melakukan sesuatu? Tetapi apa? Aku bingung.
Dalam gelisah aku memutuskan pulang. Berlari secepat mungkin ke terowongan 897. Sesampainya aku di terowongan, aku melihat Beko bercakap-cakap dengan Jeric, seorang anak perempuan bangsa Floro. Ia mengumpulkan bumbu masakan dan beberapa ikat sayur. Saat menaiki kereta, aku duduk lebih dulu. Aku gugup.
Oh… Beko memilih duduk di sampingku.
“Hey anak muda, ada apa denganmu?” Beko menepuk bahuku. Aku hanya menggeleng. Tubuhku tercekang.
“Kau pasti tak mendapatkan apa pun. Kempis.” Ia memegang tasku. Ringan, tak ada sesuatu di dalamnya kecuali alat-alat pengintai.
“ Hahahaha… siap-siaplah menerima omelan Ina-mu.” Beko menertawakanku dan kembali tidak memedulikanku.
Jeric duduk di hadapanku. Ia berbalik dan menatapku. Sudah saatnya kereta melaju.
Sesampainya di rumah, aku bersembunyi di balik bantal. Ingin melupakan apa yang telah dilihat tadi. Tapi tak mampu. Ina memanggil untuk makan malam. Tapi aku berpura-pura tidur.
“Apa yang harus aku lakukan? Apa itu pasir ajaib?” Kalimat ini berputar-putar dalam benakku.