BAB 6,
Perpustakaan Bawah Tanah
Saat membuka pintu rumah, kulihat Ina mondar-mandir di ruang tamu.
“Ke mana saja kau, Orbulina! Ina menunggumu.”
“Aku ke rumah Paman Saido, ada apa Ina? Kau terlihat panik.”
Ina menarik lenganku dan menggiringku ke kamarnya. Ina duduk di ranjang, membuka 2 kancing bajunya, dan terlihat kalung berliontin bentuk kunci. Aku baru melihat liontin itu. Ina melepaskan kalungnya dan mengenggam liontin itu dengan kuat.
“Ina keluar mencari tahu tentang Beko. Orang-orang bilang ia ditugaskan menjaga pintu gua Mumber oleh Ketua Suku. Entah apa alasannya, namun sepertinya Ketua Suku memiliki sebuah firasat buruk. Beko juga terlihat aneh. Ia juga menanyakan pasir ajaib kepada tetuah. Sayangnya, tak ada tetuah yang mengetahuinya, hanya Ketua Suku yang mengetahui tentang pasir itu. Kau benar Orbulina. Apa yang kau dengar, benar sekali anakku.”
Aku tertunduk dan bersandar ke dinding ranjang Ina.
“Hanya masalah waktu hingga ia menemukanku. Tapi untuk apa? aku tak tahu di mana harta itu.”
“Apa yang kau katakan Orbulina?”
“Paman Saido bilang, pasir ajaib itu adalah aku. Orbulina berarti pasir ajaib.”
“Kau salah paham. Kau salah paham anakku.”
Aku terdiam. Menatap Ina dalam-dalam.
“Apa yang Ina maksudkan?”
“Memang benar, arti namamu adalah nama pasir ajaib. Tapi kau bukan pasir itu. Ayahmu mengabadikannya dalam namamu. Anakku, sepertinya Ina harus jujur. Ayahmu selalu terbuka pada Ina. Ayahmu sangat mencintai Ina walau Ina tersiksa menyimpan segala rahasia tentangnya. Ia mewariskan kita sesuatu yang tak pernah Ina sampaikan padamu. Ina takut, kau akan pergi meninggalkan Ina, mengembara ke alam bebas.”
Aku mengeleng, “Apa yang sebenarnya terjadi Ina?”
“Takdirmu sama dengan ayahmu, diam-diam berteman dengan manusia.”
“Oh ya? Siapa manusia itu?”
“Teman ayahmu bernama Salengke. Ina tak bisa menjelaskan panjang lebar. Bantu Ina mengunci semua pintu dan jendela. Setelah itu, bantu Ina menggeser dipan ini ke sudut ruangan.”
Usai mengunci semua pintu dan jendela, aku masuk ke kamar Ina. Dan Ina bergegas mengunci kamarnya. Aku bingung melihat tingkah Ina. Aku membantunya menggeser dipan ke sudut ruangan. Tak ada apa pun di bawah tempat tidur Ina, hanya sebuah karpet usang yang menutupi lantai. Karpet yang sama dengan karpet yang menutupi lantai kamar tidurku.
Kali ini Ina menarik karpet usang tersebut dan terlihat sebuah tingkap. Apakah ini sebuah peti, lemari, atau mungkin… pintu ke sebuah ruangan rahasia? Aku terkesiap dan menatap Ina. Apakah ini rahasia yang dimaksudkan Ina.
“Orbulina, berjanjilah kepada Ina bahwa setelah Ina membuka pintu ini, kau tidak akan menyebarkan keberadaannya kepada siapa pun, termasuk sahabatmu si manusia itu, Orbu.. Orbu…”
“Orbunis.”
“Ya! Orbunis. Jangan beritahu dia.”
“Baiklah Ina.”
Ina membuka pintu tersebut menggunakan sebuah liontin yang selama ini tergantung manis di dada Ina. Saat pintu terbuka, kulihat sebuah tangga menuju ke arah bawah tanah. Gelap, sangat gelap sekali. Aku penasaran. Tak sabar ingin segera memasukinya.
Ina mengambil korek dan menyalakan sebuah dila jarak. Dila yang berfungsi sebagai lampu dan memakai bahan bakar minyak jarak. Perlahan-lahan sambil memegang dila jarak, Ina berjalan menuruni anak tangga.
“Orbulina, ikutlah bersama Ina, kau harus tahu warisan ayahmu,” kata Ina.
Aku mengikuti Ina. Setelah beberapa anak tangga, Ina menyalakan satu persatu dila yang terpajang di dinding ruangan. Demikian seterusnya. Tangga tersebut tidak terlalu panjang, ada dua belokan menuju ruangan bawah tanah.
Tangga berakhir pada sebuah ruangan dekil. Ada sebuah pintu kayu yang bertuliskan “Orbulina”.
Ini mengejutkanku. Sebuah pintu kayu berbentuk mirip gerbang penyambutan. Pintu itu tidak terkunci, Ina memutar pengait pintu dan mendorongnya.
Kini, pintu “Orbulina” terbuka. Dengan cahaya dila, aku melihat ruangan yang mirip dengan perpustakaan tua. Ada beberapa rak buku, benda-benda yang tak kukenal, beberapa peta yang terpampang di dinding dan di sudut ruangan, terdapat sebuah meja kerja. Apakah ini perpustakaan atau ruang kerja Ayah?
Aku takjub dan tersenyum. Ina memasuki ruangan lebih dalam, mencoba menyalakan beberapa dila jarak yang tersebar di dalam “Orbulina”. Sedangkan aku, masih terpaku di ambang pintu. Ini benar-benar luar biasa.
Ruang dengan aroma tanah, dihiasi sarang laba-laba di mana-mana. Perkamen-perkamen catatan Ayah membuat diriku terasa telah menemukan harta yang tak terhingga. Kulangkahkan kaki untuk memasuki gudang harta yang telah terpendam bertahun-tahun lamanya, sebuah gudang tumpukan ilmu pengetahuan yang dbukukan Ayah dalam perkamen-perkamennya.
Ayah… di ruang ini, sayup-sayup aku mencium aroma istimewa, mungkinkah ini aroma Ayah? Aku merasa Ayah hidup dan mengajakku untuk keluar ke penjuru dunia, belajar dan mencatat segala hal yang kami temui. Mencoba membedah bumi dengan cara kami, mencatat dan mencatat.
Dari catatan kecil, kami mencari segala yang tersembunyi di dalamnya dan mempelajarinya dengan baik.
Sambil melihat-lihat, Ina bercerita padaku,
“Sewaktu kau bayi, ayahmu selalu membawamu kemari. Ia berkata, ‘Lihat Orbulina! Ayah menyediakan segalanya untuk kau pelajari. Ini ruangmu dan semua ini milikmu!’ Ayahmu sangat mencintaimu walau Ina takut dengan semua ini.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Oh.. di sudut kiri ruangan ini, tercatat rak dengan ukiran nama “laut”. Aku yakin, disini tercatat sejuta tatapan ayah tentang laut. Aku hanya pernah melihat laut dari balik lukisan Ayah di kamar. Kutarik sebuah gulungan di rak laut. Usang dan penuh debu. Jelas terbaca. Sungguh, tulisan ini mengingatkan aku pada sesuatu, ada sebuah gairah petualangan dari sebuah genggaman, Ayah….
Ayah menulis betapa bahagianya ia dapat melihat laut. Merasakan untuk pertama kali menyentuh air laut dengan jemarinya. Merasakan deburan ombak yang mengelitik jemari kakinya. Ia benar-benar bahagia.
Kebahagiaan Ayah yang tak terperihkan ketika tangannya menggenggam butir-butir pasir yang menyerupai lada, berwarna kuning keabu-abuan. Ini bukan pasir biasa. Ini pasir dari sebuah prasasti kehidupan purba. Aku membaca, ketika Ayah menggenggam pasir tersebut, ia berteriak tiada putus, teriakan untuk satu kata, ORBULINAAAAAA!
“Ina, apakah pasir Orbulina berwarna kuning keabu-abuan?”
“Tidak. Kau pasti membaca perkamen yang berisi teriakan ayahmu. Itu pantai Tanjung An. Di dalam lautan Tanjung An-lah Orbulina tersimpan dengan penuh penjagaan ketat.”
Aku tergelak menelan ludah. Di dalam laut?
“Aku tak tahu detail. Itu yang kutahu dari ayahmu. Ini warisan ayahmu. Perpustakaan dan peti kecil ini.”
Ina menyodorkan sebuah peti yang terbuat dari kayu Kelicung, kayu dengan corak lurik alami dan kuat. Kami membawa peti itu ke sudut ruangan dan menaruhnya di atas meja. Lagi-lagi Ina membuka peti itu dengan liontinnya.
Di dalam peti terdapat lukisan. Kata Ina, lukisan itu adalah lukisan Ayah dan Salengke. Selain lukisan terdapat 2 butir mutiara berwarna hitam, beberapa koin emas, kalung permata, sebuah peta, dan perkamen yang berisi catatan kecil tentang ramuan, peristiwa, dan Petunjuk!
Usai melihat isi peti, kutatapi lukisan Ayah bersama temannya. Aku terkejut. Di leher Salengke, ada gambar sebuah kalung yang mirip dengan kalung milik Orbunis. Oh tidak!