BAB 8,
Satu Koin Emas
Aku bersembunyi dan bersandar di balik batu hitam. Gelisah, bingung, dan berharap Orbunis datang. Peluangku tipis. Tapi apa salahnya bila menunggu?
Matahari semakin tinggi. Belum ada tanda-tanda kedatangan Orbunis. Bersabar menunggu, makan sedikit demi sedikit irisan daging rusa panggang. Sungguh, menanti terasa menyesakkan dada.
Saat hari hendak sore, sebuah suara terdengar keras, “Orbunot!”
Aku melongok, melambaikan tangan dan tersenyum. ya, itu dia! Lagi-lagi, ia menghambur memelukku.
“Kenapa kemarin kau tak datang? Aku menunggumu. Benar-benar menyebalkan menunggumu di hutan ini.” Ia mengomel dan menarik hidungku.
“Augh, sakit! Jangan tarik hidungku. Harusnya aku yang marah. Dua hari yang menyebalkan dan satu hari penuh masalah. Dan kemarin, aku memutuskan untuk tidak ke sini.”
“Ya… ya… tiga hari yang lalu aku tak datang. Ada masalah di Seloto.”
“Apa yang terjadi di Seloto?”
Orbunis melirik semua penjuru, memastikan tak ada satu pun manusia yang melihat atau mendengar.
“Sebaiknya kita mencari tempat yang lebih aman. Bagaimana bila kita duduk, bercerita di balik pohon asam itu?” Ia menunjuk sebuah pohon asam besar, tepat berada di hadapan kami. Jaraknya kurang lebih 150 langkah kakiku.
Kami duduk bersandar di pohon asam.
“Orbunot, Seloto dalam masalah. Eya-ku melarang kami keluar rumah, tapi aku jenuh, jenuh sekali! Aku mencuri kesempatan untuk bertemu denganmu.”
“Apa yang terjadi?”
“Ada pasukan menyerbu Seloto, mereka mencari sesuatu. Sebelumnya pemimpin mereka datang seorang diri. Hm.. namanya Foxo. Ia berkulit putih, botak, dan bengis. Aku melihatnya dari balik jendela rumah panggung Eya. Kabarnya ia mencari harta karun. Ya, aku menguping pembicaraan Eya dan teman-temannya.”
Aku tertunduk, dingin menyergap seluruh tubuh. Ternyata manusia botak itu bernama Foxo.
“Kau tahu Orbunot, sulit dipercaya. Itu mustahil. Hanya orang gila yang menyimpan harta di desa bertetangga hutan. Aneh.. manusia luar berkata ada harta karun, sedangkan kami, tak punya satu pun cerita tentang harta itu.”
“Bagaimana bila cerita dan harta itu benar-benar ada?”
Orbunis terkekeh-kekeh.
“Bila benar-benar ada, mungkin sudah dicuri olehmu dan teman-temanmu. Orbunot, bangsamu tidak akan menyia-yiakan kesempatan itu. Ayam bakar saja kalian embat, apalagi harta karun.”
“Orbunis, harta itu benar-benar ada.” Kataku sungguh-sungguh.
Ia menatapku dan nyengir.
“Kau sama anehnya dengan Foxo. Mustahil.”
“Apakah kakekmu bernama Salengke?”
Orbunis terkejut, “Dari mana kau tahu? Kau pasti ke Seloto dan mencari tahu.”
Aku mengeluarkan gulungan perkamen dan lukisan. Kubuka gulungan lukisan,
“Ini ayahku dan ini kakekmu.”
Orbunis terbelalak. Ia membekap mulut dengan telapak tangannya. Naik turun tatapannya ke arahku dan ke arah lukisan. Ia masih diam. Kubuka gulungan perkamen yang satu, dan kutunjukkan padanya,
“Dan ini peta harta karun. Ayahku dan kakekmu pernah ke lokasi harta itu. Aku mendapatkan semua ini kemarin, di perpustakaan Ayah. Awalnya aku terkejut. Sama sepertimu. Tapi saat kulihat kalung pada gambar ini, aku tahu ini kalungmu. Mirip sekali.“ Aku menunjukkan gambar kalung yang tergantung manis di leher Salengke.
“Foxo mencari harta itu. Ia butuh seseorang dari bangsaku. Ia mendapatkannya. Namanya Beko, keponakan Ketua Suku. Saat ini Foxo mencari pasir ajaib dan tongkat, kunci pembuka pintu harta. Aku sudah membaca petunjuknya. Parahnya, Foxo rela melakukan segala cara. Ia berencana menghancurkan kampungku bila lokasi pasir ajaib tidak ditemukan. Kau tahu, nama pasir itu Orbulina, ia tersimpan di lautan Tanjung An.”
Orbunis mengeleng. Ia berdiri. Mondar-mandir. Sekali-kali mengerlingkan mata padaku,
“Oh tidak! Sulit dipercaya, tapi semua ini nyata. Seperti sebuah kebetulan saja. Ini masalah. Sekarang apa yang harus kita lakukan Orbunot?”
“Aku tak tahu Orbunis. Hari ini aku menunggumu. Aku berharap kau bisa memecahkan masalah ini.”
Orbunis memekik,
“Apa! Kau pikir aku cukup cerdas untuk memecahkan masalah ini? Kau gila. Tidak!”
“Psst… jangan berteriak!”
Aku mengulung peta dan gambar. Memasukkannya dalam tas. Aku bersandar layu, sedih.
“Apa yang terjadi bila kita diam? Atau memberitahu keberadaan harta dan petunjuk ini pada Foxo?”
Aku terkejut, geram.
“Kau gila Orbunis. Aku tak kan pernah memberitahu keberadaan peta dan petunjuk ini pada manusia rakus itu! Semua akan hancur. Seloto pun akan hancur. Kau perlu tahu, di dalam harta karun itu tersimpan kalung petaka. Kalung itu akan membuat pemakainya menjadi abadi dan memiliki kekuatan untuk menghancurkan dunia. Setidaknya itu yang kudapat dari catatan kecil Ayah.”
“Berarti kita tidak bisa tinggal diam.” Orbunis bergidik, mengesek-gesek lengannya.
Tiba-tiba, aku menemukan sebuah solusi. Tapi berat. Hanya ini yang terpikirkan. Bersamaan dengan Orbunis, kami mengucapkan kata yang sama,
“KITA HARUS MENDAPATKANNYA LEBIH DULU.”
“Pemikiran kita sama. Tak ada cara lain. Kita harus mendului Foxo. Aku ikut denganmu. Apa lagi petunjuk yang kau miliki Orbunot?”
Aku tersenyum kecil. Walau terkesan sulit, setidaknya ada yang mendukung dan siap berpetualang bersama. Aku pun menjelaskan apa yang telah kudapat di perpustakaan.
Orbunis mencecarku dengan puluhan pertanyaan. Ia meminta agar diceritakan tentang dongeng harta karun. Ia juga meminta agar diperlihatkan perkamen yang berisi catatan kecil ramuan, peristiwa, dan petunjuk. Ia mempelajarinya dengan seksama.
“Kita harus berangkat besok. Aku yang akan mengurus perbekalan. Tapi bisakah kau membantuku?”
“Apa! Besok? Aku harus minta izin pada Ina. Aku tak yakin bisa membantumu.”
“Ina-mu pasti mengizinkan. Ini darurat. Aku minta kau mencuri sejumlah barang yang tak dapat kutemui di rumah Eya-ku.”
“Kau gila Orbunis. Bagaimana bila kuberi kau sebuah koin emas? Kau bisa membeli sejumlah barang dengan koin itu.”
Orbunis tersenyum, “Oh ya? Itu bagus Orbunot. Satu koin sudah lebih dari cukup. Aku bisa membeli semuanya. Kita bertemu di sini saat fajar. Kita berangkat pagi-pagi sekali. Bersiap-siaplah, karena aku akan membawa kuda. Perjalanan kita cukup jauh. Tak mungkin bila jalan kaki atau menunggangi keledai.”
Aku mengangguk setuju.
“Apa kau punya rencana lain?” tanya Orbunis.
“Tidak. Aku tak punya rencana. Kita ikuti petunjuk dalam catatan itu. “
“Benar. Aku juga tak punya rencana. Hanya mempersiapkan bekal dan ikuti petunjuk.”
Hari semakin sore. Orbunis menatap langit. Apa yang dipikirnya. Kami diam sejenak dan memutuskan untuk pulang.
***
Sampai di rumah, aku menceritakan segalanya pada Ina. Walau berat dan harus berlinang air mata, Ina mengizinkan dan menyiapkan beberapa bekal untukku.
“Esok, bawalah kalung ini. Ina ingin kau membawanya.”
Ina mengulurkan sebuah kalung berliontin kunci “Orbulina”. Aku menatap Ina lekat-lekat. Entah apa yang terjadi, tapi rindu ini telah menyusup. Kupeluk Ina erat-erat.
“Ina, jaga dirimu baik-baik,” bisikku.
Air mata Ina jatuh, hangat.