SELOTO, Bab 9. Tiu Kiantar

BAB 9,

Tiu Kiantar

 Fajar mulai mengintip. Aku menanti di balik batu. Sesaat kemudian Orbunis datang dengan seekor kuda kuning. Tidak terlalu besar, namun terlihat kuat untuk menempuh perjalanan jauh. Orbunis memakaikan pelana pada kuda itu. Dan terdapat dua kantong besar, mengantung di sisi kuda. Sedangkan Orbunis, memakai tas di punggungnya. Tas itu berukuran sangat besar tapi terlihat kosong, kempis.

“Orbunot, bagaimana? Kau siap? Lihat, aku membawa beberapa barang untuk bekal kita. Semalam kupersiapkan dengan rapi. Kebetulan Eya tak ada di rumah. Ia pergi ke desa Lampok mengunjungi keluarga yang sakit. Dan tas ini, kupersiapkan untukmu.” Ia melepaskan tas dan memberikannya padaku.

“Ini besar sekali. Aku punya tas yang dapat menampung semua bekalku.”

“Kau salah. Ini tempat persembunyianmu. Bila nanti kita melewati kerumunan manusia, kau harus masuk ke dalam tas ini. Kulubangi kedua sudut bawah tas agar kau mudah mengeluarkan kakimu. Tapi ingat, kau boleh mengeluarkannya bila kondisi sepi. Aku tak akan menyiksa teman terbaikku dengan membiarkannya menekuk kaki sepanjang perjalanan. Sekarang, masuklah ke dalam tas. Masukan dirimu seperti kau memakai baju. Keluarkan kakimu. Aku tak akan mengendongmu menaiki kuda.”

Sementara aku memasukkan badan ke dalam tas, Orbunis meminta peta itu.

“Tujuan pertama kita ke pulau Pippery. Tanjung An ada di sana. Berarti kita harus menyeberang. Ah… perjalanan yang panjang. Mudah-mudahan kita mendapat tumpangan perahu di Tiu Kiantar. Cepatlah, mungkin perjalanan kita akan memakan waktu sehari penuh. Kuharap kita bisa menyeberang sore ini.”

Orbunis mengulung peta dan menyodorkannya padaku. Ia menaiki kuda terlebih dahulu. Dari atas kuda ia tertawa terbahak-bahak.

“Kau seperti manusia tas.”

Dengan wajah cemberut, aku menaiki kuda dengan bantuan tarikan tangan Orbunis. Kuda bergoyang-goyang. kupeluk tubuh Orbunis dari belakang. Ia mencari dua tali tas untuk diselempangkan di kedua bahunya. Tali itu berada di bagian depan dadaku. Orbunis membolehkan aku mengeluarkan kaki. Menurutnya, pagi ini cukup sepi. Aku juga dapat menongolkan kepala untuk memandang sekeliling.

“Bersiaplah Orbunot. Pertualangan akan dimulai. Hiah…!”

Orbunis mengibaskan tali pelana. Seketika kuda berlari kencang. Sambil memejamkan mata, kupeluk Orbunis dengan erat. Angin mengibas wajah. Pantatku belum terbiasa dengan goncangan di atas pelana. Kakiku bergoyang memukul pelan perut kuda. Beberapa saat kemudian, mulai terbiasa. Saat kubuka mata….

Wow… pohon-pohon seperti berlari. Perlahan-lahan mentari mulai memperlihatkan wajahnya.

“Srak… srak…”

Langkah kuda menyerak bebatuan, mengiringi suara burung Pipit dari balik-balik kanopi. Monyet-monyet gunung pun berlari. Dan wangi daun, menerobos masuk ke relung hidung, tembus sampai ke hati.

Kami sampai di danau Lebo. Orbunis menghentikan langkah kuda sejenak. Membiarkan kuda memakan rumput dan minum di pinggir danau. Kami menikmati pemandangan sang fajar yang sudah menyingsing. Sinarnya membilas lembut di permukaan danau, berkelap-kelip. Teratai putih, mekar memenuhi sebagian danau,  menyambut kami tegak berseri. Kami tersenyum lalu kembali melanjutkan perjalanan. Orbunis menarik tali pelana. Kuda berlari lebih kencang di sisi Lebo. Aku sangat menikmatinya, kami seperti berlari di atas air.

Sebentar lagi kami akan sampai di desa Seteluk. Aku diminta bersiap menekuk kaki, bersembunyi di dalam tas. Orbunis tak pernah ke sana. Ia hanya mengikuti petunjuk peta.

Seteluk, desa yang cukup ramai. Setidaknya ini yang dapat kulihat dari lubang kecil pada tas. Rakyatnya berseliweran, ada yang menjajakan barang hasil anyaman bambu dan bahan makanan.  Ada yang sedang asyik mengobrol di pinggir jalan. Ada pula yang sibuk mondar-mandir membawa cangkul dan parang. Mungkin mereka hendak pergi berkebun, pikirku. Orbunis tak perduli. Ia terus memacu kuda.

Seteluk berlalu. Hari mulai siang. Tapi Orbunis tak juga berhenti, hanya sesaat untuk membiarkan kuda kami makan rumput.

“Bisakah kita istirahat?” ujarku pada Orbunis.

“Nanti, saat kita sampai di bukit Mantar,” sahutnya.

Di hadapan kami, terpampang bukit yang curam. Kami menanjak. Kadang kami harus turun dari kuda. Bagiku, tak masalah untuk menanjak. Bangsa Floro terbiasa berjalan cepat di jalan menanjak. Tapi Orbunis terlihat payah. Ia tak terbiasa. Napasnya tersengal-sengal.

Saat mencapai puncak, kami di sambut oleh pemandangan yang istimewa. Padang sabana membentang luas. Nun jauh dalam pandangan, sebuah lautan biru membentang dan gunung kebiruan menjulang tinggi. Hatiku berdesir. Ini pertama kali aku melihat laut.

“Keren ya Orbunot. Kita akan istirahat di sini sambil menikmati pemandangan indah ini. Mungkin gunung itu adalah pulau Pippery.” Orbunis menunjuk sebuah gunung tinggi, kebiru-biruan.

Kami membuka bekal masing-masing yang terbungkus di dalam kantung yang terbuat dari pandan gunung. Di kantung tersebut, nasi tidak akan basi walau seharian. Orbunis memandang bekalku. Ia terheran melihat lauk berwarna coklat seperti daging suwir tapi bukan. Lebih kaku dan robekannya besar.

“Apa itu?”

“Mau?” tawarku.

Ia mengambilnya, mengunyah dan berhenti sesaat. “Sedikit berserat tapi enak. Ini daging apa?”

“Itu bukan daging, tapi jambu mente. Kami terbiasa mengawetkan makanan. Jambu disuwir-suwir, diremas sekuat tenaga dan dijemur, kemudian dimasak pedas dan kering. Seperti abon.”

“Ooo… hebat juga. Pasti kalian sangat kreatif untuk urusan makanan. Aku mengerti, tidak mudah mendapat bahan makanan di dalam tanah. Hey… jangan makan banyak-banyak. Kau masih juga rakus. Secukupnya saja. Perjalanan kita masih jauh.”

Mendengar kata-katanya membuat nafsu makanku hilang, tapi ia benar.

Sesaat kemudian, kami melanjutkan perjalanan, menerjang padang sabana. Angin sangat kuat, sedikit berdebu, dan panas. Orbunis menutup mulut dan hidungnya dengan sapu’, kain pengikat kepala. Sedangkan aku, masih larut menikmati pemandangan. Semua ini baru dan tampak istimewa. Rumput, ilalang yang diselingi semak kering, hanya beberapa pohon bidara, dan pohon asam dengan jarak yang berjauhan. Dominasi kuning, hanya daun pohon saja yang tampak sedikit hijau.

Hari hampir menjelang sore saat kami sampai di Tiu Kiantar, sebuah dermaga dengan beberapa perahu besar dan kecil. Kami mencari perahu yang setidaknya layak ditumpangi untuk kami semata.

“Aku tak ingin berada bersama manusia lain!” bisikku pada Orbunis.

“Iya, aku tahu. Satu koin emas mungkin cukup membuat salah satu perahu itu mengangkut kita. Aku lagi mencari yang pantas. Diamlah.”

Kami mencari perahu. Dari lubang tas aku melihat beberapa orang memerhatikan kami. Mungkin karena Orbunis berkuda seorang diri. Orbunis masih mencari. Entah apa yang dimaksud “pantas” olehnya.

Kuda melaju cepat. Orbunis mendekati perahu paling ujung. Perahu itu tidak terlalu besar, tapi masih terlihat kuat dan dapat menampung seekor kuda. Kayunya tampak kokoh dan terdapat atap di bangku penumpang. Dari atas kuda, Orbunis bernegosiasi dengan seorang lelaki tua, pemilik perahu. Sepertinya lelaki itu orang yang baik. Ia membalas setiap pertanyaan Orbunis dengan santun.

“Baiklah Pak Tua, aku akan turun. Sepertinya kita sepakat.”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar