Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, hiduplah sekelompok anak-anak yang penuh semangat. Mereka adalah pilar-pilar keceriaan dalam desa yang damai itu, sering kali terlihat berlarian di sekitar jalan berdebu dengan senyum yang menghiasi wajah mereka. Namun, takdir telah menyiapkan ujian bagi mereka yang tak terduga.
Hari itu, langit tiba-tiba menjadi gelap dan angin kencang mulai menderu. Salah satu anak, Mia, berdiri di depan pintu rumahnya, melihat kegelapan yang datang dengan gemetar. “Apa yang terjadi, Mia?” tanya salah satu temannya, Riko, yang datang berlari mendekat.
“Badai, Riko. Ini badai besar,” jawab Mia dengan nada khawatir.
Mereka bergegas masuk ke rumah Mia, bergandengan tangan sambil berharap badai akan segera berlalu. Namun, angin semakin menjadi-jadi, dan hujan deras mulai mengguyur desa. Tetesan air hujan berdentum keras di atap, seperti serangan peluru yang tak berkesudahan. Cahaya petir membelah langit, menerangi kegelapan dengan kilatan yang menakutkan. Ketika badai mencapai puncaknya, mereka bisa mendengar suara dinding-dinding rumah yang runtuh di sekitar mereka, dentuman keras yang membuyarkan ketenangan malam.
“Kita harus bertahan!” seru Mia di tengah gemuruh badai, mencoba membuat dirinya terdengar melebihi suara angin yang mengaum.
Riko menatapnya dengan penuh tekad, tetapi dalam hatinya, kekhawatirannya tak terbendung. “Bagaimana jika rumah ini roboh?” desisnya pelan.
Namun, mereka berpegangan erat satu sama lain, mencoba mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka. Mereka tahu, hanya dengan bersatu, mereka memiliki peluang untuk bertahan.
Di dalam rumah yang berguncangan itu, mereka berdoa dengan keras, memohon perlindungan bagi mereka dan seluruh desa. Meskipun takut, mereka menemukan kekuatan dalam keyakinan mereka bahwa badai akan mereda dan mereka akan selamat.
Waktu terasa lambat, setiap detik terasa seperti abad yang panjang. Namun, akhirnya, angin mulai mereda, hujan berhenti, dan petir-petir menjauh. Mereka keluar dari rumah dengan hati yang lega, melihat pemandangan kehancuran yang tersapu badai.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Mia. Kita harus bersembunyi di sini sampai badai reda,” kata Riko dengan suara bergetar.
Mia mengangguk, mencoba menahan ketakutannya. Namun, di balik ketakutan itu, ada api semangat yang membara. “Tidak, Riko. Kita harus melakukan sesuatu. Kita tidak bisa hanya duduk diam di sini sementara desa kita hancur.”
Mereka bertukar pandang, mata mereka memancarkan tekad yang sama. Mereka tahu mereka harus bertindak.
Setelah badai mereda, mereka keluar dari persembunyian mereka dan terkejut melihat kehancuran yang melanda desa mereka. Rumah-rumah hancur, pohon-pohon tumbang, tanaman layu, dan banyak orang kehilangan tempat tinggal mereka.
“Tidak boleh kita biarkan desa kita seperti ini,” ujar Mia, suaranya penuh dengan tekad.
“Kita harus berbuat sesuatu,” tambah Riko, setuju dengan Mia.
Mereka mulai bergerak, mengajak anak-anak lainnya bergabung dengan mereka. Meskipun mereka hanya anak-anak, semangat mereka tidak pernah padam.
“Mari kita bersatu dan memulihkan desa kita!” seru Mia, suaranya bergema di tengah keheningan desa yang hancur.
Anak-anak lain, yang bernama Maya, Budi, dan Raihan, sangat terpukul melihat kondisi desa mereka yang hancur lebur. Mereka bertanya-tanya, “Bagaimana kita bisa membantu teman-teman dan tetangga kita yang kehilangan segalanya?”
Tanpa ragu, mereka pun memutuskan untuk mengumpulkan sumbangan untuk membantu korban bencana alam. Mereka mulai berkumpul di bawah pohon besar di tengah desa, membentuk rencana mereka.
“Kita bisa membuat kotak sumbangan dan meletakkannya di pasar desa,” kata Maya dengan semangat.
“Ide bagus!” seru Budi. “Kita bisa meminta setiap orang yang lewat untuk menyumbang makanan, pakaian, atau uang untuk membantu mereka yang membutuhkan.”
“Dan kita bisa membuat spanduk besar yang mengatakan, ‘Mari Kita Berbagi Untuk Membantu Tetangga Kita yang Terkena Bencana!’ dan menempelkannya di sekitar desa,” tambah Raihan.
Tanpa membuang waktu, mereka mulai bekerja. Maya, Budi, dan Raihan membuat kotak sumbangan dari kardus bekas dan menghiasnya dengan warna-warni. Mereka juga membuat spanduk besar dengan tinta yang cerah dan menuliskan pesan mereka dengan jelas.
Setelah semuanya selesai, mereka mulai memasang kotak sumbangan di pasar desa. Mereka tersenyum lebar saat melihat orang-orang meletakkan makanan, pakaian, dan uang ke dalam kotak.
“Terima kasih atas sumbangannya!” kata mereka kepada setiap orang yang memberikan sumbangan.
Selama beberapa hari, anak-anak itu bekerja keras untuk mengumpulkan sumbangan. Mereka bahkan membuat panggung kecil di pasar desa untuk menghibur orang-orang dengan tarian dan lagu-lagu mereka sebagai bentuk rasa terima kasih.
Akhirnya, ketika mereka menutup kotak sumbangan, mereka merasa bangga. Mereka telah berhasil mengumpulkan banyak sumbangan untuk membantu korban bencana alam di desa mereka.
Dengan hati yang hangat, Maya, Budi, dan Raihan menyerahkan sumbangan itu kepada kepala desa. Kepala desa tersenyum lebar melihat semangat dan kerja keras anak-anak itu.
“Kalian telah melakukan pekerjaan yang luar biasa,” katanya. “Sumbangan kalian akan sangat membantu teman-teman dan tetangga kita yang sedang mengalami kesulitan. Kalian adalah teladan bagi kita semua.”
Dan begitulah, dengan semangat dan kerja keras, anak-anak desa kecil itu mulai membangun kembali apa yang telah dirusak oleh badai. Meskipun tanggung jawab itu besar, mereka tidak pernah kehilangan semangat. Dalam proses itu, mereka belajar tentang kekuatan persatuan, keberanian, dan tekad yang tak tergoyahkan. Dan akhirnya, desa mereka bangkit kembali, lebih kuat dari sebelumnya, berkat kerja keras anak-anak yang penuh semangat itu.
Anak-anak itu tersenyum bahagia, tahu bahwa mereka telah membuat perbedaan di desa mereka. Meskipun badai telah merusak banyak hal, tetapi kebaikan dan kepedulian mereka telah mampu mencerahkan hati banyak orang. Dengan semangat dan kerja sama, mereka menyadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin ketika kita bekerja bersama-sama untuk membantu orang lain.
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”