Senyum Zerpima

“Hah! dua jam lagi mereka sampai,” tak sengaja aku mendengar percakapan mama dan mak Ijah di dapur. ”Sebal, sebal!” gerutuku sendiri. Om Fadli dan keluarganya akan datang ke rumah. Alin dan Elen sepupu kembarku itu pasti bikin kacau lagi.

“Zerpima!” mama memanggilku dari ruang tengah.

“Alin dan Elen, sebentar lagi sampai. Mereka akan berkunjung ke sini,” mama begitu senang mengabarkan berita itu kepadaku.

Terus aku harus bilang wow, ucapku dalam hati. Aku menirukan gaya iklan di televisi. Pokoknya aku tak suka dengan kehadiran mereka. Keduanya selalu membuat keributan. Seperti mengambil mainanku. Ujung-ujungnya mama selalu membela mereka alasannya karena umurku lebih tua setahun dari Alin dan Elen.

“Ya, Ma, sudah tahu,” jawabku pelan. Pipiku yang gembul tambah membulat karena cemberut. Memainkan  ujung baju juga menjadi kebiasaan burukku jika sedang tak menyukai sesuatu. Mama tersenyum. Mungkin mama tahu kalau aku sedang kesal.

Enam bulan yang lalu mereka juga berkunjung ke rumahku. Boneka beruangku kotor  karena ulah mereka. Ipadku juga rusak. Alin dan Elen rebutan lalu ipadku terbanting ke lantai. Belum lagi keduanya usil sering memanggilku dengan panggilan Im. Panggil aku Zerpima jangan disingkat. Aku tidak suka.

Tidak lama kemudian, boneka, congklak, ular tangga, bola bekel, dan semua mainan yang kupunya kusimpan di dalam kardus. Dengan susah payah kuletakkan ke gudang belakang. Mereka tak akan bisa mengambilnya, pikirku.

Teng…tong…teng…tong. Bel berbunyi. Mak Ijah tergopoh-gopoh membuka pintu. Mereka telah datang. Alin dan Elen sudah melihatku. Tak ada waktu untuk bersembunyi. Keduanya segera menghambur ke arahku. ”Huh.. mereka mulai beraksi!” omelku sendiri.

“Kak Zerpima, kami datang,” ujar mereka hampir bersamaan. Mereka sangat gembira bertemu denganku. Dua sepupu kembarku itu membawakan makanan kesukaanku. Ya, pempek ciri khas makanan dari kota mereka. Tunggu! Tunggu! Apa aku tidak salah dengar? Benarkah mereka memanggilku Zerpima bukan Im?

“Kak Zerpima, main yuk!”ajak Alin.

“Ayolah, Kak,” bujuk Elen.

“Gak ah, aku tak punya mainan. Lihat ke sana! Gak ada kan?” jawabku seraya menunjuk pojok ruangan tempat biasanya aku bermain.

“Tenang kak! Kami bawa mainan yang banyak. Ada satu kardus di dalam mobil Papa,” jawab Alin semangat.

“Ya, Kak. Biar kita bisa puas bermain dan tak akan rebutan lagi,” Elen yang agak pendiam menimpali.

Aku terdiam. Enam bulan tak bertemu sepupuku, mereka cepat sekali berubah. Mereka tak seperti yang aku duga sebelumnya. Keduanya terlihat sangat baik. Maafkan aku yang telah berburuk sangka pada kalian, ya, ucapku dalam hati.

”Alin, Elen,” panggilku tak bisa menutupi kegembiraan. Aku pun memeluk mereka. Kedua sepupuku itu terlihat senang sekali.

Terbit di Majalah Bobo No.33

Bulan 11 tahun 2014

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar