Nana ikut tertawa-tawa melihat aksi Aki Lengser dan Ambu Lengser di pernikahan tantenya. Mereka begitu kocak dan lincah walau terlihat tua. Aki Lengser memakai baju hitam dan tas dari anyaman bambu. Jari-jari tangannya penuh dengan cincin batu berwarna warni dengan ukuran besar. Memakai bendo di kepala menutupi rambutnya yang putih. Wajahnya juga putih ditutupi bedak dengan keriput-keriput yang besar. Yang paling kocak, dia suka tertawa memamerkan gigi-giginya yang hitam.
Begitupun Ambu Lengser, dia lebih kocak lagi. Memakai kebaya yang kekecilan, sendal jepit, dan gelung yang ternyata bisa terlepas, giginya pun hitam. Nana tertawa keras melihat gelung ambu lengser terlepas karena kepala ambu bergoyang-goyang dengan lincah mengikuti irama musik gamelan. Kedua lengser itu berlari-lari kesana kemari dengan lucunya sambil memamerkan gigi-gigi mereka yang hitam. Adik Nana yang masih dalam gendongan ketakutan melihat senyum keduanya, di tengah derai tawa tamu undangan hanya dia yang menangis.
Kata Ibu, kedua lengser itu hendak menyambut calon pengantin lelaki yang baru datang. Dalam budaya Sunda, acara itu disebut “Mapag Panganten”. Mapag artinya menjemput, dan panganten artinya pengantin. Selain lengser, ada juga penari-penari lain yang lebih luwes dan anggun, juga ksatria yang menari dengan gagah. Mereka memakai mahkota seperti di kerajaan.
Dalam acara pernikahan, lengserlah yang paling disuka. Dulu dia pun pernah takut, sekarang tidak lagi semenjak mengetahui mereka sebenarnya aktor yang didandani menjadi kakek nenek. Tingkah mereka sebagai lengser benar-benar lucu. Diam-diam, suatu saat Nana ingin menjadi Aki Lengser.
Setelah upacara “Mapag Panganten” selesai, para tamu pun dipersilakan menyalami penganten dan menikmati suguhan yang telah disediakan. Ketika semua orang sedang sibuk, Nana masuk ke kamarnya mengambil spidol hitam lalu menghitami semua gigi depannya, atas dan bawah. Dia menyeringai di depan cermin sembari merasa geli sendiri. Orang yang dituju pertama kali ialah ibunya.
Nampak Ibu sedang sibuk menenangkan adiknya yang masih menangis, sehingga ia mengurungkan niatnya. Nanapun mencari ayahnya. Ayah sedang mengobrol bersama tamu lelaki yang lain. Setelah dekat, Nana langsung menyeringai kepada mereka. Tentu saja Ayah sangat terkejut melihat gigi anaknya hitam semua, teman-teman ayah pun ikut tercengang. Nana kemudian menirukan gerakan lengser yang sedang berjoged kepada mereka. Kontan semuanya tertawa melihat kelakuan Nana.
“Kau hitamkan pakai apa gigimu?” tanya Ayah sambil mengacak-acak rambut anak lelakinya itu.
“Spidol hitam, Yah!” seru Nana polos. Dia senang telah berhasil membuat ayah dan teman-temannya tertawa.
“Tunjukkan pada ibumu, mungkin dia juga akan tertawa. Setelah itu langsung cuci gigimu, ya. Kita makan sama-sama,” ujar Ayah yang masih merasa geli.
Nana berpikir sejenak, mungkin kali ini adiknya sudah tenang, pikirnya sambil berjalan menuju ibunya. Benarlah, adiknya sudah bermain-main. Nampak Ibu sedang duduk-duduk sendiri melepas lelah. Tanpa berpikir panjang, Nana segera berlari menuju Ibu kemudian menari-nari seperti aki lengser yang tadi dilihatnya. Ibu tersenyum melihat ulah anak pertamanya itu, namun seketika berteriak histeris disusul tawa yang keras ketika Nana menyeringai memperlihatkan giginya yang hitam.
Sontak para tamu yang ada di sekitar Ibu terkejut sambil melihat mereka berdua. Ada yang tertawa, banyak pula yang tersenyum melihat ulah Nana. Kemudian datanglah seorang pemuda gagah sambil membawa piring nasi.
“Ada calon lengser, nih,” serunya menatap Nana dengan mata berbinar. Dia pun tertawa melihat gigi Nana yang hitam.
Ibu langsung menanggapi, “Iya, gayanya sudah pintar. Nanti belajar dari Akang ini, dia kan aki lengser yang tadi. Kalau sudah dibersihkan wajah dan giginya, berubah jadi cakep ya.”
Mata Nana terbelalak. Benarkah dia aki lengser yang tadi dilihatnya? Benar-benar beda, yang ada di depannya nampak laki-laki gagah yang tampan. Kulitnya bersih, tidak ada keriput satupun, rambutnya pun hitam, tidak ada cincin yang besar-besar di jari-jari tangannya. Hanya jam tangan saja yang terlihat, padahal tadi Nana tidak melihat ada jam tangan melingkar di tangannya. Nana terus memperhatikan dengan takjub.
Merasa diperhatikan, pemuda tadi mengajak Nana duduk di dekatnya. Dia tahu Nana pasti sedang berpikir perbedaan yang tadi. Diapun bercerita, bahwa tadi dia didandani seperti lengser, begitupun ambu lengser. Dia sebetulnya pemuda juga yang didandani seperti nenek-nenek. Aki dan ambu lengser itu hanyalah tokoh fiktif yang menjadi lambang penasehat dan penuntun bagi pengantin yang hendak menikah, dilakukan secara kocak agar suasana menjadi meriah tetapi pesannya bisa sampai kepada pengantin. Lengser itu hanya ada di tatar Sunda saja, sebagai warisan budaya lokal yang sudah ada sejak dulu.
Nana mengangguk-angguk, baginya lengser itu bagaikan nyata. Dalam ingatannya lengser-lengser itu bagaikan kakek nenek di masa lalu yang sangat menyenangkan. Pastilah hidup mereka sangat bahagia, begitu pikirnya. Dia pun membayangkan kakek dan neneknya yang sekarang sedang duduk di kursi pengantin. Neneknya tidak pernah berlarian kesana kemari, neneknya lebih banyak di dapur memasak berbagai macam masakan. Kakeknya pun lebih banyak mengurusi kebun. Tidak pernah berlarian di dalam rumah. Hanya dia saja dan adiknya yang terkadang berlarian membuat seisi rumah menjadi pusing kepala.
Ayah tiba di tempat Nana sambil bertanya, “Sudah dibersihkan giginya belum?”
“Belum,” jawabnya singkat, anak kecil itu berlari ke dalam rumah membersihkan giginya. Sementara para tamu undangan terus berdatangan. Acara pernikahan tantenya memang meriah, walau dilaksanakan di rumah saja.
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”