Suatu hari yang cerah di Taman Nasional Bali Barat tepatnya di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Dua penghuninya yaitu Odang si burung kepodang dan Jala si burung jalak tengah berdebat tentang siapa yang suaranya paling merdu. Odang merasa dirinya memiliki suara paling merdu. Semua yang pernah mendengar, mengakui memang kicauan Odang begitu indah serupa alunan suling bambu. Namun, Jala bersikeras bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan suaranya. Masing-masing dari mereka tak ada yang mau mengalah.
“Dengarlah teman-teman, suaraku merdu kan? Tidak ada yang sanggup menandingi keindahan suaraku ini,” kata Odang dengan sombong.
Jala tidak mau kalah. Ia pun memperdengarkan kicauannya yang melengking seolah-olah seperti senandung yang bernada tinggi. Semua dibuat kagum. Suasana mendadak senyap. Mereka terbuai dengan pesona suaranya.
“Nah, teman-teman saja sampai terpaku mendengarku bernyanyi. Sudahlah, kau akui saja, Odang. Suaraku lebih baik darimu,” kata Jala sambil tersenyum mengejek.
“Begini saja, kita adakan perlombaan siapa yang bersuara paling merdu. Waktunya minggu depan dan seluruh penghuni di sini yang akan menilai. Jadi kita berdua masih punya waktu selama 1 minggu. Bagaimana, kau setuju?” usul Odang.
“Tentu saja. Pastilah aku yang akan menjadi pemenangnya.”
“Kita buktikan saja minggu depan, Jala.” jawab Odang sambil mengibaskan sayapnya yang berwarna campuran hitam dan kuning emas.
Setelah itu, setiap pagi Odang dan Jala berlatih keras dengan memamerkan kicauannya dari atas pohon tempat mereka tinggal. Mereka ingin menjadi yang terbaik dalam perlombaan minggu depan.
Namun, sudah 2 hari ini penghuni Taman Nasional tidak lagi mendengar suara keduanya. Hanya terdengar kicauan Riri si burung kenari yang tak kalah merdunya.
“Aku penasaran, apa yang terjadi ya pada Odang dan Jala? Biasanya pagi-pagi sekali pukul 6 mereka sudah mengoceh tiada henti,” tanya Riri sambil terus berkicau.
Kemudian dari atas pohon meranti, Odang menjawab. Wajahnya tertunduk lesu dan terlihat sedikit pucat.
“Maaf teman-teman, kemarin tiba-tiba saja suaraku hilang. Sepertinya aku tidak bisa mengikuti perlombaan esok hari,” sahut Odang lemah.
Jala pun muncul dari balik sarangnya. Kelopak matanya yang berwarna biru terang terlihat cekung. “Aku juga. Tenggorokanku sakit sekali. Aku tidak bisa berkicau sejak kemarin,” ujarnya.
“Makanya Odang dan Jala. Janganlah sombong dan berkata suara kalian paling merdu. Meskipun benar suara kalian berdua memang merdu. Tuhan pasti tidak suka mendengar kesombongan kalian sehingga suara yang biasanya kalian banggakan dihilangkan sementara oleh-Nya.” Riri si burung kenari menasihati Odang dan Jala.
“Iya Riri, kami sangat menyesal. Tidak seharusnya suara yang kami miliki menjadikan kami sombong. Malah harusnya kami bersyukur dengan semua anugerah Tuhan pada kami,” jawab Odang dan Jala penuh penyesalan.
Odang dan Jala akhirnya menyadari kesalahan mereka. Sekarang mereka berdua tidak lagi menyombongkan diri dengan keindahan suara yang mereka miliki. Seluruh warga penghuni Taman Nasional hidup dengan damai dan tenteram.
Catatan : Telah dimuat di Nusantara Bertutur Kompas Klasika Edisi 30 Agustus 2020
Gambar burung : Merdeka.com