Di pagi hari terjadi keributan di padepokan. Napma teriak-teriak sambil menangis. Ia mencari surat yang ditulis semalam.
“Mana suratku?” Ia berlari keluar kamar dengan panik.
Hobe baru saja keluar kamar, ia menggosok-gosok mata.
Maidne menyusul di belakang. Kepala Maidne nongol di pundak Hobe.
Mereka belum sadar apa yang terjadi.
“Kamu lihat suratku?” Napma bertanya panik mencengkram baju Hobe.
Hobe jadi kaget.
“Uh.. oh!” tunjuk Maidne ke Hobe.
Hobe melotot karena Maidne malah menuduhnya.
Maidne hendak mengatakan sesuatu tapi,
“Stt!” Hobe menutup mulut Maidne.
“Kamu nuduh saya yah? Kamu kan tahu saya tidak berhasil mengintip suratnya!” Hobe menarik Maidne ke kamar.
Tudne muncul, bertanya dengan kalem, “Ada apa?”
Ia muncul di pintu kamar Hobe. Badan Tudne sampai sampai menutup pintu.
“Uh Oh!” Maidne menunjuk Hobe
“Apaan sih?” Tudne menggaruk kepala
“Kamu yah yang ngambil!” Napma langsung menerobos masuk.
Tudne dan Hobe saling berpandangan
Napma marah-marah, suratnya ada yang mencuri. Ia menuduh Hobe, Napma menunjuk-nunjuk muka Hobe.
“Tidak.. tidak!” Hobe gelagapan. Wajah Hobe kelihatan bingung.
Tiba-tiba, di luar terdengar berisik, anak-anak berlarian di lorong
“Oh ibuku sayang, bawakan baju terbaikku yah,” Ratni membacakan surat Napma yang tertempel di dinding
Napma menangis, teman-teman jadi tahu isi suratnya.
“Hu.. hu… hu…,” katanya memelas.
Hobe menghampiri Napma mencoba menghibur, tapi Napma mendorong Hobe menjauh.
“Kamu kok tega sih?” kata Napma keras.
“Tidak, bukan aku!” erang Hobe. Hobe ikut bingung karena difitnah
%%%%
Suasana di padepokan jadi runyam karena terjadi perang panas dingin antara Hobe dan Napma.
“Kalau panas dikompres saja,” kat Tudne
“Pa.. pake es,” kata Pugu.
“Huh, hatiku nih yang panas!” kata Hobe.
Hobe dan Napma dingin-dinginan, mereka tak pernah saling menyapa.
“Siram pakai air panas, nanti jadi panas,” usul Tudne.
“Pa.. pake.. api,” tambah Pugu.
Hobe misruh-misruh, “Yang dingin itu si Napma, tak ada senyum, huh menyebalkan!”
“Oohh.. panas dingin,” kata Tudne.
“Uh.. Ooh..,” Maidne ikut berkomentar.
Napma betul-betul marah kepada Hobe. Napma selalu mendelik melihat Hobe. Mereka bermusuhan.
Hobe lelah dengan suasana seperti ini. Ia merenung mencari jalan pemecahan masalah.
“Aku yakin, ini hanya fitnah supaya kita terpecah belah,” bisik Hobe
Hobe menatap teman-teman, mereka mengangguk setuju.
“Yah ada yang benci kamu dan Napma, itu jelas,” kata Tudne
mereka memperhatikan Ratni yang terlihat bahagia
Napma terus bersitegang dengan Hobe, padahal mereka nanti akan bersama di silat camp. Ini tidak bisa dibiarkan.
Hobe meminta bantuan Talisatni “Bantu kami berdamai” Hobe memegang tangan Talisatni
Talisatni mendengar cerita Hobe dan berpikir keras.
Talisatni memanggil Napma. Napma adalah murid kesayangan Talisatni, ia juga pengagum Talisatni.
“Janganlah kalian termakan hasutan, sebentar lagi kalian akan ke silat camp,” bujuk Talisatni.
Talisatni memegang pundak Napma.
Hobe dan Napma berhasil didamaikan. Mereka berangkulan
“Gi.. gi.. tu doang?” Pugu aneh melihat Hobe dan Napma cepat berdamai.
“Iya, kok gak ada berantemnya sih?” Tudne menimpali.
“Uh.. Oh..,” Maidne nyengir lebar.
Hobe dan Napma jadi bersahabat. Mereka berjalan bersama berpapasan dengan Ratni. Ratni menjadi geram. Napma malah bergandengan dengan Hobe dan Pugu berlalu di depan Ratni.
Ratni mengambil surat Napma di dinding, kemudian mengejar Napma.
“Hey, anak mami!” bentaknya. Ratni menyobek surat Napma
Napma kaget dan mau marah. Untung Hobe menenangkan.
“Ga.. Gak ber.. berrantem?” keluh Tudne kecewa.
“Sekarang sudah tahu siapa pencuri surat Napma,” kata Hobe pada Tudne. Tudne sedang makan di kantin jadi melepas makanannya.
“Si.. si.. apa?” tanyanya dengan mulut penuh makanan.
“Ratni” Hobe mengerang.
“Balas!” bisik Tudne.
Tudne membisiki Hobe, Hobe tertawa lebar.
Sekarang giliran Hobe dan Ratni yang berseteru. Setiap berjumpa saling melotot.
“Dasar cerewet!” Ratni meleletkan lidah.
“Ih sirik, cerewet itu penting, biar eksis!” balas Hobe sambil berkacak pinggang
Ratni melotot, Hobe malah memunggungi sambil lonjak-lonjak.
Ratni mulai membuat makar, sandal Hobe diambil. Ketika keluar kelas Hobe mencari-cari sandal, ia sampai mencari di kolong.
“Mana sandalku?” Hobe sampai membuka tempat sampah
“Kyaa!” Hobe menjerit
Sandalnya digantung di pohon tinggi, Hobe kan tidak bisa memanjat
Maidne memanjat mengambilkan sandal. Gerakannya lincah. Hobe menunggu di bawah pohon.
“Uh Oh!” Maidne menyuruh Hobe menyingkir. Tapi Hobe tak mengerti malah bingung.
Maidne ternyata mau meluncur dari pohon.
“Hua.. hua!” Hobe menangis kepalanya benjol tertimpa Maidne.
Maidne tertawa mengacungkan sandal
Hobe misruh-misruh akan membalas Ratni. Ia mengacungkan tangan tinggi-tinggi.
Di malam hari, Hobe berjinjit menuju kamar Ratni. Hobe mewarnai kacamata Ratni.
“Rasain!” bisik Hobe.
Hobe kembali sambil terkikik
Bangun tidur, Ratni menjerit. Dunia menjadi gelap gulita.
Anak-anak berlarian menghampiri, mereka pada berebut nongol di pintu.
“Aku buta! Semua jadi hitam!” kata Ratni panik.
Ratni menggapai-gapai.
“Hrgggh!” Tapmologa muncul menarik kacamata Ratni.
Ratni tertawa malu.
“Ini tidak bisa dibiarkan!” kata Tapmologa kepada Talisatni. Talisatni dan Tapmologa bersila di ruangan, mereka sedang mendiskusikan situasi padepokan.
“Betul, suasana padepokan jadi kacau,” kata Talisatni berpikir keras.
“Kita panggil Ratni,” kata Tapmologa.
Ratni menghadap guru-gurunya.
“Demi keamanan. Kamu kami skors, kamu boleh libur!” kata Tapmologa
Ratni membelalak, “Ini tidak adil!”
Ratni memandang Talisatni meminta bantuan.
Ratni tidak terima ia diskors, ia kemudian menghadap Talisoga
“Baik akan kita pelajari,” kata Talisoga sambil menarik-narik jenggotnya.
Kira-kira apa yang akan dilakukan Talisoga, ya?
Bersambung….
(Silat Boys pernah diterbitkan menjadi Nomic – Novel Komik di Penerbit Anak Kita, 2014)