Adrean terus mendesak Talisatni agar diantar ke Padepokan Gajah Duduk. Tapi Talisatni masih bimbang.
“Wah sampeyan, ndak percoyo opo sama kemampuan saya?” Adrean tiba-tiba ganti logat.
Hobe kaget dan terkekeh geli.
Pugu yang sedari tadi diam ikut berkomentar, “O.. orang jawa?”
“Hoho… shaya inhi blasteran. Jhadi mhasih berdarah pendhekar jhawa, kok,” Aderan malah tertawa.
Adrean lalu jumpalitan mempraktekkan jurus-jurus silat. Talisatni melongo melihat gerakan aneh tapi gesit itu. Hobe dan Pugu bertepuk tangan gembira.
Adrean lalu membungkuk setelah atraksinya.
“Bhagaimana?” tanyanya.
“Baik, besok ikut kami ke silat camp,” kata Talistni.
“Ehe?” Adrean tidak mengerti.
“Kami akan ke silat camp, kalau balik lagi ke padepokan, jauh,” jelas Hobe.
Talisatni mengangguk sambil menguap. “Sekarang tidur dulu deh.”
Semua tidur kecuali Adrean. Perutnya keroncongan. Dilihatnya sisa-sisa makanan, ia makan dengan lahap.
“Kongkorongok!” suara ayam berkokok
Semua masih tertidur pulas, “grok.. grok.. grok..”
“Kongkorongok!” ayam berteriak lebih lantang
Mereka masih saja pada ngorok. Ayam kesal, ia menghampiri Hobe dan berkokok di telinganya. Tapi Hobe masih ngorok.
Si Ayam pun pindah ke Pugu dan mematuk hidungnya.
Pugu menjerit, “aduh.. duh!”
“Kenapa sih?” Hobe ikut bangun.
“Di.. pa.. patuk ayam,” Pugu meringis memegang hidungnya.
“Kenapa sih pake patuk-patuk?” Hobe melotot ke ayam.
“Habisnya belum pada bangun sih,” ayam meleletkan lidah.
“Siapa suruh bangun?” Hobe berkacak pinggang.
“Lah pagi, jalan ceritanya kalau pagi itu bangun,” ayam kabur sebelum ditimpuk Hobe.
“Hoaaam!” Hobe menguap lagi.
Tapi tidak jadi tidur lagi lagi, “kukuruyuk,” perutnya berbunyi.
Pugu terkikik mendengarnya, tapi kemudian perutnya juga ikut berbunyi.
“kukuruyuk… petok.. petok,” lah lebih heboh bunyinya.
Mereka lalu mencari makanan bersama. Kemudian menjerit bersama,
“Aaaaa!”
Talisatni yang masih tidur terperanjat.
“Ular! Ada ular? ” katanya tergopoh menghampiri Hobe dan Pugu.
Hobe menunjuk tempat makanan mereka yang kosong.
“Kalian makan semuanya?” Talisatni mengernyit.
“Bukan guru, kami mau makan tapi sudah habis,” Hobe merajuk dituduh.
“Be.. betul!” tegas Pugu
“Jadi siapa yang makan?” Talisatni ikut celingukan.
“Ku.. kucing?” kata Pugu.
“Ih, mana ada kucing di hutan,” Hobe nyengir.
“Ku.. kucing.. huttan!” Pugu tertawa lebar.
“Mhh, bisa jadi, push.. push..,” Talisatni mencari kucing.
“Li.. lihat!” Pugu tiba-tiba berteriak memanggil.
Ia menunjuk Adrean yang masih tidur. Di bibirnya tampak butiran nasi merah.
“Ini dia kucingnya!” erang Hobe.
“Masa sih?” Talisatni menghampiri.
“Iya guru. Bekal kita dari Nenek Itahkia kan tinggal nasi merah,” kata Hobe.
Mendengar ribut-ribut, Adrean bangun. Ia kaget sudah dikerubuti.
“Waktunya sharaphan?” tanyanya kalem.
“I.. tu!” Pugu menunjuk bibir Adrean.
Adrean mengusap bibirnya sambil tertawa.
“Hohoho… ihni sisa nasi tadi malam, shaya thertidur.”
Talisatni dan Hobe berpandangan.
Sekarang mereka kebingungan karena semua bekal sudah habis. Padahal perjalanan menembus hutan HijauToska masih jauh.
“Tangkap kelinci lagi, guru?” usul Hobe.
Kelinci mungil yang ditangkap Hobe semalam jadi terperanjat. Ia segera bersembunyi di balik tenda.
Guru Talisatni menggeleng. “Kita cari makanan lain,” katanya.
“Di.. di.. huttan?” tanya Pugu.
Talisatni masih terlihat bingung. Tapi Adrean malah tertawa lebar merogoh saku bajunya.
Ia memencet-mencet tombol dan berbicara,
“Yup, nasi dan ayam, 4 paket. Minumnya soft drink saja.”
Talisatni, Hobe dan Pugu melotot heran.
“Shaya bharu phesan makanan,” kata Adrean menjelaskan.
“Di.. di.. huttan?” Pugu bertanya hal yang sama.
Adrean mengacungkan jempol. Tak lama terdengar suara motor.
“Delivery!” kata penunggang motor lantang.
Pugu dan Hobe berjingkrakan menerima paket makanan.
“Apa shaya bhilang, gampang,” Adrean mengacungkan jempol.
Talistni menggeleng-geleng kepala heran. Hobe dan Pugu tidak bertanya lagi, mereka langsung makan dengan lahap.
Setelah kenyang, mereka kembali berjalan.
“Masih jauh guru?” tanya Hobe ngos-ngosan.
“Masih,” kata Talisatni kalem.
Adrean terlihat jauh di belakang mereka, ia berjalan dengan terseok-seok.
“Ja.. jalan kaki?” tanya Pugu.
“Iya, mana ada kendaraan di hutan begini,” kata Talisatni.
Hobe dan Pugu berpandangan saling mengirim isyarat.
Hobe akhirnya angkat bicara, “Kita naik ojeg, guru.”
“Ojeg?” Talisatni mengernyit.
“Iya, tadi yang antar nasi juga naik motor,” Hobe merayu.
“Itu di luar skenario,” Talistni buru-buru berlalu.
Hobe dan Pugu mengejar terus merayu.
“Mana ada ojeg!” Talisatni mulai kesal.
Tak lama terdengar suara, “Ojeg.. ojeg? Cibubur?”
Hobe dan Pugu tertawa girang. Adrean malah sudah menclok di salah satu ojeg.
Talisatni angkat bahu. Akhirnya mereka naik ojeg. Perjalanan yang semula diperkirakan 2 hari 2 malam, hanya 2 jam saja.
Bersambung…
(Silat Boys pernah diterbitkan menjadi Nomic – Novel Komik di Penerbit Anak Kita, 2014)