Silat Boys – Jurus 7: Jurus Andalan Gajah Duduk

Pagi-pagi semua peserta Silat Camp telah berkumpul di lapangan.

Tapmologa ribut mengumpulkan murid-muridnya yang masih ngorok.

“Ampun, bangun! Bangun!” bentaknya.

Hobe mengucek-ngucek mata.

“Aduh, pendekar sejati kok kesiangan sih?” Talisatni tidak kalah panik.

Tapmologa lalu menarik satu-satu muridnya berdiri.

Satu gelas air ia cipratkan di muka mereka.

“Cepat ke lapangan,” perintahnya.

Murid-murid berbaris menuju lapangan dengan langkah gontai.

“Hoaam, belum gosok gigi, guru,” kata Hobe.

“Ihh,” Talisatni mengibas-ngibas tangan di depan hidungnya.

“Aduh, kebelet,” Tudne melonjak-lonjak.

“Udah sanah buruan, 1 menit saja!” Tapmologa melotot.

“Uh OH!” Maidne mengacungkan jari dan mengikuti Tudne.

Tapmologa menyilangkan tangan di dada. Talistni geleng-geleng kepala.

“Stt, semua siap, baris yang rapih!” Tapmologa memberi isyarat.

“Gong!Gong!Gong!” bunyi gong ditabuh tiga kali tanda silat camp dibuka.

Lalu ke tengah lapangan masuk para dewan juri dengan jubah kebesaran.

“Silat Camp dibuka, peserta diharap jujur,” katanya singkat.

Peserta bertepuk tangan gemuruh. Tak ketinggalan Hobe, ia bertepuk tangan paling panjang. Sampai Tapmologa menepuk kepalanya dari belakang supaya berhenti.

Acara dimulai dengan perkenalan. Setiap padepokan maju ke depan untuk menunjukan kebolehannya.

Padepokan Bangau Putih melakukan atraksi menari yang cantik.

“Suit.. suit!” Hobe bersuit heboh.

“Dilarang bersuit, memangnya ini panggung dangdut apa?”

“Hihihi,” Pugu terkikik melihat tingkah Hobe.

Ratni mendelik karena otomatis semua melihat Hobe. Talisatni menutup wajah karena malu.

Setelah itu padepokan Badak Seruduk beratraksi gulat-gulatan. Mereka kelihatan sangat kuat dan berotot. Puncaknya mereka memecahkan batu-batu dengan tangan kosong.

Penonton terkesima dan bertepuk tangan.

Hobe malah melongo, “Wow,” gumamnya.

Tudne langsung bertekad, “Aku mau belajar itu ah.”

“Uh Oh,” Maidne membenarkan.

Atraksi dari padepokan Macan Terbang tak kalah menarik. Dilanjutkan dari padepokan Monyet Lompat dan beberapa padepokan lain yang tak kalah hebat. Sampai akhirnya tiba giliran padepokan Gajah Duduk.

Hobe celingukan, baru sadar mereka belum latihan sama sekali. Tapmologa memberi isyarat supaya mereka maju.

“Kalian duduk saja,” kata Talisatni.

Hobe, Pugu, Maidne dan Tudne menurut perintah gurunya untuk duduk.

“Memperkenalkan murid-murid padepokan Gajah Duduk. Mereka ahli duduk berjam-jam,” kata Tapmologa.

Hobe berpandangan dengan Pugu.

“Ih gak keren banget sih atraksinya!”

Tapmologa melanjutkan, “Mereka tetap duduk walau apapun yang terjadi.”

Ratni berdiri dan melompat ke kepala Tudne lalu melangkah satu-satu ke kepala Hobe, Maidne dan Pugu.

“Lihat, mereka tetap tak bergerak,” kata Tapmologa.

Ratni bahkan ketika di atas kepala Hobe lompat-lompat. Penonton bersorak-sorak.

Hobe mukanya merah kuning ijo menahan malu. Pugu meringis.

Setelah atraksi itu, Hobe misruh-misruh.

“Kenapa sih tidak bilang skenarionya begitu?”

Tapmologa terkekeh. “Kalau atraksi silat, guru tak yakin kalian mampu sih.”

Hobe garuk-garuk kepala, “Huh!”

Ratni terlihat puas sudah ngerjain Hobe dan kawan-kawan. Adrecurug geleng-geleng kepala melihat murid-murid aneh itu.

Setelah perkenalan, lalu diadakan pertandingan pertama. Yaitu mencari jejak. Targetnya adalah mencapai bendera yang disembunyikan. Peserta mencari petunjuk dari jejak-jejak. Antar kelompok boleh bekerja sama boleh bersaing.

“Ah itu sih gampang,” kata Hobe.

“I.. iya?” tanya Pugu ragu.

“Aku kan sering hilang barang, hihihi,” Hobe terkikik.

“Selamat berjuang!” Tapmologa mengacungkan tangan.

Para guru dilarang ikut campur, mereka harus diam di kemah guru.

Petunjuk pertama, batu merah di bawah pohon kenari.

“Aku tahu pohon kenari!” Tudne gembira.

“Uh Oh,” Maidne juga tahu.

Mereka berlarian kesana.

“Mana batu merahnya?” Ratni mencari-cari.

Hobe menyibak rumput dan mulai menggali.

“Ap.. apa appaan ssih?” tanya Pugu.

“Lihat!” Hobe tertawa mengacungkan batu merah.

“Kok bisa sih kepikiran gali?” Tudne terkekeh.

“Kan di bawah,” Hobe hidungnya kembang kempis.

“A.. appa katanya?” Pugu menyipitkan mata melihat tulisan yang terikat di batu.

“Aduh matematika!” jerit Hobe.

Ratni kemudian mengambil pensil.

Melangkah ke kiri sejauh 5120 x 64 : 320 + 57 – 981

Lalu ke kanan kelipatan 3 dari 7 ditambah 144 dibagi 12

“Jalan ke kiri seratus langkah,” perintah Ratni.

“Ih beneran?” tanya Hobe.

“Tidak percaya? hitung sendiri!” Ratni mencibir.

“Satu.. dua.. sepuluh.. sembilanpuluh enam,” Tudne menghitung.

“Aduh kejedug pohon, tidak bisa kemana-mana lagi,” keluh Tudne.

“Langkahmu terlalu lebar sih,” kata Hobe.

Ia sudah menghitung sampai seratus tapi jaraknya berbeda jauh sekali dengan Tudne.

“Ma.. manna yang benar?” Pugu bingung.

Tudne dan Hobe berdebat tentang langkah kaki siapa yang benar.

“Sudah hompimpah saja!” usul Hobe.

“Tidak bisa, harus cari yang standar,” kata Ratni.

Setelah bertengkar merekapun mengulang menghitung bersama-sama.

Kaki Hobe memang terlalu pendek sedangkan kaki Tudne terlalu lebar.

Tiba-tiba Pugu sudah berteriak nyaring.

“Ke.. ketemu!” ia mengacungkan daun.

“Apaan sih?” Ratni mendelik.

“Itu cuma daun!” Hobe terbahak

Mereka mengampiri Pugu.

“Li.. lihat dulu,” Pugu membuka gulungan daun.

“Oh ada gambarnya,” Ratni terbelalak senang.

“Tadi matematika, sekarang gambar, silat Camp begini yah,” kata Hobe misruh-misruh.

“Kirain, mau kelahi-kelahian,” sambung Tudne sambil garuk-garuk kepala.

“Makanya aku paling layak,” Ratni menepuk dada.

Ia memang murid paling pintar walaupun lemah di fisik.

Hobe dan Tudne selonjor sambil malas-malasan, tidak semangat deh kalau begini.

Sementara Ratni dan Pugu berusaha mencari tahu arti gambar di daun. Ada gambar lingkaran dan segitiga.

Mereka tidak tahu sedari tadi ada yang ngintip di balik pohon.

“Pipis dulu ah,” Tudne bangkit.

“Jangan pipis di balik pohon!” Ratni melotot.

Tudne melotot, tapi bukan membalas Ratni. Ia melihat sesosok bayangan menyerbu.

“Au! Au!” Tudne menjerit karena hidungnya ditonjok.

Bayangan itu melesat merebut daun di tangan Ratni.

“Ada musuh!” Ratni menjerit.

Pertempuran tak terelakan. Ratni memasang kuda-kuda, “Kembalikan daun itu!”

“Curang!” Hobe sudah memukul duluan.

Pugu tergagap-gagap, ia tak menyangka mendapat musuh betulan.

Penyerang itu hanya empat orang tapi badannya tegap-tegap. Mereka memakai penutup kepala, hanya matanya yang kelihatan.

“Seraaang!” kata salah seorang.

Lalu mereka kompak mengurung kelompok Hobe.

Hobe pucat pasi berdiri berpunggungan dengan Ratni.

“Jurus stick orang!” Tudne mengangkat tubuh Maidne dan melontar-lontarkannya seperti stick.

“Uh Oh!” Mata Maidne berkunang-kunang.

Tapi kakinya berhasil masuk ke mulut salah seorang musuh. Musuhnya itu sampai gelagapan karena kaki Maidne bau banget.

“Jurus tangkap lalat!” Hobe lalu menepuk-nepuk tangannya ke depan dengan cepat.

Musuh kebingungan dengan jurus yang aneh itu.

“Jurus apa saja!” giliran Ratni yang maju dengan gerakan tidak jelas juga.

Sesungguhnya mereka di padepokan Gajah Duduk belum diajari apa-apa selain cara menimba air.

“Ju.. ju.. rus lari!” Pugu dengan ketakutan berlari dikejar seorang musuh.

Keributan terjadi. Mereka bertarung tidak sengit karena tak lama kelompok Hobe sudah dikalahkan. Empat orang penyerang itu kabur dengan membawa daun. Siapa sih mereka?

Bersambung…

(Silat Boys pernah diterbitkan menjadi Nomic – Novel Komik di Penerbit Anak Kita, 2014)

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar