Silat Boys – Jurus 8: Persaingan Ketat

“Hua.. hua… jahat!” Hobe menangis.

Wajah mereka babak belur tak karuan. Pugu terlentang dengan ngos-ngosan.

“Lalu kita ngapain nih?” Tudne bingung.

Ratni memicingkan mata berpikir.

“St.. st..,” tiba-tiba ada yang memanggil dari semak-semak.

“Guru?” Ratni kaget menghampiri.

“Ih, guru tidak boleh di area ini,” kata Ratni.

“Cuma mau nengok kalian, Tidak apa-apa kan?” katanya sambil memberi bungkusan.

Tapmologa kemudian pergi lagi sembunyi-sembunyi.

“Guru ngasih surat!” bisik Ratni.

Guru lihat kalian kelahi. Harusnya jangan melawan. Mereka dari Badak Seruduk. Pasti kalah, dasar konyol! Sekarang kalian cari bangunan segitiga di tengah lapang berbentuk bulat.

Ratni mengernyit kemudian menyobek-nyobek surat itu.

“Berangkaaat!” Ratni mengepalkan tangan dan berdiri tegak.

Di belakangnya, Hobe, Pugu, Tudne dan Maidne berjalan dengan tertatih-tatih.

Mereka menuju lapangan, disana terlihat peserta silat Camp berseliweran dengan gagah.

“Keduluan!” Ratni mengerang.

Benar di lapangan bulat tampak Bangau Putih tengah bertarung dengan Macan Terbang.

“Petunjuknya pasti disana!” Hobe menunjuk bangunan segitiga yang ternyata gardu listrik.

Setiap peserta berusaha masuk tapi saling dijegal oleh perguruan lain.

Anggota Bangau Putih berbadan tinggi, sedang memainkan selendang menyerang Macan Terbang yang lincah melompat sana sini.

Gerakan silat mereka indah.

“Syut.. sur,” lagi-lagi selendang itu tidak kena.

“Ini kesempatan kita,” kata sebuah suara.

Hobe berpaling merasa pernah mendengar suara itu. Ketika menoleh terlihat musuh yang tadi menyerang, pasukan berbadan tegap dengan wajah ditutup kupluk.

“Stt, menyingkir,” Hobe menarik teman-temannya ke pinggir.

“Peenakuut,” Ratni mengelak.

“Ingat apa kata guru,” bisik Hobe lagi.

Akhirnya kelompok padepokan Gajah Duduk, mengeluarkan jurus andalan: duduk!

Mereka duduk-duduk saja di pinggir lapangan.

Badak Seruduk langsung membaur dengan pasukan yang bertempur. Mereka meyeruduk kesana kemari sehingga Bangau Putih dan Macan Terbang kewalahan. Hobe melotot melihat gerakan mereka yang sangat cepat. Pertempuran hebat sampai keluar asap disana sini.

“Apa kataku, mending diam deh,” Hobe nyengir.

Pugu meringis melihat bagaimana ganasnya Badak Seruduk.

“Au!” seorang Bangau Putih terpelanting.

Pugu banyangkan kalau dia yang diseruduk, “Hiiy seram”.

Entah bagaimana, tiba-tiba saja Bangau Putih dan Macan Terbang jadi kompak menyerang Badak Seruduk. Mereka lalu mengepung dan melakukan serangan balik ke Badak Seruduk.

“Serangan jarak jauh!” kata Bangau Putih yang badannnya tinggi.

Sepertinya dia pemimpin, sudah membaca situasi.

Badak Seruduk susah dikalahkan memakai serangan jarak dekat.

“Tar! Tar!” terdengar selendang yang dijadikan cambuk memukul punggung Badak Seruduk.

Satu orang yang diserang meringis dan berbalik menyerang.

“Tuk.. tuk.. tuk,” Macan terbang mengirim batu yang dilempar jarak jauh sambil terbang di udara.

“Au!” satu orang Badak Seruduk berhasil dilumpuhkan.

Hobe tak sadar bertepuk tangan.

“Hei, kita peserta, bukan penonton,” ingat Ratni.

“Seru sih,” Hobe cengengesan.

“Kapan yah, kita diajarin jurus begitu,” Tudne sampai ngiler melihatnya.

“Guru saja belum bisa kok,” Ratni mencibir.

“Kita pindah sekolah aja yuk,” ajak Tudne.

“Hey, apa kau bilang?” entah darimana tiba-tiba Tapmologa menjewer kuping Tudne.

“Hihi, ampun,” Tudne meringis.

“Yang penting menang, awas kalau kalah!” Tapmologa mengacungkan kepalan tangan.

“Hei, Badak kalah,” Hobe melonjak-lonjak.

Pasukan Badak Seruduk terlihat mundur teratur. Hobe sudah maju, tapi dicegah Ratni.

“Tunggu!” katanya sambil menegok ke lapangan.

Olala, Bangau Putih dan Macan Terbang kembali bertempur. Mereka terlihat masih bertenaga. Saling mengirim serangan. Pertempuran berlangsung lama sekali. Hobe dan kawan-kawan mulai bosan dan mengantuk.

Matahari telah terik. Bangau Putih terlihat lelah. Mereka tidak kuat bertempur di tengah panasnya matahari. Sedikit demi sedikit mereka menggeser ke pinggir yang teduh. Macan Terbang terus mengejar. Pasukan tempur jadi terbelah di pinggir-pinggir lapangan.

“Au!” Hobe meringis kaget.

Rupanya ia terkena sabetan selendang nyasar. Tudne terbangun.

“Wah pindah yuk, seram,” ajak Hobe.

Mereka lalu berjalan mencari tempat teduh.

“Sa.. sana,” Pugu mengajak ke bawah bangunan.

Bayangan atapnya lumayan meneduhi. Mereka lalu duduk-duduk disana kembali menonton pertunjukan.

Dari jauh Tapmologa mengintip murid-muridnya. “Ugh, dasar otak ayam,” katanya gemas.

Ia melompat-lompat mencoba mengirim isyarat. Hobe dan kawan-kawan malah bengong tak mengerti.

“Itu-itu!” Tapmologa gemas menunjuk-nunjuk.

“Hei, kita udah di bangunan segitiga!” akhirnya Ratni tersadar.

“Hihi,” Hobe terkikik.

Pantas saja Tapmologa gemas akan keculunan mereka. Bangau Putih dan Macan Terbang keasikan bertempur sehingga tidak sadar Hobe dan kawan-kawan sudah ada di bangunan segitiga.

Hobe dan kawan-kawan kemudian celingukan mencari jalan masuk.

“Kecil banget!” keluha Hobe melihat celah satu-satunya yang terbuka.

Maidne kemudian beringsut mencoba masuk, “Uh Oh!”

Wah Maidne berhasil masuk! Anak-anak nyaris bersorak, hanya dicegah oleh Ratni.

“Stt!” katanya mendelik.

Bahaya kalau heboh keburu ketauan musuh.

Maidne keluar membawa bendera. Inilah bendera kemenangan mereka. Kelompok Hobe bergegas pergi diam-diam. Wajah mereka sangat ceria.

“Kita tancapkan bendera kemenangan ini di lapangan utama,” instruksi Ratni.

Mereka berlarian menuju lapangan.

“Sampai!” Hobe gembira melihat lapangan di depan mata.

Namun…

“Ciat! Ciat!” tiba-tiba mereka diserang.

Pasukan Sanca Membelit sudah menghadang mereka dengan seragam hijau mereka yang menyala. Hobe dan kawan-kawan menggigil ketakutan. Ratni sudah maju menyerang.

Yah, berkelahi lagi deh. Tentu saja pasukan Hobe dan kawan-kawan kalah.

Dalam sekejap bendera itu beralih tangan. Wajah mereka makin babak belur.

Bendera ditancapkan oleh pasukan Sanca Membelit dengan bangga.

“Hua.. hua… curang!” Hobe meraung-raung.

Begitu juga Pugu, Tudne dan Ratni bersedih. Maidne yang kelihatan tenang.

“Gong.. gong.. gong..,” bunyi gong dipukul tiga kali.

Semua peserta kembali berkumpul. Pasukan Sanca Membelit terlihat gembira.

Mereka maju ke panggung untuk mendapat penghargaan. Bagaimana dengan pertandingan selanjutnya, akankah Gajah Duduk kembali kalah?

Bersambung….

(Silat Boys pernah diterbitkan menjadi Nomic – Novel Komik di Penerbit Anak Kita, 2014)

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar