Acara siang ini selesai, para peserta kembali ke tenda masing-masing. Hobe dan kawan-kawan berjalan tertatih-tatih dengan lesu. Tapmologa tidak kalah lesu. Badannya sampai terbungkuk-bungkuk.
“Ada kalah ada menang,” hibur Talisatni
“Tapi kita sudah hampir, guru,” Ratni mengerang.
“Bhesok khita harus mhenangx!” Tiba-tiba Adrecurug berteriak lantang.
Malam itu dengan badan masih babak belur, mereka berlatih. Adrecurug mengambil alih posisi guru. Ia mengajarkan juru-jurus aneh. Hobe dan kawan-kawan sampai melongo.
“Ini jhurus gyigit rhoti” katanya sambil menyuruh Pugu menggigit telinga Tudne.
“Au!” Tudne meringis.
“Ithu thelinga musuh harus kau gigit kheras-kheras,” Adrecurug terkekeh.
Hobe dan kawan-kawan meringis. Wah satu guru error macam Tapmologa saja bikin pusing, sekarang ditambah Adrecurug. Talisatni yang melihat latihan segera menghampiri.
“Guru, kita ini perguruan silat bukan badut.”
“Emhang kyenapha?” Adrecurug garuk-garuk kepala.
“Jurusnya silat dong,” serempak mereka menjawab.
“Macam Bangau Putih, guru!” Hobe berlagak memegang selendang.
“Macan terbang,” Ratni mengangkat kedua tangan seolah hendak terbang.
“Badak Seruduk,” Tudne membungkuk.
Adrecurug bengong.
“Oh.. mh.. oh,” ia kelihatan berpikir keras.
“Haha, benar Adrecurug, yang penting kita menang deh,” Tapmologa keluar dari tenda.
“Tapi kapan kita belajar jurus?” Ratni protes.
“Mhh, nanti di padepokan,” Tapmologa nyengir.
Malam itu akhirnya mereka berlatih dengan jurus-jurus aneh Adrecurug. Ada jurus pukul pantat. Ada jurus pura-pura pingsan. Ada jurus lari seribu
Mereka kelelehan sampai ngos-ngosan. Lidah Hobe melelet keluar. Ratni sudah terlentang sedari tadi. Pugu juga kecapekan. Adrecurug sama sih capek juga.
%%%%%
“Gong.. gong.. gong!” bunyi gong dipukul tiga kali.
“Huaa kesiangan!” Tapmologa menjerit.
Ia mengambil air dan mengguyur anak-anak. Keributan terjadi.
“Semua ke lapangan,” kata Talisatni.
Anak-anak belingsatan sambil mengucek mata.
“Aduh belum cuci muka!” Hobe bingung.
“Biariin, cepetan pergi!” Tapmologa menjerit.
Anak-anak berlarian ke lapangan.
Di lapangan, padepokan lain sudah berkumpul dengan wajah bersih dan rapih.
Rambut rambut disisir dan wangiii. Maka ketika padepokan Gajah Duduk baru datang mereka langsung menutup hidung.
“Ih, kita jadi belum mandi 2 hari,” Hobe berbisik.
“Stt,” Ratni mengacungkan jarinya di mulut.
Panitia kemudian mengumumkan susunan acara hari ini.
“Hari ini adalah hari tanding, masing-masing padepokan mengajukan dua jagoannya.”
Hobe berdiri dengan gelisah. Guru mereka dari kejauhan juga tampak gelisah. Peserta yang lain senang, apalagi Macan Terbang adalah padepokan paling jagoan.
“Akan diundi untuk kompetisi ini,”
Kemudian dilakukan undian, siapa yang tanding lebih dahulu.
Macan Terbang vs Badak Seruduk
Bangau Putih vs Gajah Duduk
Sanca Membelit vs Monyet Lompat
Dst…
“Aduh lawan Bangau Putih,” Hobe menyeka keringat.
“Ja.. jangan aku yah,” Pugu memelas.
“Hobe dan Tudne saja,” kata Ratni.
“Kamu?” protes Hobe.
“Mau mandi,” Ratni buru-buru pergi.
Hobe pucat pasi begitujuga Tudne. Tak peduli Adrecurug dan para guru memberi dukungan meriah. Adrecurug mengibar-ngibarkan sarung macam cheerleader. Tapmologa membawa gendang, suaranya sangat berisik.
Yang pertama bertanding Macan Terbang melawan Badak Seruduk.
“Sekarang 1 lawan 1,” Badak Seruduk terbahak.
Ia masih dendam dikeroyok kemarin.
“Siap?” Macan Terbang membuat kuda-kuda cantik.
Pertarungan berlangsung lambat. Badak Seruduk kelihatan emosi karena Macan Terbang hanya menghindar-menghindar. Rupanya itu taktik. Akhirnya Badak Seruduk kelelahan. Barulah Macan Terbang menyerang dengan pukulan jitu.
Badak Seruduk kalah. Penonton bersorak. Anggota Badak Seruduk kedua marah, ia lari ke tangah lapang dan meyerang.
“Aku lawanmu,” anggota Macan Terbang lain maju.
Pertempuran berlangsung lagi. Anggota Badak Seruduk yang kedua ini tidak membaca pengalaman. Ia seperti temannya seradak seruduk. Macan Terbang tertawa geli.
Macan Terbang kembali menang. Penonton bersorak. Hanya Hobe dan Tudne yang tidak bertepuk tangan. Mereka panik.
“Kok udahan?” keluh Hobe.
“Coba seharian gbeitu tandingnya,” kata Hobe lagi.
“Kita tidak jadi main dong,” Tudne menatap bingung.
“Bagus kan!” Hobe menepuk kepala Tudne.
Bangau putih kemudian maju. Hobe dan Tudne diam di tempat, bengong.
“Wakil dari Gajah Duduk, silahkan maju,” kata panitia.
Mereka memanggil-manggil terus Gajah Duduk tapi tidak ada yang maju.
Tapmologa gemas, ia menarik Tudne.
“Kalau hitungan tiga tidak datang, berarti gugur,” kata pengeras suara lagi.
“1.. 2..,”
Tapmologa lalu mendorong Tudne sampai Tudne kehilangan keseimbangan.
“Dug!” ia terjerembab.
“Heg!” olala, Tudne menimpa Bangau Putih.
Badannya yang besar membuat Bangau Putih tak berkutik.
“Gong!” bunyi gong dipukul.
“Pemenangnya adalah Gajah Duduk!” Tudne diangkat tangannya oleh wasit.
Bangau Putih digotong. Gepeng.
Tudne bengong disambut teman-teman.
“Curang! Ayo lawan aku!” Bangau Putih kedua sudah berdiri.
Selendang sudah dimainkan berbunyi “Tar!Tar!” Seperti membelah langit.
Hobe menciut, sekarang gilirannya. Akan kah ia seberuntung Hobe?
Hobe maju dengan gemetar. Selendang itu semakin keras berbunyi. Hobe pingsan!
Bangau Putih kaget, ia berlari menghampiri.
“Bangun! Bangun! Ayo lawan aku dulu!” katanya
Hobe membuka matanya sedikit.
“Curang! Kita belum kelahi!” Bangau Putih meraung-raung.
Sebal deh tidak jadi berantem. Bangau Putih duduk gelosoran sambil nangis. Hobe tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia segera naik punggung Bangau Putih.
“Hap!” dikunyahnya telinga Bangau Putih.
“Au! Ampun!” Bangau Putih meringis.
Hobe tidak melepas gigitan.
“Ampun! Nyerah! Pak Wasit saya ngaku kalah!” jeritnya.
Ia tak mau kehilangan telinga dong, masa cantik-cantik buntung.
“Gong!” Gajah Duduk menang!” Hobe diarak oleh teman-teman.
Tak disangka Gajah Duduk menang. Peserta lain mendelik sebal. Pertandingan berlanjut ke peserta lain. Seru dan heboh deh. Akan ditentukan siapa yang masuk final nanti. Ternyata Sanca Membelit dan Gajah Duduk yang masuk final. Siapa nanti pemenang utamanya?
Bersambung…
(Silat Boys pernah diterbitkan menjadi Nomic – Novel Komik di Penerbit Anak Kita, 2014)