Mang ujang dan Kakek sudah hampir selesai mencangkul satu petak kebun. Tinggal mengumpulkan ubi-ubinya.
“Waah, Kakek sudah hampir selesai, harus cepat-cepat nih.” Sita lebih cepat mengumpulkan ubi-ubinya. Saking cepetnya, satu ubi Sita terlempar mengenai Rani.
“Aww!” seru Rani.
“Eh, maaf,” kata Sita.
Kakek menghentikan mencangkulnya. “Hah…. lumayan cape,” ujar Kakek sambil mengusap keringat di keningnya. ”Besok pagi kita lanjutkan lagi.”
Melihat Kakek sedang beristirahat, Sita melempar ubinya. “Kakek, tangkaaaaap!”
“Eits… eits… hap!” Kakek menangkap ubi lemparan Sita. Sita tertawa terbahak melihat Kakek hampir jatuh.
“Hahaha…. Kakek lucu juga nangkap ubinya.”
Kakek tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Sita…sita….”
“Ran, ayo balapan kumpulin ubi, yang paling banyak dia yang menang, mau?” tantang Sita.
“Ah, itu sih mudah, “ sahut Rani.
“Yuk mulai!” seru Sita.
Sita dan Rani mengambil ubi-ubi yang berserakan. Mengumpulkannya di tempat masing-masing. Sita menyimpan ubi-ubi di bajunya sampai penuh, lalu berlari. Bajunya kotor dengan tanah.
“Eh, Sita jangan di simpan di baju, getah ubi susah dibersihkan, nanti nempel terus di bajumu!” teriak Rani.
Sita terus berlari. Dia tak menghiraukan ucapan Rani. Yang ada dalam pikirannya, dia harus menang.
Beberapa kali Sita dan Rani bertabrakan, lalu mereka tertawa, apalagi ketika ubi-ubinya berjatuhan. Seru sekali. Kakek, Mang Ujang dan Bi Atun sesekali tertawa melihat tingkah Sita dan Rani.
“Hah… hah… hah…,” Sita tersengal-sengal, perlahan mengatur nafasnya. ”Udahan Ran, Sita menang kan hehe….cape!”
“Wah hebat Sita, kamu juga banyak ubinya, iya deh, kamu yang menang,” kata Rani.
“Yes! Kita bakar ubinya!” seru Sita berjingkrak-jingkrak. Lagi-lagi Mang Ujang dan Bi Atun hanya tertawa kecil melihat tingkah Sita.
Kakek mengambil kayu bakar dan menyalakan tungku di saung. Setelah kayu bakar menjadi bara, ubi ditanam di bawah abu. Setengah jam kemudian ubi bakar matang.
“Kek, kok di dalamnya tidak ada yang seperti madunya, kurang manis ini.”
“Ini ubi yang baru dipanen tadi,” kata Kakek. “Kalau mau yang manis, coba yang ini. Ini ubi bekal dari rumah, sudah diangin-angin selama dua minggu.”
“Nah, ini manis sekali. Sita yang ini aja, ini buat Kakek,” sahut Sita sambil memberikan ubi yang kurang manis.
“Ubi yang disimpan paling sebentar dua minggu, jika dibakar akan mengeluarkan cairan seperti madu. Maniiiss sekali, apalagi ubi yang sudah disimpan selama sebulan.”
“Tapi Kek, ada juga kan yang sudah disimpan lama tapi kurang manis.”
“Oh, biasanya kalau ubinya belum enam bulan sudah dipanen, rasanya kurang enak.”
“Oh, begitu ya Kek.”
“Hmm, punyaku manis Sita, aku kan hapal ubi yang manis hehe,” kata Rani.
“Aku juga tahu sekarang,” ujar Sita sambil menjulurkan lidahnya, lalu tertawa.
***
Suara Adzan dzuhur berkumandang. Kakek mengajak solat di saung.
“Loh, kok baju Sita banyak tanahnya, lengket lagi,” sahut Sita.
“Iya, sepertinya itu getah ubi Sit, tadi saya sudah bilang jangan dibawa pakai baju,” kata Rani.
“Oh, saya tidak mendengar tadi, ya sudahlah,” ujar Sita.
Sita dan Rani kemudian berwudhu di pancuran, air yang dialirkan dari mata air dengan bambu.
“Wah, airnya terasa hangat!” kata Sita.
“Iya, tapi kalau subuh, hiiiy… airnya dingin sekali,” sahut Rani.
Selesai solat berjamaah, Sita menyandarkan badannya di dinding saung yang terbuat dari bilik bambu. Lalu mengeluarkan kembali catatannya, dan mulai menulis:
4 .Ubi yang berbintik, dimakan lanas, harus dipisah.
- Ubi yang bagus hasilnya dipanen setelah minimal 6 bulan.
6.Ubi yang enak untuk dibakar adalah ubi yang minimal sudah disimpan selama 2 minggu.
Sita menutup catatannya. Matanya jauh menerawang ke kebun ubi yang bau saja dipanen. “Hmm, besok aku pulang. Dan hari ini, hari yang tidak akan kulupakan,” gumam Sita. “Apalagi balapan mengumpulkan ubi bersama Rani. Ah, Rani walau sebentar, aku tidak akan lupa denganmu.”
***
Catatan :
Diangin-angin = didiamkan terkena angin.
Neng = panggilan orang sunda untuk anak perempuan.
Lanas = ulat pada ubi
Saung = rumah panggung di sawah/kebun, biasanya terbuat dari kayu dan bambu
(Dimuat di Koran Berani edisi November 2015)
Sumber gambar ; AgriKompas