Hari Peringatan
“Selamat untuk Bahrul!” seru bu guru dengan pengeras suara.
Teman-teman bertepuk tangan. Beberapa di antaranya menghampiri Bahrul dan memberi selamat. Jadi, Bahrullah yang akan mewakili sekolah pada lomba tingkat desa pekan depan.
Yudi menepuk punggung Yono dan Evan. “Kalian hebat!” ucapnya kemudian.
“Huft! Andaikan egrangku tidak patah.” Evan duduk di teras sekolah, diikuti yang lainnya.
“Tetep aja kamu kalah,” cibir Ais.
Evan mendengus kesal.
“Sudah sampai ke babak final itu juga sudah bagus, kok. Lain kali kita bisa latihan lagi, supaya lebih lihai.” Sekar mencoba menghibur.
“Van, kamu belum bilang makasih udah pinjam egrang punyaku,” kata Ais.
“Iya, makasih!” Evan sengaja menekankan suaranya.
…
Malam nanti, akan dilaksanakan kenduri dalam rangka memperingati 100 hari kematian ayah Ais. Sanak keluarga dan tetangga ikut membantu mempersiapkannya.
Di dapur rumah Ais yang cukup luas, para ibu sibuk memasak. Sesekali mereka juga bercanda dan membuat suasana dapur menjadi ramai.
Ais, Sekar, Yono, Yudi, dan Evan, mengikuti Pakde Sastro ke kebun. Pakde akan mencabut singkong, dan mengambil beberapa bahan keperluan untuk membuat hidangan nanti malam.
“Pakde, aku mau coba,” kata Evan saat Pakde Sastro sedang mencabut singkong dari akarnya.
“Boleh, nih.” Pakde mengizinkan.
Evan berusaha sekuat tenaga mencabut singkong. Ah, ternyata tidak mudah. Padahal, saat melihat Pakde yang melakukan nampak ringan. Evan belum juga menyerah. Yono dan Yudi membantu. Tapi, yang terjadi justru pohon singkongnya patah.
“Halah, gimana, sih, kalian?” Akhirnya Pakde turun tangan. Mereka diberi tugas untuk membersihkan tanah yang menempel pada singkong.
Sementara Sekar dan Ais sedang sibuk memetik kuncup bunga merah. Mereka menghisap madu dari bunga itu. Rasanya nikmat. Ada tanaman cimplukan juga di sana. Buah cimplukan yang sudah matang rasanya cukup manis. Sementara yang masih mentah terasa sangat asam.
“Kamu bilang sama Mama, nggak, kalau mau ke kebun?” tanya Sekar sambil memetik buah cimplukan.
“Enggak.” Ais menggeleng.
“Ih, entar dimarahin lagi, lho.”
“Enggak, lah. Yang penting jangan sampai jatuh ke parit lagi, hehe.”
Selain mencabut singkong, Pakde juga memetik daun pisang serta kelapa. Anak-anak membantu mengangkut semuanya ke rumah Ais. Mereka juga penasaran, akan dibuat makanan apa semua ini.
Ibu Sekar mengupas singkong, mencuci, kemudian memarutnya. Ia mencampurkan adonan singkong dengan parutan kelapa, dan memberinya sedikit air panas. Kemudian, Ibu Sekar membuat bulatan dengan adonan itu, dan mengisinya dengan sisiran gula jawa.
“Ini apa, Mak?” tanya Sekar penasaran.
“Ini namanya usel.”
“Usil?”
“Usel.”
“Habis ini digoreng atau dikukus?”
“Digoreng.”
“Kelihatannya enak, ya, Mak?”
“Iya, dong.”
Sementara Ais sedang melihat ibunya membuat mata roda. Dengan bahan yang sama, yaitu singkong.
Mama Ais mengambil sisa parutan singkong dari ibu Sekar. Ia menambahkan gula pasir dan sedikit garam. Lalu membagi adonan menjadi dua bagian. Satu adonan diberi warna hijau, satu yang lain warna merah muda.
“Mama, aku bantu ngaduk, ya?” Ais minta izin.
“Awas, hati-hati. Jangan sampai berantakan.”
“Oke.”
Ais mulai mengaduk adonan merah jambu dengan tangannya yang bersih. Adonan basah terasa lembut dan sedikit kasar. Ais sengaja memain-mainkannya.
Setelah itu, adonan ditaruh di atas daun pisang sedikit demi sedikit. Kemudian ibu Ais menaruh pisang nangka di atasnya. Adonan dibungkus seperti lontong, dengan memberi tusuk lidi pada kedua ujungnya.
Setelah adonan dikukus, ibu Ais memotongnya bulat-bulat. Mata roda yang masih hangat, ditaburi parutan kelapa yang telah diberi garam.