“Sekar! Coba, deh, sini! Mata rodaku sudah matang.”
Sekar menghampiri Ais dengan membawa usel yang baru digoreng.
“Wah, warnanya cantik, ya! Sepertinya enak.”
“Cobain, aja.”
Sekar menghabiskan usel yang ia bawa. Kemudian, mencoba mata roda buatan Ais.
Keduanya begitu kagum dengan singkong yang bisa diolah menjadi berbagai macam makanan. Tidak hanya usel dan mata roda, tapi ada banyak variasi lainnya. Seperti kolak, criping, jongkong, dan lain sebagainya.
Malam hari tiba. Saatnya kenduri dimulai. Keluarga Ais mengundang satu komplek bapak-bapak untuk menghadiri acara. Termasuk ayah Sekar, Evan, Yono, dan Yudi. Ustaz Rahman yang memimpin do’a.
Acara seperti ini masih sering dilakukan oleh masyarakat jawa. Dalam rangka mengirim do’a untuk sanak keluarga yang sudah meninggal. Dimulai pada 3 hari setelah kematian, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan setelah itu khoul pada tiap hari kematian.
Ais dan Sekar duduk di ruang tv sambil menyantap berkat. Ada nasi dengan lodeh mie, sayur kentang, ayam goreng, dan juga telur rebus. Sekar begitu menikmati hingga tak terasa banyak nasi yang menempel di sekitar mulut. Sementara Ais sedang termenung.
Ia ingat ayahnya. Hari ini, tepat 100 hari kepergian sang ayah. Ais menatap kursi panjang di pojok ruangan. Biasanya ayah sering tiduran di sana untuk melepas lelah usai mencangkul. Kemudian ia akan meminta Ais membuatkan teh manis untuknya.
“Ais belum bisa, Pa. Takut kena air panas.” Itulah yang selalu dikatakan Ais.
Sekarang, ia menyadari, betapa kesempatan seperti itu sangat berharga. Ais memang belum bisa, tapi itu karena ia tak mau belajar mencoba.
Sebuah kotak kecil berisi berbagai macam bahan membuat rokok, masih tersimpan rapi di bawah lemari tv. Ais melarang ibunya saat akan dibuang.
“Biar buat ngelinting Kakek kalau pas ke sini.” itu katanya.
Dulu, ayah Ais sering meminta tolong untuk membeli bahan-bahan melinting rokok. Sepanjang jalan Ais hafalkan.
“Paper, menyan, cengkeh, mbako.” Begitu terus secara berulang-ulang.
Tapi, pada akhirnya, selalu ada hal yang terlupa. Sisa uang yang seharusnya pas untuk membeli semuanya, malah ia belikan jajan. Karena Ais pikir, semua pesanan ayah sudah lengkap. Meski begitu, ayah tak pernah marah. Ia malah tertawa sambil mengacak-acak rambut Ais.
Semenjak kepergian sang ayah, Ais menjadi semakin cengeng dan penakut. Ia merasa kehilangan sosok yang selalu melindunginya.
“Hiks … hiks.” Ais terisak.
“Kamu kenapa, Is?” tanya Sekar dengan mulut penuh makanan.
“Aku kangen Papa,” jawabnya sambil mengusap air mata.
Sekar menelan suapan terakhirnya. Ia menepuk-nepuk bahu Ais dengan punggung tangannya.
“Kamu boleh, kok, anggap bapakku sebagai papamu.”
Ais mengangguk.
“Tapi, bapakmu, kan, enggak bisa naik motor kayak papaku, Kar.”
“Ya, enggak masalah. Yang penting, kan, perhatian.”
“Iya, juga, sih. Kemarin aku ketemu bapakmu di jalan. Terus aku dikasih permen.” Air mata Ais sudah berhenti mengalir.
“Oh, jadi permen kembaliannya kamu yang makan?”
“Kamu marah, Kar?” Ais khawatir.
“Enggak, hehe,” cengir Sekar.
“Syukurlah. Sana cuci tangan dulu. Kata Mama kalau abis makan enggak cuci tangan anknya bakal goperĀ nanti.”
“Goper?”
“Iya, susah jalan.”
“Oh, ya? Ya, udah. Aku cuci tangan dulu, ya.” Sekar segera bangkit.
“Eh, tungu-tunggu. Ini piringnya sekalian diberesin,” ucap Ais seraya mengulurkan piring bekas makan Sekar.
“Oh, iya. Lupa.” Sekar meraih piring itu dengan tersenyum.
“Nambah lagi, Kar!” kata Mama Ais saat mereka berpapasan.
“Enggak. Terima kasih, Mama Ais.”
“Lho, Ais, kok, enggak makan?” Mama Aia menghampiri anaknya.
“Ais, enggak lapar, Ma.”
“Ais, kan, terakhir makan tadi siang, kalau enggak makan nanti perutnya sakit.”
Ais menggeleng.
“Ais, enggak usah nyeyel! Makan dulu!” Nada bicara Mama Ais agak meninggi.
Ais menunduk lesu. “Iya, Ma!” lirihnya kemudian.
Ais semakin sedih. Sejak ayahnya tiada, ibunya jadi lebih galak. Mama sering menyuruh Ais dengan nada tinggi. Ia juga tidak bisa bebas bermain seperti teman-temannya. Ais tidak tahu kenapa ibunya berubah seperti itu.
Tiba-tiba ….
Gubrak!
Terdengar keributan dari halaman rumah Ais. Orang-orang di ruang tamu yang sedang menikmati hidangan, melongok ke jendela. Beberapa juga ada yang ke luar.
Ada apa di halaman rumah Ais? Siapa yang membuat kegaduhan itu?