Markas Persahabatan
Ais dan Sekar tak kalah penasaran. Mereka keluar dari pintu samping dan menuju halaman.
“Masyaallah Evan, kenapa bisa jatuh?” Pak Herman, paman Evan, sedang membantu Evan berdiri.
Ternyata, kegaduhan itu berasal dari Evan yang menabrak kandang ayam saat bermain sepeda. Ia nampak mengerang kesakitan. Lutut dan sikunya lecet. Tubuhnya juga bau kotoran ayam.
“Pantas saja ayamnya pada berisik, ditabrak Evan ternyata,” ucap Sekar.
“Lagian kamu ngapain, sih, Van, malam-malam main sepeda?” Pak Herman menuntun Evan.
“Itu, tadi lagi seru mainan sama Yono Yudi,” jawab Evan sembari menepuk celananya yang berdebu.
“Ya, udah. Ayo pulang!”
“Yono bantuin bawa sepedanya, ya?” Yono menuntun sepeda Evan. Sementara Yudi mengekor di belakang.
“Oh, ya, Yud. Sekalian bawain berkatnya Pak Lik sana. Ambil di kursi ruang tamu Ais,” titah Pak Herman.
Yudi menurut. Mengambil berkat dan mengantarnya ke rumah Evan.
Orang-orang juga ikut pulang, karena acara sudah selesai. Begitu pula dengan Sekar dan kedua orang tuanya.
….
“Sekar! Ayo main!” teriak Ais dari halaman rumah Sekar.
“Bentar, Is!” sahut Sekar dari dalam rumah.
Beberapa saat Ais duduk di teras menunggu Sekar. Ia melihat ada lubang-lubang kecil berbentuk segitiga di tanah. Ais mendekat dan mengambil patahan lidi. Ia lalu mengorek-orek lubang itu untuk mencari hewan tembukur. Lubang yang pertama kosong. Ia beralih ke lubang lainnya. Namun, ia tak dapat apapun. Mungkin tembukurnya sudah pergi.
“Ayo, Is!” Akhirnya Sekar keluar. Ais segera bangkit dan membuang lidinya.
“Sekar, mau ke mana?” tanya ibu Sekar yang muncul dari belakang rumah.
“Main, Mak.”
“Nanti aja mainnya. Sini, Emak bersihkan dulu kutu rambutmu.” Emak melambaikan tangannya mengisyaratkan Sekar untuk duduk di teras.
“Yah, entarlah, Mak. Temen-temen udah nungguin,” keluh Sekar.
“Entar kapan? Nanti keburu berkembang biak kutunya. Emak aja udah ketularan ini,” ujar Emak seraya menggaruk-garuk kepalanya.
“Mak ….” Sekar memohon.
“Udah sini. Ais juga mau, kok, suruh nungguin. Iya, kan, Is?” Sepasang mata Emak menatap Ais.
“Iya, enggak papa, kok, Kar. Aku malah mules, nih. Mau ke wc dulu.”
“Ya udahlah.” Sekar melangkah lemas ke arah Emak. Lalu ia duduk di teras.
“Aku pulang dulu, ya, Kar. Nanti langsung ke markas aja, ya,” ujar Ais sambil beralu.
“Markas apaan?” tanya Emak. Ia mengambil posisi duduk di belakang Sekar.
“Markas persahabatan, hihi.”
“Di mana itu?”
“Ih, Emak kepo.”
“Halah!”
Emak mulai membuka ikat rambut Sekar dan membiarkan rambut sebahu Sekar terjuntai.
“Ya, Allah. Rambut, kok, kayak ijuk gini, sih. Kering banget. Sudah berapa hari kamu enggak keramas?”
“Lupa, Mak.” Sekar nyengir, memamerkan barisan giginya yang tak begitu rapi.
Emak mulai menyisir rambut Sekar. Tak jarang Sekar berteriak ketika rambutnya tak sengaja tertarik. Emak pun memulai pencarian kutu.
Beberapa kali ia menemukan telur kutu dan melepasnya dari helaian rambut Sekar. Kemudian dipitasnya telur kutu itu dengan kuku ibu jarinya.
Beberapa kali Sekar protes karena Emak menarik rambutnya terlalu kencang. Tapi, tentu saja Emak tak acuh.
Masih menjadi misteri kenapa jika dipetani emak sendiri lebih sakit dari pada orang lain yang melakukannya. Atau sebenarnya sama sakitnya. Tapi jika dengan emak sendiri, kita tak perlu sungkan mengatakannya.