Strategi Bocah-Bocah Karangduwur Part 20

“Teman-teman, kalau kalian sudah besar nanti ingin jadi apa?” tanya Evan.

“Ehm, kalau aku sama Yudi pengen jadi tentara angkatan udara, biar bisa naik pesawat setiap hati,” sahut Yono.

“Kok, kalian sama terus, sih? Memangnya kalian mau hidup bersama selamanya? Enggak pingin gitu sekali-kali beda,” tanggap Sekar.

“Enggak,” jawab Yono dan Yudi bebarengan.

“Kalau aku pingin jadi pramugari. Biar bisa jalan-jalan ke luar negri terus. Hehe,” kata Ais.

“Ehm, kalau aku, sih, pengen jadi polisi. Keren gitu, nangkepin penjahat,” ujar Evan.

“Asal kamu jangan temenan sama penjahatnya, ya, Van,” celoteh Yono membuat teman-teman tertawa.

“Kalau kamu apa, Kar?” tanya Evan.

“Aku? Ehm ….” Sekar menatap langit dan berpikir.

“Apaan? Lama banget mikirnya,” ketus Evan.

“Aku ingin jadi dokter, tapi aku juga suka menulis. Jadi, aku juga ingin jadi penulis,” jawab Sekar.

“Penulis?”

“Iya, tukang buat cerita gitu, lah.”

“Apa senengnya jadi penulis?” Yono penasaran.

“Ya seneng aja, gitu. Aku juga seneng nulis diary.”

“Wah, kamu punya diary, Kar?” tanya Ais.

“Iya.”

“Kapan-kapan aku ambil, ah. Pasti isinya tentang Bahrul, cowok yang Sekar sukai,” seloroh Evan.

“Idiih … sejak kapan aku suka sama Bahrul. Ngarang kamu, Van.” Sekar cemberut.

“Cie … ada yang suka sama Bahrul ternyata,” tambah Yono.

“Pantes aja pas dia menang lomba egrang, Sekar seneng banget.” Yudi tak mau ketinggalan.

“Enggak, ya. Kata siapa?” Sekar tetap menentang, tapi wajahnya mulai memerah.

“Emang beneran, Kar?” Dengan wajah polos Ais bertanya.

“Enggak, Ais!” seru Sekar. “Gara-gara kamu, ya, Van!” Sekar menatap Evan marah.

“Bahrul, Bahrul,” ledek Evan. Perlahan Evan mulai menuruni tangga. Ia tahu Sekar sudah siap mengejarnya.

“Awas hati-hati!” seru Ais ketika Sekar benar-benar bangkit dan menuruni tangga.

“Evan jangan lari!” Dengan penuh kejengkelan, Sekar mengejar Evan. Evan berlari sambil sesekali berbalik meledek Sekar. Ia tertawa dan menjulurkan lidahnya.

Teman-teman yang lain melihat dari atas markas sambil terkekeh.

Hari ini Evan membawa mobil tamiya barunya ke rumah Yono. Mereka akan bermain bersama di sana. Yono dan Yudi sangat antusias. Mereka mulai mebantu merakit arena tamiya.

Di Dusun Karangduwur masih jarang sekali yang punya mobil seperti itu. Kebanyakan hanya mobil unduran, atau mobil yang jika ditarik mundur, akan melaju cepat ke dapan.

Mobil tamiya dan arenanya telah siap dimainkan. Evan mulai memencet setelannya hingga roda otomatis berputar cepat. Mobil dilepaskan di arena pacu dan langsung melesat. Berputar dan berkelok sesuai arena. Evan, Yono, dan Yudi, bertepuk tangan gembira.

Sementara Sekar dan Ais sedang bermain BP di rumah. BP adalah mainan orang-orangan dari kertas yang dilengkapi dengan baju ganti dan perabot lainnya.

Ais baru saja dibelikan mainan BP baru oleh ibunya di Pasar Manis. Ia harus mengguntingnya lebih dulu. Sebenarnya, tidak digunting pun bisa. Karena sudah ada garis di pinggir setiap baju dan gambar orang. Hanya saja kurang rapi.

Ais suka sekali, karena di BPnya ada gambar kasur. Itu cukup langka. Mereka menata rumah-rumahan untuk bermain BP dengan menggunakan berbagai mainan. Pensil warna digunakan sebagai garis pemisah antar ruangan. Membuat rumah cukup memakan waktu, energi, dan pikiran.

Tidak lupa, Ais juga memberi nama setiap tokoh dengan menuliskan di baliknya.

“Nama orangmu siapa aja, Kar?” tanya Ais.

“Punyaku Diana sama Isabela.” Sekar masih sibuk menata rumahnya.

“Ehm, yang baru kukasih nama Sinta sama Putri aja, deh.”

Selembar BP biasanya terdiri dari dua tokoh. Kelengkapan yang didapat juga bervariasi. Ada lipstik, telepon, tv, vas bunga dan lain sebagainya.

Usai membuat rumah, mereka mulai bermain dengan menggunakan setiap tokoh. Tokoh-tokoh itu seolah berbicara dan melakukan berbagai kegiatan seperti manusia. Ada yang bekerja, ada juga yang sekolah.

Saat mereka sedang asyik bermain, tiba-tiba sebuah sapu lantai terlempar dan menghancurkan rumah-rumahan.
Mata Ais dan Sekar melebar terkejut. Perasaan kesal dan dongkol seketika menyelimuti. Tapi, dari mana datangnya sapu itu? Siapa yang melemparkannya? Tidak mungkin, ‘kan, sapu itu datang sendiri?

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar