Misteri Mobil Jeep
“Alin, kita harus pulang dulu. Memangnya Alin mau ditinggal di rumah Bude sendiri?” Mama Alin sampai harus jongkok, agar bisa sejajar dengan Alin yang duduk di tanah.
“Tapi ….” Alin mengusap air matanya pelan. Ia masih terisak.
“Kalau Alin ingin sekolah biasa, bisa, kok. Nanti kita konsultasi ke dokter dulu, ya?”
Alin mengangguk pelan. Kemudian ia berdiri. Mama Alin mengelus pelan rambut ikal Alin yang panjang sebahu. Ia menyuruh Alin untuk berpamitan.
Alin menyalami orang tua Yono Yudi bergantian. Yoni dan Yudi juga memeluk Alin. Mereka tidak punya adik kandung. Jadi, mereka sangat menyayangi Alin. Meskipun pemalu, jika di rumah Alin sangat ceria. Ia mampu membuat suasana menjadi lebih hangat. Sayangnya, setiap berkunjung ke Karangduwur, keluarga Alin tidak pernah lama tinggal. Orang tuanya memiliki bisnis di Jakarta yang tak bisa ditinggal lama-lama.
Sekar dan Ais ikut mengantar Alin hingga ke jalan raya. Sepanjang jalan mereka bertiga bergandengan tangan seolah tak mau berpisah. Sekar memberikan sebuah kotak berwarna cokelat untuk Alin.
“Apa ini?” tanya Alin penasaran.
“Itu kenang-kenangan buat kamu. Dibuka nanti aja, ya,” kata Sekar.
“Aku juga punya kenang-kenangan,” ujar Ais sambil merogoh sakunya. Ais mengeluarkan sebuah amplop surat berwarna merah jambu dan menyerahkannya pada Alin.
“Wah, ini surat?” Sepasang mata Alin melebar.
“Dibaca nanti aja, ya,” ucap Ais.
“Oke.” Alin menautkan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf O.
“Aku punya ide!” seru Sekar tiba-tiba.
“Bagaimana kalau kita saling berkirim surat?”
“Wah, sepertinya seru. Jadi, kita bisa saling memberi kabar walaupun jauh,” tanggap Ais.
“Setuju!” Alin girang. “Mama, boleh enggak kalau nanti Alin kirim surat buat Ais dan Sekar?” Alin menatap ibunya.
“Boleh, dong. Nanti Mama bantu.”
“Yeay!” Ketiganya berseru senang. Yono dan Yudi hanya tersenyum memandang mereka.
“Aku jadi punya teman pena, deh,” sahut Ais.
“Iya, ya. Wah, keren!” tambah Sekar.
“Tapi, kalau mau ngirim surat, ‘kan, harus ke kantor pos yang ada di kecamatan,” kata Yono.
“Iya, juga, ya.” Sekar manggut-manggut.
“‘Kan, bisa minta tolong sama orang tua kalian.” Alin berpendapat.
“Kalau tidak, kita bisa titipkan ke Pakde Sastro. Setiap wage, ”kan, Pakde jualan di pasar kecamatan,” kata Yudi.
“Bisa juga.” Mereka tertawa riang.
“Ayo Alin, masuk mobil,” kata Ayah Alin.
Alin memandang teman-temannya sedih. Mau tidak mau, mereka tetap harus berpisah.
“Terima kasih, ya, kenang-kenangannya. Tunggu surat dariku,” kata Alin sambil memasuki mobil.
Teman-teman mengangguk.
Alin melambaikan tangan dari jendela saat mobil mulai melaju. Teman-teman membalas lambaian Alin. Sepasang mata Ais memerah. Ia mulai terisak.
“Padahal baru sebentar bertemu, sudah harus berpisah lagi,” ucap Ais sedih.
“Sudah, jangan nangis. Kapan-kapan kita pasti bisa ketemu lagi.” Sekar mencoba menghibur.
“Biasanya kalau lebaran, Alin pasti ke sini. Nanti kita bisa ketemu Alin.”
Mereka menatap kepergian mobil Alin hingga menghilang di belokan. Mereka tidak langsung pulang, melainkan duduk di pinggir jalan sambil bercengkrama. Tiba-tiba, Evan muncul dengan tergopoh-gopoh.
“Di … di mana Alin?” tanya Evan dengan napas terengah-engah.
“Baru saja pergi.” Mereka menjawab secara bersamaan.